Oleh; Luthfi Hamdani (Semarang)

Dan Ariely dalm bukunya berjudul Predictably Irrational; The Hidden Forces That Shape Our Decisions (2008,Harper Collins), membedah sebuah topik menarik tentang perilaku tidak jujur dan hilangnya profesionalitas dalam dunia bisnis.

Artikel berikut pertama kali di sampaikan pada matakuliah pengambilan keputusan. Semarang

KEJUJURAN

Adam Smith mengatakan:

“Keberhasilan dari sebagian besar orang hampir selalu bergantung pada kebaikan hati danpendapat tetangga serta rekan sejawatnya dan tanpa tingkah laku biasa yang bisaditolerir, hal ini jarang sekali didapatkan. Oleh karena itu, pepatah lama yangbagus bahwa kejujuran selalu merupakan kebijakan terbaik, dalam situasitersebut, hampir selalu memiliki kebenaran sempurna.”

Plato juga mengemukakan bahwa kejujuran adalah sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang dianggap sebagai nilai moral di hampir semua masyarakat.

Sigmund Freud juga menjelaskan bahwa ketikakita tumbuh dalam sebuah masyarakat, kita menginternalisasi nilai-nilai sosial.Internalisasi ini menyebabkan berkembangnya superego. Secara umum, superego senang ketika kita mematuhi etika masyarakat dan tidak senang ketika kita tidak melakukannya.

 Namun jika kejujuran itu penting bagi kita? (Hal ini didukung juga dari penelitian pada hampir 36.000 murid disekolah menengah atas di AS, 98% mengatakan bahwa berbuat jujur itu penting) dan jika kejujuran membuat kita merasa lebih baik, mengapa kita sering berbuat tidak jujur?

Ariely kemudian membuat kesimpulan bahwa memang benar kita peduli tentang kejujuran dan ingin berbuat jujur. Masalahnya adalah monitor kejujuran internal kita hanya aktif bila kita merenungkan pelanggaran besar.

Contohnya seperti mengambil satu atau dua pulpen di ruang konferensi, disini kita bahkan tak mempertimbangkan bagaimana tindakan tersebut itu dianggap jujur atau tidak dan oleh karenanya superego kita tetap tertidur.

Tanpa bantuan superego dan pemantauan pada kejujuran kita, satu-satunya perlawanan yang kita miliki terhadap jenis pelanggaran seperti ini adalah analisis biaya-keuntungan yangrasional. Seperti yang kita lihat dalam eksperimen Harvard, analisis biaya-keuntungan dan kemungkinan tertangkap atau ketahuan berbuat curang tampaknya tidak memiliki pengaruh yang besar bagi ketidakjujuran.

EKSPERIMEN; PENGARUH SEPULUH PERINTAH ALLAH PADA KEJUJURAN

Ariely (193:2008) melakukan riset dengan mengumpulkan sekelompok peserta di laboratorium di UCLA dan meminta mereka untuk melakukan tesmatematika sederhana.

Tes ini berdiri dari 20 soal sederhana, masing-masing mengharuskan peserta menemukan dua angka yang jumlahnya 10. Mereka diberi waktu lima menit untuk menyelesaikan sebanyak mungkin soal dan setelah itu mereka mengikuti undian. Jika mereka memenangkan undian, mereka akan mendapat sepuluh dolar untuk setiap soal yang diselesaikan.

Sebagian peserta menyerahkan lembar jawaban langsung pada pengawas. Ini adalah kelompok kontrol. Peserta lain menuliskan di kertas lain jumlah soal yang merekajawab dengan benar, dan kemudian membuang lembar jawaban yang asli. Peserta ini jelas memiliki peluang untuk berbuat curang. Seperti yang di duga, mereka melakukan kecurangan. 

Kunci dari eksperimen ini adalah ketika pertama kali peserta datang ke laboratorium, periset meminta sebagian di antara mereka menuliskan nama 10 buku yang mereka baca di sekolah menengah atas. Yang lain diminta menuliskan sebanyak mungkin dari Sepuluh Perintah Allah yang bisa mereka ingat. Setelah menyelesaikan bagian eksperimen yang ini, mereka diminta untuk melanjutkan dengan tes matriks. 

Rancangan eksperimen ini dimaksudkan untuk membuat sebagian peserta tergoda untuk berbuat curang setelah mengingat 10 buku yang mereka baca di sekolah menengah atas, dan sebagian dari mereka tergodasetelah mengingat Sepuluh Perintah Allah.

Ketika berbuat curang tidak di mungkinkan, peserta rata-rata menjawab 3,1 soal benar. Ketika berbuat curang dimungkinkan, kelompok yang mengingat 10 buku yang dibaca di sekolah menengah atas mendapat skor rata-rata yang lebih tinggi yaitu 4,1 soal di selesaikan (atau 33% lebih tinggi daripada yang tidak curang). 

Pada kelompok ketiga, mahasiswa yang sebelumnya menuliskan Sepuluh Perintah Allah, kemudian melakukan tes, dan merobek lembar jawabannya. Hasilnya mengejutkan: Para mahasiswa yang diminta mengingat Sepuluh Perintah Allah tidak curang sama sekali.

Mereka menjawab benar sama dengan rata-rata, nilai dasar yang sama dengan kelompok yang tak bisa berbuat curang, dan lebih rendah daripada yang bisa curang tetapi mengingat nama-nama buku. 

NILAI MORAL DAN PROFESIONALITAS

Ariely (195-195: 2008 ) menemukan bahwa gejala ketidakjujuran tengah melanda hampir semua jenis profesi. Menurutnya Profesionalisme yang ketat sudah diganti dengan fleksibilitas, penilaian pribadi, hukum perdagangan, dan keinginan untuk memperkaya, dan bersama dengan itu menghilanglah dasar etika dan nilai yang menjadi dasar pembangunan profesi.

Sehingga sumpah profesi sebagai suatunilai nonreligius untuk meningkatkan kadar kejujuran umum, sudah tidaklagi efektif perannya. Beberapa kasus berikut bisa menjadi gambaran:

KASUSPENGACARA

Penelitian yang dilakukan kelompok pengacara negara di tahun1990-an, misalnya, menemukan bahwa banyak sekali pengacara di California yang kesal dengan menurunnya kehormatan dalarn pekerjaan mereka dan “sangatpesimistis” terhadap kondisi profesi hukum.

Dua pertiga di antaranya mengatakanbahwa pengacara masa kini “membahayakan profesionalisme mereka sebagai akibatdari tekanan ekonomi”.

Hampir 80% mengatakan bahwa kelompok pengacara “tidak berhasil memberikan hukuman yang memadai pada pengacara yang tidak etis”. Setengah di antaranya menyatakan mereka tak mau menjadi pengacara jika harus mengulang lagi.”

Pengacara di Florida dianggap yang terburuk. Pada tahun 2003, kelompok pengacara Florida melaporkan bahwa sekelompok “minoritas yang substansial” dari pengacara bersikap “merampas-uang, terlalu lihai, penuh tipu daya, licik, dan tidak bisadipercaya; yang hanya sedikit menghargai kebenaran atau keadilan, bersedia menyimpangkan, memanipulasi, dan menyembunyikan fakta untuk memenangkan kasus; arogan, merasa superior, dan menyerang”. Mereka juga “merasa dirinya penting dan tidak menyenangkan”.

KASUS TENAGA MEDIS

Para kritikus menyebut bahwa dokter yang melakukan pembedahan yang tidak diperlukan dan prosedur lain hanya untuk meningkatkan jumlah pendapatan mereka: yang memerintahkan dilakukan tes di laboratorium yang memberi mereka komisi, dan bersandar pada tes kedokteran pada alat yang kebetulan mereka miliki. (Ariely,197: )

EKSPERIMEN; PERNYATAAN KEHORMATAN INSTITUSI.

Apabila membawa lagi nilai religus (Injil dan Al Quran misalnya) sudah tidak lagi relevan pada dunia bisnis yang sekular, maka perlu dicoba sebuah eksperimen yang menguji apakah sebuah pernyataan sederhana tentang kehormatan institusi bisa memberikan dampak positif pada tingkat kejujuran.

Ariely (198: 2008) melakukan riset dengan mengumpulkan satu kelompok mahasiswa MIT. Dalam penelitian ini, peserta pertama melakukan tes matriks dan menyerahkan hasilnya pada pengawas di depan ruangan (yang menghitung berapa banyak soal dijawab benar dan membayar sesuai dengan jawaban benar).

Kelompok kedua juga melakukan tes, tetapi anggota kelompok ini diminta melipat lembar jawabannya, menyimpannya, dan mengatakan pada pengawas di depan ruangan berapa soal yang mereka jawab benar. Pengawas membayar sesuai dengan jumlah jawaban benar, dan mereka berlalu. 

Aspek baru dalam eksperimen ini ada pada kelompok ketiga. Sebelum mulai, para peserta diminta menandatangani pernyataanberikut di lembar jawaban:

“Saya memahamibahwa penelitian ini dilakukan sesuai dengan sistem kehormatan MIT.”

Setelah menandatangani pernyataan tersebut, mereka baru melakukan tugas. Ketika waktu habis, mereka memasukkan lembar jawaban ke saku, berjalan ke depan ruangan, mengatakan pada pengawas jumlah jawaban benar, dan dibayar.

Hasilnya adalah di kondisi kontrol yang tidak memungkinkan kecurangan, peserta tata-rata menyelesaikan tiga soal. Di kondisi kedua yang memungkinkan peserta menyimpanlembar jawabannya, mereka menyelesaikan rata-rata 3,5 soal.

Yang luar biasa adalah kelompok ketiga, yang mengondisikan peserta menyimpan lembar jawaban, tetapi juga menandatangani pernyataan kehormatan. Dalam hal ini mereka menyelesaikan rata-rata tiga soal, tepat sama dengan kelompok kontrol.

Hasil ini mirip dengan hasil yang dicapai pada Sepuluh Perintah Allah. Ini adalah efek luar biasa dari penandatanganan pernyataan tentang kehormatan, khususnya bila memperhitungkan bahwa MIT tidak memiliki pernyataan kehormatan. 

SOLUSI: AGAMA, ETIKA,SUMPAH PROFESI GUNA MENANGKAL KETIDAKJUJURAN.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa manusia cenderung berbuat curang ketika memiliki peluang untuk melakukannya, tetapi mereka tidak curang sebanyak yang mereka bisa. Terlebih lagi, begitu mereka mulai berpikir tentang kehormatan -baik melalui ingatan tentang Sepuluh Perintah Allah ataupun menandatangani pernyataan sederhana- mereka berhenti berbuat curang sama sekali. Dengan kata lain, bila kita dijauhkan dari tolok ukur pemikiran tentang etika, kita cenderung pada ketidakjujuran. Namun, bila kita diingatkan tentang moralitas pada saat kita tergoda, selanjutnya kemungkinan besar kita akan berlaku jujur.

Dari eksperimen Ariely diatas, jelas bahwa sumpah dan peraturan harus diingat kembali pada saat, atau tepat sebelum, saat penuh godaan. Terlebih lagi, waktu pun menentang kita ketika kita berusaha mengendalikan masalah ini. Kecurangan ini terjadi terutama ketika norma sosial berbenturan dengan norma pasar, norma sosial berlalu dan norma pasar berlaku. Bahkan jika analoginya tidak tepat, kejujuran menawarkan pelajaran terkait: begitu etika profesi (norma sosial) menurun, mendapatkannya kembali tidaklah mudah. 

DAMPAK KETIDAKJUJURAN PADA DUNIA BISNIS.

  1. KASUS LUAR NEGERI

Ariely (200: 2008) mengutip bahwa Adam Smith mengingatkan kita bahwa kejujuran benar-benar kebijakan terbaik, khususnyadalam bisnis. Untuk melihat dampak buruk dari rendahnya integritas, bisa dilihat dari beberapa negara. Iran adalah contoh negara yang terserang rasa tidakpercaya.

Bisnis di sana tidak memiliki standar rasa percaya. Karenanya, takseorang pun berani membayar di muka, tak seorang pun menawarkan kredit, dan takseorang pun berani mengambil risiko. Orang harus menyewa di dalam keluarga, dimana masih ada sedikit kepercayaan.

Sedangkan Amerika Latin penuh dengan kartel yang dijalankan oleh keluarga yang memberikan pinjaman pada kerabat (yang kemudian tidak berhasil menghentikan kredit ketika pihak yang berutang tidak bisa membayar).

Pada tahun 2006, Amerika Serikat menduduki peringkat ke-20 di dunia dalam hal integritas, menurut salah satu survei(Finlandia nomor satu dan Haiti nomor terakhir, 163). Berdasarkan hal ini,diduga bahwa orang yang melakukan bisnis dengan Amerika Serikat pada umumnya merasa bisa mendapatkan transaksi yang adil.

Namun, masalahnya adalah Amerika Serikat menduduki nomor 14 di tahun 2000, sebelum gelombang skandal perusahaan menciptakan krisis pada dunia bisnis disana.

KASUSI NDONESIA.

Prasetyantoko (2014) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang paling menjadi masalah ketikaingin melakukan bisnis di Indonesia adalah korupsi.

Perilaku korupsi masih jadimasalah utama, disusul inefisiensi birokrasi, infrastruktur dan aksespembiayaan. Kasus terbaru misalnya ketika KomisiPemberantasan Korupsi ( KPK) menggeledah lima lokasi terkait kasus dugaan suapdalam proses perizinan pembangunan proyek Meikarta, Cikarang, Jawa Barat.

TEORI PERILAKU TIDAK JUJUR DAN INDIKATOR INTEGRITAS.

Perilakuberbohong sudah tidak asing terjadi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalamdunia bisnis. David Buller dan Judee Burgoon mengemukakan teori ‘InterpersonalDeception Theory’ (IDT):

it is aninterrelated set of assumptions and propositions, or testable statements,drawing on principles of interpersonal communication to predict and explaindeception in interpersonal interactions. Its scope is thus deception duringcommunication, which can include face-to-face, public, computermediated, orvirtual communication. To date, over 20 experiments have been conducted testingvarious aspects of IDT. Many, but not all, have received support.

Dijelaskan, ada tiga strategi atau cara dalam upaya pengirim untuk berbohong pada penerima, yaitu:

  1. Falsification (pemalsuan)
  2. Concealment (menyamarkan atau menyembunyikan kebenaran)
  3. Equivocation (mengaburkan)

Penelitianoleh Robert S. Feldman (2002) dari Fakultas Psikologi Universitas Massachusetts menjabarkan alasan orang melakukankebohongan. Dalam percakapan sehari-hari, kebanyakan orang berbohong agarterlihat menyenangkan dan kompeten.

Sebanyak 60 persen orang dewasa setidaknyamelakukan satu kebohongan dalam durasi 10 menit percakapan. Rata-rata darimereka malah melakukan kebohongan dua sampai tiga kali. Responden perempuancenderung melakukan kebohongan agar lawan bicaranya terlihat baik dan merasanyaman. Sebaliknya, pria condong berbohong agar dirinya terlihat lebih baik. 

Psikolog klinis David J. Ley dalam laman Psychology Today menjabarkan enam faktor yang mendasari kebohongan, yaitu:

  1. Karena para pembohong menganggap sebuah kebohongan penting dilakukan.
  2. Berbohong untuk mengendalikan situasi dan mendapat reaksi timbal balik yang diharapkan.
  3. mereka ingin membuat lawan bicaranya merasa nyaman, karena para pembohong takut ditolak ketika berkata jujur.
  4. Untuk menutupi kebohongan lainnya. Para pembohong merasa perlu kembali berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya. 
  5. Mereka tidak sengaja berbohong, karena ingatannya merekonstruksi kejadian sedemikian rupa sehingga mereka sendiri percaya bahwa hal tersebut benar adanya.
  6. Pembohong sering berharap bisa membuat sesuatu menjadi nyata dengan mengucapkan kebohongan berulang, dan mempercayainya sekeras mungkin.

Perilaku berbohong juga bisa dijelaskan dengan Theory of Planned Behaviour (TPB). Teori ini memperhitungkanbahwa semua perilaku tidaklah di bawah kendali dan sepenuhnya di luar kendali.Sebenarnya perilaku-perilaku tersebut berada pada suatu titik dalam suatukontinum dari semulanya di bawah kendali menjadi tidak terkendali.

Dalam keadaanekstrim, mungkin sama sekali tidak terdapat kemungkinan untuk mengendalikansuatu perilaku karena tidak adanya kesempatan, karena tidak adanya sumber dayaatau ketrampilan. Faktor-faktor pengendali tersebut terdiri atas faktorinternal dan eksternal.

  1. Faktor-faktor internal antara lain keterampilan, kemampuan, informasi, emosi, stres, dan sebagainya.
  2. Faktor-faktor eksternal meliputi situasi dan faktor-faktor lingkungan.

Integritasmerupakan cara bagaimana menjunjung tinggi nilai-nilai dan etika dalam berbisnis. Nilaidan etika dalam berbisnis ini jelas memiliki andil yang besar dalam berbisnis.Seperti misalnya dapat menumbuhkan adanya rasa tanggung jawab, sikap profesionalitas dalam berbisnis, sikap saling menghargai dan lainsebagainya.

Sehingga hal tersebut dapat menjadi tolak ukur bagi seseorang atauperusahaan dalam melangkah untuk meraih kesuksesannya. Berikut alasan pentingnya integritas dalam berbisnis:

  1. Mempengaruhi hasil akhir
  2. Mempengaruhi reputasi
  3. Menciptakan suasana kondusif.

Dimanaseseorang yang memiliki sikap profesional dapat memposisikan dirinya agar mampumemahami tugas dan tanggung jawab, hubungan dan relasi, serta fokus dankonsisten terhadap urusan pekerjaan.

Sehingga pada saat ini sikap profesionalmenjadi hal yang cukup penting di dunia kerja karena akan berdampak positifbagi perusahaan dan bagi seseorang tersebut. Indikator sikap profesional bisadiwakili beberapa hal berikut:

  1. Punya keterampilan dan kemampuan khusus
  2. Mempunyai sikap dan sifat yang baik.
  3. Mempunyai tujuan.