Di sebuah sore dengan hujan deras di pinggiran sungai Brantas Kediri, menikmati kopi bersama beberapa teman lama jadi terasa begitu nikmat. Saya baru saja beranjak dari pemakaman auliya’ di Tambak, Ngadi, Kediri.
Disana disemayamkan banyak waliyullah, pejuang-pejuang agama islam. Pada masanya dan wilayahnya.
Yang unik, ibu tua penjaga warung kopi di komplek makam bercerita panjang tentang motivasi peziarah yang memang bermacam-macam.
Mulai yang sekedar tawassul, mencari tempat sepi dan murajaah (melancarkan hafalan) al-Qur’an sampai yang mencari kemudahan urusan duniawi, misalnya kerja, jodoh dan sejenisnya.
Sementara di warung kopi, televisi tengah menayangkan pertandingan bola Piala Presiden, antara PS TNI melawan Madura United. Maka setelah sekilas menonton dan membicarakan dugaan kecurangan Pilkadal (l=langsung) kota tahu tersebut, kami ngobrol sepakbola.
“Wingi timnas kalah musuh Islandia, padahal wes ngegulno dhisik.” Ujar seorang teman berdarah Jombang-Kalimantan yang mengalami obesitas.
“Yo jelas, lha Islandia wes masuk piala dunia. Indonesia sek main musuh tim apik lak pas ngeresmikno renovasi stadion GBK.” Jawab yang lain.
“Asline kudhune pas main nggawe ilmu-ilmu perdukunan. Dadi misale wayahe gol, moro-moro bal e mbeledhos, utowo banyune ngecembeng nang ngarep gawang. Dadi pemaine podho koceh. Kan sek akeh dukun-dukun ngunu iku. Jane yo menangan tho lak bal-balan iso nggawe dukun.”
Setelah ngakak, obrolan bola kami akhiri dengan kata penutup mujarab untuk orang-orang semacam blio: “Ndasmu wii,!”
Fenomena perdukunan memang tidak asing bagi kita, masyarakat Indonesia. Mungkin bukan cuma masyarakat suku Jawa, masyarakat daerah lain dengan adat dan budaya yang berbeda-beda juga tidak asing dengan hal-hal menyangkut perdukunan.
Ya, walaupun seiring jaman berganti, dukun-dukun juga ikut bertransformasi. Mulai dari penampilan, praktik pengobatan, imbalan jasa dan kesaktiannya.
Lebih dari itu semua, cara pikir mengandalkan perkara ghaib seperti guyonan teman saya, masih akrab kita jumpai. Tapi kritiknya adalah: seberapa akurat perkara ghaib yang cenderung irasional semcam itu mampu mengubah keadaan, masih perlu diragukan dan di amati dengan hati-hati.
Agama islam misalnya, mengenal istilah ‘khaariqul adat’ atau kejadian-kejadian luar biasa diluar kebiasaan manusia.
Kemampuan ini bisa dimiliki oleh orang yang shaleh sebagai mukjizat dan karamah, bisa juga dimiliki pelaku sihir atau sejenisnya. Beberapa memang sempat ramai di publik, misalnya ada gotri dari besi di perut seseorang, rambut di dalam tubuh, paku di dalam kaki korban bernama Safira dari Pare-Pare dan banyak lagi.
Koleksinya bisa dilihat di Museum Kesehatan Dr. Adhyatma, MPH yang berada di jalan Indrapura di kota Surabaya, Jawa Timur.
Rasional? Tentu tidak.
Tan Malaka, puluhan tahun lalu dalam bagian awal buku Materialisme, Dialektika dan Logika (MADILOG) memaparakan fenomena ini sebagai “logika mistika”.
Logika ini melumpuhkan masyarakat sebab ketimbang menangani sendiri permasalahan perbudakan dan penjajahan yang dihadapi (mengalahkan timnas sepakbola Islandia misalnya), kita cenderung seringkali lebih mengharapkan permainan kekuatan-kekuatan gaib.
Karena itu, mereka (masyarakat Indonesia) mengadakan mantra, sesajen, dan doa-doa. Pengennya Tan Malaka, buku Madilog hadir guna upaya merevolusi paradigma tersebut.
Atau bagi tokoh Minke dalam novel Bumi Manusia-nya Pramoedya A. Toer, diceritakan bahwa dukun dan ahli-ahli ramal adalah penghambat kemajuan ilmu pengetahuan manusia.
Ditengah masyarakat yang masih begitu kental mempercayai kehebatan para ksatria dan dewa nenek moyang, Minke sedang asyik mengagumi penerapan ilmu pengetahuan.
Misalnya mulai beroperasinya kereta api, mesin pengganda gambar dan desas-desus penemuan pesawat terbang, Minke a.k.a Pramoedya mengajak untuk:
‘Jikalau dia benar, cukuplah kita takluk padanya, selebihnya boleh dilempar ke keranjang babi!’
Tapi, memang diakui atau tidak, bagi mereka yang beragama (apapun agamanya), meminjam istilah Pak Quraish Shihab, spiritualitas dan falsafahnya terbangun dari keberadaan suatu wujud tidak terbatas yang ada diluar alam nyata.
Bukan melulu materialisme-empiris ~~yang otomatis mereduksi keberadaan Tuhan, surga, neraka dan sebagainya.~~
Intinya: Semua agama mengenalkan hal-hal yang suprarasional.
Dalam sejarah islam, misalnya suatu ketika, ketika Umar r.a berkhutbah di Madinah, tiba-tiba beliau berteriak: ‘Sariyah, naiklah ke gunung!’. Sebab dilihatnya pasukan Sariyah yang saat itu ada si Syria, sedang terkepung.
Teriakan Umar r.a terdengar pasukan Sariyah sehingga mereka selamat. Sementara jamaah khutbah khalifah Umar r,a masih dalam kebingungan saat itu.
(Di lokasi yang sama, sekarang sedang perang antara suku Kurdi Suriah dibantu pasukan Pashmerga melawan pasukan Turki)
Kita mungkin juga mengenal jika ada keunggulan a.k.a khariqul adat dari beberapa wali, di antaranya misalnya suatu ketika tongkat kayu seorang dipukulkan ke tanah lalu muncullah sumber air, kemudian mengatasi persoalan kekeringan warga daerah tersebut.
Ada yang shalat diatas air, ada yang bisa mengembalikan kapal yang tenggelam dan banyak lagi. Wallahu a’lam.
Tentu, keberadaan hal-hal semacam itu guna menambah keimanan kepada Allah, menguatkan kepercayaan masyarakat pada ulama dan memang jadi bukti pangkat/anugrah bagi wali-ulama tersebut.
Yang jadi kritik adalah, jika hal-hal irasional semacam itu disuburkan dan diperluas wilayahnya, untuk urusan manusia yang berbagai macam jenisnya. Bahkan sampai di jadikan bisnis, inilah yang salah kaprah.
Menurut Kyai Quraish Shihab (201: 2013) sejak masa kenabian Nabi Muhammad SAW, pembuktian kebenaran agama melalui hal-hal yang bersifat suprarasional (mukjizat) juga mulai tidak terlalu diandalkan.
Hal ini sebab pembuktian semacam itu merupakan pemaksaan kepada akal pikiran.
Dalam al-Qur’an misalnya, sebab kita diberi fitrah berupa akal, puluhan ayat berbicara tentang kebebasan manusia berpikir dan memilih apa yang dikehendakinya — termasuk memilih agama. (ibid, hal. 202)
Nabi menampilkan diri sebagai manusia biasa, beliau harus berdarah-darah ketika dilempari batu dalam peperangan, harus menerima ‘diludahi’ seorang perempuan tua Yahudi, dikejar-kejar dan bersembunyi di gua, dan banyak lagi.
Meskipun memang ada beberapa mukjizat beliau dari Allah. Atau kalau dalam pembuka nadzam kita akrab dengan:
“Muhammadun basyarun lâ kalbasyari, Bal huwa kal yâqûti bainal hajari”
Muhammad (saw) adalah seorang manusia namun bukan manusia biasa, dia laksana batu permata diantara bebatuan biasa.
“Sehingga sudaraku yang baik hati, konklusinya adalah penggunaan ‘unsur rasional’ lebih diutamakan bagi kita, tanpa menafikan keberadaan hal-hal suprarasional.
Selain itu, atau singkatnya, sebagai manusia modern, tantangan utama kita adalah tetap seimbang memadukan dua potensi sekaligus, yaitu akal dan jiwa. Jangan berat sebelah.!”
Pie lur, kalimat terakhir wes podho durung mbi unen-unene rektor PTAIN?