Penulis: @luthfiham
Saya sering berpikir, sifat boros bisa mewujud dalam berbagai perilaku sederhana, misalnya:
Orang yang kemana-mana sendiri, tapi lebih memilih mengendarai mobil 7-seats daripada naik moda transportasi umum.
Dampaknya?
Ya, beberapa saat lalu, Jakarta ramai diberitakan mengalami kondisi udara terburuk. Menurut Tulus Abadi (2019), ketua pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), beberapa faktor penyebabnya adalah semakin masifnya penggunaan kendaraan pribadi baik roda dua atau empat.
Penyebab lain adalah rendahnya kualitas bahan bakar yang digunakan kendaraan bermotor tersebut. Di Jakarta masih dijumpai penggunaan BBM dengan kandungan octane number yang rendah (RON) dan kandungan sulfur tinggi.
Atau contoh lain, mengadakan acara hajatan dengan hidangan makanan beraneka variasi dalam jumlah sengaja berlebih, padahal kita tahu tidak sebanyak itu kemampuan makan tamu undangan.
Perilaku konsumsi kita, manusia modern, jadi satu topik atau faktor yang ditengarai memunculkan berbagai dampak buruk: personal, sosial maupun ekologis.
Pemanasan global misalnya, muncul sebagai akibat emisi gas karbon dioksida sebagai efek rumah kaca (ERK) dari aktivitas manusia. Efek rumah kaca sejatinya merupakan proses alami yang seharusnya menjadikan Bumi tempat yang nyaman untuk hidup.
Namun Semakin banyak gas panas yang diproduksi oleh manusia, semakin banyak pula panas yang diperangkap oleh atmosfer untuk dipantulkan balik ke ke bumi. Ini adalah masalah utama yang berkontribusi terhadap pemanasan global.
Juga permasalahan sampah. Terutama sampah plastik. Bertahun-tahun, tampaknya plastik jadi satu-satunya opsi murah untuk dijadikan wadah berbagai barang. Plastik juga punya keunggulan, awet pun tidak tembus air.
Satu yang kemudian telat disadari adalah, ketika penggunaannya terlalu berlebih, kemudian menyebabkan penumpukan sampah plastik dimana-mana, lingkungan hidup kita jadi terdampak serius. Ditambah karakter plastik yang susah terurai.
Industri dan teknologi pernah menjadi satu kebanggaan bagi masyarakat. Dimana keduanya mengantarkan pada kehidupan yang lebih mudah dijalani juga jadi simbol satu masyarakat lebih maju dibandingkan yang lain.
Sebelum kemudian mereka sadar, bumi perlu hidup dalam jangka lebih panjang. Sementara kondisi ‘kelayakan hidup’ bumi ini tidak akan tercipta apabila pola perilaku dan konsumsi kita masih seperti yang selama ini kita kenal: ala modern.
Beberapa tahun terakhir, tampak publik mulai meningkat awareness-nya pada topik semacam ini. Menjaga kelestarian alam, mengurangi polusi pabrik dan industri, meninggalkan plastik, hidup sederhana, juga sadar bahwa sistem pertumbuhan ekonomi yang selama ini dianut perlu direvisi ulang.
Peradaban mungkin tengah mengalami titik balik, kita mulai mengkompromikan bagaimana cara hidup ideal, dengan memadukan dua metode: pra dan pasca industri-modern.
Gaya hidup orang kampung, dengan bertani, mengelola sumber air, berbagi ruang hidup dengan berbagai satwa, yang dulu sering distigma ‘kampungan’ kini disadari jadi contoh terbaik bagaimana idealnya harmoni diciptakan oleh manusia, dengan alamnya.
Proses kompromi yang tentunya tidak akan sepenuhnya meninggalkan kebermanfaatan dari teknologi modern. Layak ditunggu, beragam upaya manusia mengkombinasikan nilai dengan alamnya di masa-masa yang akan datang.