Penulis: Ghofirudin (Trenggalek)
Sudah habis seminggu ini saya tidak sarapan dan pergumulan pagi yang harus dihadapi hanyalah barisan kata-kata yang muncul dengan liar di alam pikiran dan tidak pernah teraktualisasikan dalam bentuk tulisan karena keadaan saya yang lapar.
Ya, lapar. Lapar itu membuat tingkat rasa malas saya melambung tinggi dan tidak terkejar oleh motivasi-motivasi yang berpendaran dan berkilauan dari dunia luar yang begitu megah di mana banyak orang-orang mentahbiskan diri mereka untuk berlomba memacu segala daya untuk sampai pada sebuah garis yang begitu rapuh.
Yang saya lakukan adalah pengalihan. Rasa lapar itu saya alihkan dengan lebih banyak melakukan aktifitas tidur yang mana harapan saya adalah menemukan kemungkinan untuk bertemu dengan seseorang atau beberapa orang dalam bingkai dan alur sebuah cerita yang begitu aneh –saya melihat cerita itu jelas sekaligus tidak jelas, saya juga melihat cerita itu selayaknya seorang penonton yang tengah duduk manis di sebuah bangku bioskop seorang diri, di mana keberadaan saya berada dalam mode yang biasa disebut dengan player on video atau POV.
Saat terbangun, beberapa bagian yang teringat akan menjelma menjadi sepucuk inspirasi untuk mencipta sebuah puisi yang tidak lebih dari 100 kata, dan beberapa bagian yang gagal terekam, saya biarkan mereka mengendap dalam-dalam untuk menjamahi ketidaksadaran yang mungkin akan belajar untuk sadar ketika mereka atau saya telah menemukan waktu yang tepat.
Aktifitas lain yang saya lakukan untuk pengalihan rasa lapar adalah dengan memperdayakan gawai canggih saya yang sebenarnya tidaklah terlalu canggih. Dan, pemberdayaan itu adalah di dalam sebuah permainan di mana ketika saya mengaktifkannya keberadaan saya seolah-olah tersedot sepenuhnya atau hanya sebagian besar ke dalam dunia kecil yang berada di dalam layar.
Saya bisa menjadi seorang manajer handal dari sebuah klub sepakbola antah berantah yang hanya dalam waktu lima tahun mampu mengantarkan tim yang awalnya bukan apa-apa menjadi sebuah tim raksasa yang mampu menguasai singgasana tahta kompetisi regional yang jika terus berlanjut mungkin mahkota kompetisi global juga akan direnggutnya.
Lain waktu saya bisa menjadi seorang pembunuh bengis yang menenteng senapan ke manapun saya pergi dan siap menghabisi siapapun orang atau sekelompok orang yang menghalangi saya di dalam menuntaskan sebuah misi mulia untuk mencapai taraf kebengisan selanjutnya –saya sendiri juga harus siap mati dan dihabisi di dalam kesementaraan, dan ketika kehidupan menjamah lagi ambisi kebengisan telah naik satu tingkat untuk mencuri sekotak peti mati yang penuh umpat dan caci-maki.
Pengalihan yang lain lagi, atau yang ini lebih tepat jika disebut teralihkan, adalah ketika seraut wajah perempuan yang elok dengan tubuh indahnya yang begitu bergemulai mulai memasuki batas kesadaran dan menyuntikkan hasrat yang menggebu untuk menyentuh, memeluk dan mencumbunya.
Dalam batas yang menggila, ia akan terekspresikan dalam racauan-racauan yang terkadang dengan setengah sadar akan dibiarkan untuk menuntaskan dendamnya yang paling kesumat. Namun, jika kesadaran itu sedang dalam kondisi yang penuh, atau hampir penuh, hasrat dendam kesumat itu akan dialihkan oleh serangkaian pikiran dan pemikiran yang akan menahan laju panas tetap di bawah kesadaran dan mencukupkannya di dalam himpunan kata-kata yang teristimewa.
Dan, kata-kata teristimewa itu ada di dalam buku-buku yang di dalamnya terdapat keajaiban-keajaiban yang mampu mendorong batas cakrawala pikiran manusia setapak demi setapak untuk menempuh laju ketakterbatasan, laju segala kemungkinan dan ketidakmungkinan yang telah terpetakan maupun yang belum terpetakan karena masih tersimpan di dalam struktur bawah sadar alam semesta.
Ia –mungkin- sedang dengan tenang menunggu seseorang untuk menjamah kedamaiannya yang paling luas.
Dua buku setidaknya yang menjadi pengalih perhatian atas kesenjangan hasrat-hasrat yang akhirnya hanya tersimpan rapi di dalam sebuah banalitas yang diakui dengan sepenuh hati tanpa mengesampingkan resiko-resiko kerentanan yang bisa saja muncul setiap saat. Buku pertama adalah tentang sebuah arena di mana agen-agen yang berkecimpung di dalam arena tersebut secara sadar maupun tidak sadar berusaha untuk memperoleh pengakuan.
Yang berkepentingan maupun yang mengaku tidak memiliki kepentingan ketika tersuruk ke dalam arena tersebut tetap akan membawa kepentingan masing-masing. Ada dua masalah yang disoroti dengan tajam yaitu tentang kemurnian dan ketidakmurnian.
Kemurnian adalah tentang narasi, deskripsi, eksposisi maupun argumentasi yang berdiam dan mampu berdiri di wilayahnya sendiri dan mengacuhkan keterkaitan apapun yang berada di luar dirinya, bahkan mungkin sejarahnya sendiri seolah-olah ia tiba-tiba mengada dan ada begitu saja dan akan tetap begitu tanpa ada perubahan atau dinamika selama keberadaannya itu.
Sedangkan ketidakmurnian adalah ketiadaan yang murni tersebut. Segala sesuatu yang berada di dalam sebuah arena akan saling mempengaruhi dan di dalam keterpengaruhan tersebut terdapat kemapanan yang hendak dipertahankan oleh satu pihak di mana di pihak yang lain akan mencoba untuk menggulingkannya diganti dengan kemapanannya sendiri –tentu akan tetap ada sisa-sisa dari kemapanan yang lama di dalam sebuah kemapanan yang baru, atau kemapanan yang lama itu hanya mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih baru untuk bisa lebih diterima oleh situasi yang terkini.
Seperti itulah kira-kira penjelasan di bagian awal buku tersebut –saya baru membaca bagian kata pengantar dan 12 halaman pertama dari buku tersebut. Progres telaah baca saya terhadap kandungan isi buku tersebut sangat pelan karena teralihkan oleh rasa yang pertama; yaitu rasa lapar itu tadi.
Hal yang sama juga terjadi dengan pembacaan saya terhadap buku yang kedua yaitu buku tentang Jalan hidup yang dikembangkan oleh dua pertapa Timur yang melegenda, yang pertama dari tanah Arab yang buah pemikirannya berseberangan dan saling bertentangan –atau mungkin hanya kelihatannya− dengan ortodoksi otoritas politik yang melandaskan legitimasinya dengan dogma-dogma sebuah agama yang mulai muncul sejak abad ke-7 masehi dan memiliki basis pemeluk yang tersebar luas bahkan hingga saat ini, dan yang kedua adalah dari tanah Cina.
Dalam buku tersebut dijelaskan tentang kerancuan keberadaan pertapa tersebut; apakah dia benar-benar seorang tokoh sejarah yang benar-benar hidup di masanya, ataukah ia hanya seorang tokoh rekaan yang dijelmakan dari goresan tinta seorang manusia faktual yang tidak ingin keberadaannya tersebar luas karena tidak ingin keberadaan hatinya tercemari.
Buku kedua ini adalah tentang komparasi, dan yang menjadi fokus perbandingan adalah pemikiran kedua tokoh tadi tentang konsep Wujud atau Being yang tentu saja membutuhkan fokus tinggi untuk memahami penjelasan-penjelasan yang terkandung di dalamnya yang sayang tidak akan berhasil secara maksimal jika dalam kondisi yang sangat lapar. Dan oleh sebab itu akhirnya saya lagi-lagi: Teralihkan.
Kali ini lapar itu yang mengalihkan saya dari kata-kata dan struktur bahasa dan maknanya yang hendak saya pahami dan dua buku yang hendak saya baca habis untuk bulan ini itu harus tergeletak bersama tumpukan buku-buku lain di atas kasur.
Rasa lapar itu mengantarkan bayangan di dalam pikiran kepada sepiring nasi yang masih hangat dengan oseng-oseng kangkung dan lauk ayam goreng di atasnya dan segelas kopi hitam pekat yang masih panas yang diseduh dengan air yang baru saja mendidih sehingga untuk menghabiskannya saya akan harus bersabar menyeruputnya sedikit demi sedikit.
Sembari ngopi sehabis sarapan itu saya akan mengamati lalu lintas jalanan di pagi hari yang sangat mungkin tidak akan ada sesuatu apapun yang menarik perhatian, dan kemudian dengan tatapan bosan akan saya suguhkan decak-decak penepian terhadap pemandangan lalu lalang kendaraan dengan deru bising mesinnya yang memekakkan telinga.
Tidak hanya decak, mungkin, tapi juga aduh yang akan mendapatkan imbuhan hai di belakangnya menjadi aduhai tatkala salah satu nona pelayan warung itu melintas untuk menyuguhkan minuman pesanan bapak-bapak dan abang-abang sopir truk yang menjadi pelanggan utama di warung itu.
Namun sayang sekali, perencanaan indah itu ternyata terkendala oleh anggaran dana yang sangat terbatas, dan jika saya memaksakan diri untuk sarapan di warung itu bisa jadi untuk kehidupan di 7 hari terakhir bulan ini, lapar saya akan benar-benar sulit untuk dialihkan.
Maka bayangan nasi hangat, oseng-oseng kangkung dan lauk ayam goreng serta keberadaan nona pelayan warung itu harus rela diganti dengan sebuah kenyataan yang lebih sederhana: nasi pecel murah meriah di warung pojok sebelah utara jembatan dan dengan keakraban perbincangan bapak-bapak dan mas-mas yang setelah pulang dari berniaga di pasar tradisional selalu menyempatkan diri untuk ngopi di warung itu.
Setelah menyantap seporsi nasi pecel porsi biasa dengan tambahan lauk semur tahu dan rempeyek isi kacang dan krupuk uyel, sembari menyeruput sesekali sedikit demi sedikit kopi gelas yang saya pesan, saya sempatkan untuk bolak-balik di antara dua dunia. Dunia nyata di mana empat orang bapak-bapak sedang membicarakan tentang burung di dalam sangkar, dan dunia maya instagram untuk memeriksa karya fotografi dari akun orang-orang yang saya ikuti.
Tentang burung dalam sangkar, pendengaran saya sempat menangkap cerita yang dilontarkan oleh salah satu dari mereka bahwa ada burung di dalam sangkar yang kemarin hilang. Burung di dalam sangkar itu adalah seekor burung yang berkelas dan memiliki nilai jual tinggi yang setiap harinya menjadi sebuah pemandangan yang berharga bagi orang yang memiliki dan merawatnya: bulu-bulu di tubuhnya mungkin berwarna hijau mulus dengan ada semacam noda hitam membulat yang melingkupi kedua matanya.
Siulannya terdengar merdu, dan sembari meloncat-loncat di dalam sangkar itu, manusia yang mendengar siulan itu akan merasa berbahagia. Namun bagaimana sebenarnya dengan burung itu?
Apakah dia bahagia hidup di dalam sangkar, hanya bisa meloncat-loncat ke sana kemari, kendati semua kebutuhan jasmaninya terpenuhi?
Mungkin jika mental manusia disuntikkan ke dalam tubuh dan otaknya, dia akan mulai mempertanyakan: tentang kepakan-kepakan sayapnya yang tanggung dan jika kemudian dia sempat membaca buku tentang evolusi, mungkin akan muncul kekhawatiran tentang seperti apakah kelak bentuknya satu juta tahun setelah ini. Sayapnya mungkin akan terpotong dan nilainya menjadi tidak ada bagi manusia.
Atau mungkin tetap ada sebagai objek tangkapan kamera yang kemudian akan diedarkan di dunia maya seperti foto-foto yang beredar di instagram. Burung itu dengan segala keterbatasannya akan ditempatkan dalam sebuah eksistensi yang terkalkulasi secara rapi lewat data-data statistik tentang berapa banyak orang yang melihat, berapa banyak orang yang suka, dan berapa banyak komentar yang diterima.
Segala data eksistensi itu akan menjadi sebuah esensi baru sebagai hasil dari pengalihan yang sistematis, yang kendati terdapat pasang-surut di dalam prosesnya, hasrat untuk selalu berubah, tumbuh dan berkembang telah menempatkannya sebagai yang berdiri paling tinggi di atas podium peradaban.
Yang lain sedang terengah-engah di laju perlintasan zaman, dan harus menepi untuk menyantap makanan dan minuman yang bergizi. Seperti saya yang baru saja melahap seporsi nasi pecel dan ditutup dengan secangkir kopi hitam, di hari kedelapan, setelah kita semua kenyang, kita akan naik dan meninggi untuk menyentuh persamaan yang perlahan-lahan akan luruh dan runtuh kembali ke dalam perputaran-perputaran.
Saatnya berpulang