Dalam proses pengembangan karyawan (talent development) perlu disusun skema sebagai berikut:

Identify Critical PositionIdentify Potential TalentConduct Talent Development Intervention

Dalam penentuan Critical Position, beberapa poin yang perlu diperhatikan yaitu: Posisi yang paling fundamental bagi kemajuan perusahaan, tidak tergantung pada hirarki, top 100 people within the Company.

 

Ingat Prinsip Pareto..!

Fokuskan 70 % energi dan anggaran pengembangan SDM pada 30% top TALENTS

Serangkaian studi empirik menunjukkan bahwa kehebatan sebuah organisasi bisnis sering ditentukan oleh hanya 30 % karyawannya, terutama mereka yang menduduki posisi strategis/core positions (Beyond HR: The New Science of Human Capital, John Boudreau, 2007)

Ilustrasinya sederhana : bagi sebuah warung makan, posisi seorang koki adalah posisi yang amat vital; dan bukan kasir atau pramusaji atau bagian purchasing.

Demikian pula bagi Microsoft atau Google, posisi yang amat penting adalah barisan programmer, bukan mereka yang duduk di bagian finansial, warehouse, ataupun bagian customer service.

Implikasinya jelas : untuk mereka yang menduduki posisi core (bagian inti), maka kita harus mati-matian mendapatkan talenta kelas dunia. Namun bagi mereka yang tidak menduduki posisi core, kita cukup mendapatkan pekerja yang standard saja (ingat, bukan jelek, namun yang cukup standar saja, bukan yang super hebat).

Alasannya sederhana : seorang pramusaji dengan talenta super hebat sekalipun tak akan memberikan impak yang signifikan bagi kemajuan sebuah rumah makan.

Demikian juga, seorang finance manager yang super sekalipun tidak akan memberikan dampak yang signifikan bagi maju mundurnya Micoroft. Karena itulah, untuk posisi-posisi non-core ini kita cukup memelihara karyawan yang memenuhi standard kualifikasi saja – tidak perlu berambisi merekrut yang terbaik. Sebab efek diferensiasi dari posisi-posisi non core terhadap level kinerja perusahaan tidak banyak.

Untuk mereka yang menduduki posisi core atau strategis, maka kita mesti bertarung mati-matian untuk mendapatkan talenta super.

Sebab dalam posisi ini, perbedaan kinerja antara level standar dengan level superior akan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi kemajuan perusahaan (efek diferensiasinya tinggi).

Seorang koki dengan kualifikasi standar mungkin akan membuat rumah makan kita bisa terus eksis, namun kalau kita bisa merebut koki dengan kualifikasi kelas dunia, pasti rumah makan kita akan kebanjiran pelanggan.

Seorang programmer super hebat akan memberikan dampak yang luar bisa besar bagi bisnis Google atau Microsoft.

Fakta diatas membawa kita kepada catatan penting kedua : perusahaan mesti mengalokasikan sumber daya waktu dan energi yang lebih besar (mungkin hingga 80%) untuk mengelola dan memelihara mereka yang duduk dalam posisi kunci (strategic positions); dan sisanya untuk mengelola para non-core employees.

Nah, disinilah suka muncul masalah. Sering dengan alasan pemerataan, sebuah perusahaan memperlakukan semua karyawan dengan prioritas yang sama : semua mendapatkan porsi pelatihan yang sama, atau porsi pengembangan talent yang sama dan seragam.

Gaya manajemen ala sosialisme itu kelihatannya indah, namun dalam jangka panjang tidak akan pernah mampu membawa kita menuju kinerja puncak.

Sebaliknya, kita mesti mengalokasikan sumber daya yang berbeda antara karyawan core dan non-core. Untuk karyawan non core kita cukup mengalokasikan sumber daya pengembangan yang standard saja.

Namun untuk core employees yang bersifat strategis, kita mesti mengalokasikan sumber daya habis-habisan untuk memelihara dan mengembangkan talenta terbaik mereka.

Dengan pendekatan semacam itu, kita tidak perlu lagi repot atau terlalu ambisius untuk mengembangkan semua karyawan (dan ini sering membikin kita selalu kehabisan energi).

Kita cukup memfokuskan energi terbesar kita pada karyawan yang menduduki posisi kunci dan bersifat strategis (dan acapkali jumlah karyawan golongan ini tidak lebih dari 30% jumlah total karyawan).

Talenta-talenta karyawan di golongan inilah yang mesti kita hajar habis-habisan. Dengan pola ini, kita bisa lebih fokus, lebih bisa menghemat energi, dan yang paling penting : bisa meraih hasil yang jauh lebih produktif.