Mungkin kita sudah bosan dengan narasi potensi kekayaan Indonesia yang tidak terserap maksimal bagi kesejahteraan rakyat.
Misalnya “Kita ini bangsa kaya raya, namun potensi alamnya diambil oleh asing” atau “Kita punya tanah yang subur, namun komoditas kebutuhan pokok seperti beras, gula, garam, dan daging masih impor.”
Banyak teori yang menjelaskan bagaimana narasi-narasi tersebut bisa muncul. Misalnya:
Pertama, dalam konteks ekonomi kita terserang gejala resource curse hypothesis. Teori yang menjelaskan bahwa negara dengan kelimpahan sumberdaya alam malah seringkali terjerumus dalam kemiskinan yang dalam.
Hal ini sebab beberapa faktor, misalnya: negara dengan dengan SDA yang kaya seringkali telat memulai proses industrialisasi, pemerintah terjebak pada formulasi kebijakan yang buruk, juga sebab masyarakat kurang memahami bagaimana meningkatkan nilai tambah dari produk dan jasa yang mereka jual, sehingga dijual dalam bentuk mentah.
Kedua, dalam sebuah diskusi dengan akademisi Universitas Diponegoro, penyebab kita susah mandiri terutama pada sektor komoditas kebutuhan pokok, padahal sumberdaya alam kita begitu melimpah, karena masih kuatnya mentalitas pemburu rente. Rente ini secara sederhana adalah proses yang dilakukan untuk mengejar selisih harga.
Akademisi tersebut menjelaskan, proses pencarian rente ini masih sering terjadi biasanya ketika menjelang tahun-tahun pemilu, ada saja proses impor yang dilakukan oleh pemerintah.
Tujuannya mencari selisih harga. Walaupun misalnya di dalam negeri bisa di produksi sendiri, namun harga pokok produksinya terlalu tinggi dan tidak menghasilkan keuntungan bagi kalangan tertentu: pengusaha, politisi dan oknum pemerintah.
Banyak komoditas kita yang masih bergantung pada impor, misalnya gula, kedelai, garam, daging sapi dan sebagainya.
Sementara orang berdagang juga berburu selisih semacam ini. Menurut beliau, mengapa jurusan-jurusan seperti pertanian dan peternakan atau perikanan sepi peminat dibandingkan jurusan manajemen dan bisnis, sebab masyarakat lebih suka mencari selisih harga dari keuntungan tadi dibandingkan membangun kemandirian dengan inovasi pertanian dan perikanan misalnya.
Padahal komoditas pertanian atau pangan yang kuat akan menentukan seberapa kuat suatu negara pada masa yang akan datang.
Selain itu juga sebab gambaran kehidupan petani dan nelayan yang serba kekurangan karena sempitnya lahan, konflik agraria, musim yang tidak pasti dan harga jual komoditas mereka yang sering diakali.
Perburuan rente ini juga muncul misalnya jika kita mengamati sinisme orang-orang kota maupun desa pada jalan aspal yang sudah rusak belum lama setelah diperbaiki, pembangunan jembatan, penataran gizi pada warga dan pembuatan KTP elektronik. Maka banyak dari kita yang berteriak:
“Itu cuma Proyek-an!”
Menggambarkan suatu proses kolusi penjarahan anggaran pembangunan oleh kontraktor atau pengusaha, politisi dan pejabat pemerintah.
Herry Priyono dalam artikelnya di Koran Kompas (Maret, 2014) menuliskan bahwa perburuan rente dalam proyek pembangunan semacam ini mengisyaratkan seberapa akut dan kolosal pembangunan telah membusuk.
Penjarahan anggaran dan pencarian selisih harga selama ini diketahui dilakukan melalui penggelembungan nilai proyek (mark up), pembuatan perusahaan fiktif, atau dengan cara-cara lain. Itulah kenapa istilah ‘proyek’ identik dengan sesuatu yang kotor dan buruk.
Secara akademik, teori rent seeking sudah cukup lama menjadi pembahasan ahli ekonomi. Banyak ekonom yang berpandangan bahwa ancaman terbesar bagi pasar bebas berasal dari regulasi negara.
Adanya otoritas regulasi pemerintah membuat penjarah berlomba memenangkan previlise-monopoli yang disebut rente.
Erani Yustika (2014:56) menjelaskan bahwa teori rent seeking pertama kali diperkenalkan oleh Krueger (1974) lalu dikembangkan oleh Bhagwati (1982) dan Srinivasan (1991).
Awalnya Krueger membahas tentang praktik untuk memperoleh kuota impor, yang mana kuota ini bisa dimaknai sebagai perbedaan antara harga batas atau border price (cum tariff) dan harga domestik.
Dalam pengertian ini, perilaku mencari rente dianggap sebagai pengeluaran sumberdaya untuk mengubah kebijakan ekonomi atau menelikung kebijakan tersebut agar dapat menguntungkan bagi pencari rente.
Walaupun dalam perspektif yang lain, pencarian rente ini harus dimaknai secara netral karena individu atau kelompok tetap bisa memperoleh keuntungan dari aktifitas ekonomi yang legal atau sah seperti menyewakan tanah, modal, mesin dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, pendapatan yang diperoleh seseorang melalui penyewaan (rent) setara dengan pendapatan yang diperoleh individu karena menanamkan modalnya (profit) maupun menjual tenaga dan jasanya (upah).
Sehingga proses pencarian rente bisa bisa juga berarti positif karena dapat memacu pertumbuhan ekonomi secara simultan, sebagaimana orang yang mau mendapatkan laba atau upah.
Mentalitas perburuan rente ini diperparah juga oleh motivasi keikutsertaan warga negara dalam politik untuk sekedar memiliki bagian dalam menikmati (secara sah maupun tidak sah) terhadap anggaran negara.
Saya pernah berbincang dengan warga di warung kopi, yang memiliki saudara menjadi anggota legislatif tingkat kabupaten. Secara sederhana, pernyataannya seperti berikut:
“Tingginya biaya ketika nyalon tidak akan tertutup jika hanya mengandalkan gaji mereka, maka menjadi anggota legislatif tidak akan lengkap kalau tidak punya minimal perusahaan berbentuk CV”
Sehingga mentalitas perburuan rente sebenarnya sudah seolah menjadi hal yang begitu akrab dengan kehidupan masyarakat. Dan dianggap biasa saja.
Mengajak generasi muda untuk kembali bertani dan beternak mungkin buka pekerjaan mudah, namun mentalitas dan motivasi perburuan rente ini jika tidak terus menerus dikampanyekan untuk dihilangkan juga berbahaya. Jangan sampai terkena istilah ‘katak rebus’, kita baru sadar setelah bahaya sudah sangat dekat di depan mata.
Disisi lain, ketahanan pangan dan ketersediaan komoditas pangan hasil produksi dalam negeri akan menentukan ketahanan dan keberlangsungan hidup bangsa di masa yang akan datang.
Dimana di prediksi pangan akan semakin susah didapat ditengah pertumbuhan penduduk yang mengkonsumsinya semakin tinggi. Dengan memproduksi komonitas pangan sendiri, tanpa mengimpor, kita juga bisa bebas jika suatu ketika ada permainan harga dari negara produsesn komoditas pangan tersebut.
Perbaikan integritas dan keterbukaan proses dalam pengembilan kebijakan proyek tentu perlu terus diperbaiki, supaya ‘politik dan pemerintahan’ tidak semakin buruk citranya di hadapan publik sendiri.