Pilkada serentak termasuk pemilihan gubernur porvinsi Jawa Timur telah selesai digelar. Sejauh rilis berbagai lembaga survey dan penghitungan KPU yang terus berjalan ketika tulisan ini dibuat, pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak dinyatakan unggul dari pesaingnya, Gus Ipul dan Puti Guntur.
Segala hal tentang bagaimana masing-masing pasangan memperoleh suara dari masyarakat tentu telah dikuliti oleh analis politik, yang beberapa hari terakhir banjir job di berbagai siaran televisi dan kolom media cetak.
Sejauh yang saya dengar dan perhatikan misalnya: “dibagilah penduduk Jawa Timur ini menjadi beberapa zona wilayah seperti Mataraman, Madura, tapal kuda, metropolis dan sebagainya. Lalu demografis pemilih dibagi berdasar usia, pendapatan dan sebagainya.
Pun mulai didengungkan Jawa Timur menjadi daerah yang paling dinamis sebab mulai tumbuhnya keberadaan pemilih-pemilih rasional, pemilih yang memperhatikan betul performa debat dan kampanye serta mau menelisik latar belakang kinerja nyata dari kandidat dibandingkan faktor-faktor lain.”
Saya dan banyak teman dekat menjadi begitu antusias menjadi penikmat kontestasi elektoral kali ini. Karena menjadi penikmat itu gampang. Kami tidak perlu terjun langsung menjadi pendukung salah satu calon dan berjuang turun ke berbagai basis masa atau menyelenggarakan event kampanye.
Pemilihan gubernur Jawa Timur menjadi bahan obrolan yang menarik setelah Piala Dunia ternyata tidak terlalu semarak untuk dibahas. Atau dalam piala dunia kali ini banyak tim yang sekedar menampilkan permainan utra defensive, mengandalkan serangan balik, sehingga tidak tercipta pertandaingan saling menyerang dengan indah yang layak tonton.
Sebagai kelompok manusia yang banyak menghabiskan waktu di berbagai jenis warung kopi, yang dalam versi Jurgen Habermas bisa dikategorikan ‘public sphere’, kami perlu banyak bahan untuk diperbicangkan bahkan diperdebatkan. Dan berikut beberapa hal menarik yang bagi penulis layak menjadi catatan selama gelaran Pilgub Jatim.
MULAI REDUPNYA PATRIARKI
Menurut Charless E. Bressler, Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.
Masyarakat Jawa dikenal cukup lekat dengan budaya patriarki. Ada istilah mengatakan bahwa tugas perempuan adalah segala urusan domestik ‘masak, macak, manak’. Masih banyak pula yang berpandangan bahwa perempuan lebih baik tidak ber-profesi, cukup menjadi ibu rumah tangga dan sebagianya.
Kemenangan Khofifah tentu menjadi sinyal bagus bagi banyak perempuan lain, untuk membuka diri menjadi pemimpin dalam ekonomi, politik dan pemerintahan. Kemenangan ini menandakan masyarakat sudah cukup terbuka pemikirannya dan tidak menjadi masalah dipimpin perempuan atau laki-laki, selama track record , kompetensi dan komitmennya jelas bagi kesejahteraan masyarakat.
FATWA DAN PEMILIH RASIONAL
Masyarakat Jawa Timur dikenal cukup bahkan sangat religius. Di daerah ini pula lahir ormas keagamaan terbesar di dunia, yaitu Nahdlatul Ulama. Beberapa kelompok yang lain misalnya LDII dan jamaah Wahidiah juga lahir di Jawa Timur.
Kondisi ini ditopang dengan keberadaan banyak pondok pesantren legendaris, yang dalam banyak kasus, para pemimpinnya (kyai atau gus) turut terlibat aktif dalam beberapa pilkada terakhir. Termasuk munculnya berbagai himbauan dan fatwa guna mendukung calon tertentu dalam pilgub kali ini.
Dalam kaitannya dengan orientasi politik kaum santri, ada artikel menarik yang ditulis oleh Guru Besar Filsfat Hukum Islam UIN Sunan Ampel, Abu Yasid di Koran Jawa Pos. Dalam artikelnya, Yasid menuliskan bahwa banyaknya dukungan yang diperoleh Gus Ipul dan Puti dari banyak kyai dan ponpes sebagai basis masanya tidak bisa otomatis mengantarkan kemenangan pada kubu Gus Ipul dan Puti.
Masih menurut Yasid, dalam era milenial seperti saat ini, masyarakat bahkan santri menjadi semakin otonom dan rasional dalam menentukan pilihan politiknya. Serta seolah mengatakan bahwa event semacam pilkada ini adalah urusan duniawi yang berfungsi sebagai wahana (wasilah) dan bukan Tujuan (ghayah).
Keriuhan Pilkada DKI dengan dimunculkannya berbagai diskursus menyangkut kepatuhan terhadap berbagai dalil agama dan fatwa ulama, tampak cukup hati-hati digunakan oleh masyarakat Jatim. Yang tentunya lebih dewasa dalam bersikap.
JANGAN MALU MENCOBA UNTUK KEDUA BAHKAN KETIGA KALINYA.
Jika ada yang percaya pada perbahasa ‘kegagalan adalah kemenangan yang tertunda’, maka Khofifah mungkin salah satu diantaranya. Dua kali maju sebagai calon gubernur Jatim dan selalu gagal, Tuhan akhirnya mentakdirkan kemenangan untuknya pada kesempatan ketiga.
Kemauan, kesungguhan dan motivasi yang terus dijaga mampu memberikan hasil yang cukup manis. Apalagi di awal saya membaca banyak statement yang mengatakan ‘apa nggak malu maju untuk ketiga kalinya, kalau kalah lagi bisa-bisa hattrick kekalahan’. Maka hal monumental yang bisa kita pelajari adalah: jika mencoba sekali saja lalu menemui kegagalan dan kita menyerah, maka belajarlah dari Khofifah. Dia musti menunggu pada percobaan ketiga supaya berhasil.
Banyak tokoh besar juga harus berkali-kali melakukan usaha sebelum akhirnya menemui keberhasilan. Lebih hebat lagi, Thomas Alfa Edison, dia harus melakukan percobaan ratusan bahkan ribuan kali untuk berhasil menciptakan karya-karya yang luar bisa penting bagi kehidupan umat manusia.
NASAB VERSUS KOMPETENSI AKADEMIK
Ada hal menarik dari kampanye tim Gus Ipul dan Puti. Salah satunya adalah menampilkan bahwa pasangan ini merupakan cucu dari pendiri NU yaitu KH. Hasyim As’ary dan cucu dari bapak pendiri bangsa, Ir. Soekarno.
Nasab atau hubungan keturunan menjadi salah satu hal penting dalam budaya masyarakat Jawa Timur. Banyak yang beranggapan bahwa amanah besar hanya bisa diemban oleh orang yang memang memiliki darah dari orang-orang ‘besar’, atau keturunan dari tokoh-tokoh terdahulu. Dalam dunia pesantren ada istilah ‘Gus’ untuk penghormatan kepada anak dari kyai.
Pemahaman semacan ini yang membentuk struktur masyarakat Jawa. Maka tidak heran jika muncul dinasti dalam politik, ekonomi bahkan pemerintahan. Mereka yang berasal dari keturunan tokoh-tokoh terdahulu tentunya unggul sebab memiliki modal sosial (keturunan) serta modal pendanaan yang cukup kuat.
Sementara disisi lain, ada banyak gambar yang mengajak masyarakat menjadi pemilih cerdas. Dengan menampilkan berbagai gelar pendidikan yang diraih oleh masing-masing pasangan calon. Yang terbanyak gelar akademik prestisiusnya tentu Emil Dardak, wakil dari Khofifah. Dalam hal ini tentu Emil lebih unggul. Dan ini yang mulai diamati oleh masyarakat serta disebut oleh pengamat politik sebagai ‘Emil Effect’.
Seorang keturunan dari tokoh besar, siapapun dia tentu harus membekali diri dengan pengetahuan, kompetensi dan pengalaman supaya mampu berada satu level dengan pendahulunya.
Memang masih perlu diteliti apakah masyarakat tidak lagi peduli pada trah, nasab dan keturunan dari calon pemimpin yang akan dipilihnya dan lebih menentukan pilihannya berdasar visi-misi serta kompetensi, atau sekedar kegagalan dari penyampaian pesan kampanye yang kurang menarik kemasannya sehingga lebih mudah membentuk persuasi di benak pemilih.
Apapun hasilnya. Masyarakat Jatim sangat dewasa.
Penulis: Luthfi Hamdani