Sebelum membahas bagaimana peran dan aspek apa yang bisa diambil oleh generasi milenial dalam pembangunan, perlu dikaji dulu landasan idiil dan tujuan mau kemana pembangunan negara dan bangsa ini.
Sebagai landasan idiil, Pancasila harus dan tetap menjadi kekuatan pengikat seluruh tatanan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (Grand Strategy Indonesia: 2010) Termasuk dalam pembangunan Negara. Oleh seluruh generasi Indonesia, hingga saat ini tiba waktunya bagi generasi milenial Indonesia.
Sementara itu ujung dari pembangunan Indonesia sebagaimana tercantum dalam alenia 4 Pembukaan UUD 1945:
“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Pedoman serta paradigma dari Pancasila dan tujuan yang sudah dirumuskan oleh founding fathers bangsa perlu selalu ditanamkan ulang dan direfleksikan, sebagai koridor ke arah mana pembangunan akan dilaksanakan.
Kemudian di manifestasikan dalam aspek sosio-politik, sosio-ekonomi maupun aspek-aspek yang lain. Jika kita, generasi milenial, sebagai pewaris bangsa lepas dari pedoman tersebut maka akan membuat kita terjebak pada kondisi disorientasi, tidak jelas arah dan menuju kehancuran yaitu menjadi bahan eksploitasi negara lain.
Sejarah bangsa dan negara Indonesia ini telah melampaui banyak pasang surut, mulai masa Soekarno dengan perjuangan panjang serta dialektika guna menentukan bentuk juga landasan republik, melewati masa Suharto dengan ‘pembangunannya’, kemudian berganti beberapa pemimpin.
Diujung abad kedua puluh itulah terjadi peristiwa reformasi, dan bangsa kita diantar masuk ke milenium baru. Sedangkan calon ‘penghuninya’ dikategorikan sebagai generasi milenial.
Secara lebih detail, siapakah milenial itu?
Istilah generasi milenial lahir dari ilmu sosiologi pada kajian teori generasi. Dimana teori generasi ini diembuskan pertama kali oleh Karl Mannheim pada 1923.
Dalam esai berjudul “The Problem of Generation”, sosiolog Mannheim mengenalkan teorinya tentang generasi.
Menurutnya, manusia-manusia di dunia ini akan saling memengaruhi dan membentuk karakter yang sama karena melewati masa sosio-sejarah yang sama. Maksudnya, manusia-manusia zaman Perang Dunia II dan manusia pasca-PD II pasti memiliki karakter yang berbeda, meski saling memengaruhi.
Definisinya jika merujuk artikel Aulia Adam dalam Tirto.id (2017) diungkapkan bahwa Generasi Milenial, yang juga punya nama lain Generasi Y, adalah kelompok manusia yang lahir di atas tahun 1980-an hingga 1997.
Mereka disebut milenial karena satu-satunya generasi yang pernah melewati milenium kedua sejak teori generasi pertama kali dikenalkan.
Karakteristik dari generasi ini menurut laporan Alvara Research Center (Februari 2017) disingkat menjadi 3C, yaitu: Creative (biasa berpikir out of the box, kaya ide dan gagasan), Confidence (percaya diri dan berani mengungkapkan pendapat tanpa ragu) dan Connected (pandai bersosialisasi dan pengguna aktif internet).
Selanjutnya jika merujuk riset dari Nielsen (2014) berjudul Millenials Breaking The Myth, bisa kita temukan bahwa karakteristik generasi milenial adalah:
(1) Terbiasa dengan keberagaman, ekspresif dan punya optimisme tinggi.
(2) Mengarahkan kembali gerakan sosial ke kota atau termasuk masyarakat urban.
(3) Pejuang ditengah biaya pendidikan yang tinggi, fenomena pengangguran dan tingkat pemasukan yang rendah, tetapi mereka juga memiliki semangat enterpreneurship.
(4) Termasuk pembeli yang loyal dan menginginkan keunikan khas produk.
(5) Selalu terhubung dan ingin sentuhan pribadi ketika bersentuhan dengan perusahaan.
Jika mengambil perspektif Y.B Mangunwijaya dalam buku “Pasca Indonesia, Pasca Einstein” (1999),
maka generasi Indonesia yang akan datang adalah mereka yang berpikir multidimensional, bertindak dialektis dan dialogis sehingga punya toleransi tinggi, menghargai hak asasi dan mampu menggunakan teknologi secara kritis.
Karakter seperti inilah yang diharapkan muncul bersamaan dengan tingginya intensitas penggunaan teknologi dan internet oleh generasi milenial.
Seberapa besar power dan seberapa lebar terbuka peluang generasi milenial untuk menjadi bagian penting mewujudkan cita-cita pembangunan Indonesia?
Bisa dilihat dalam data BPS bahwa 50% dari penduduk usia produktif saat ini berasal dari generasi milenial dan pada tahun 2030 jumlahnya diperkirakan mencapai 70% usia penduduk produktif.
Kuantitas yang cukup besar untuk menjadi potensi titik balik perubahan banyak kondisi di negeri ini. Tinggal tugas kita secara sadar dan kolektif untuk mengubah keunggulan komparatif berupa jumlah tersebut menjadi keunggulan kompetitif.
Dimana masing-masing individu dari jumlah yang sekian banyak memiliki kualitas yang mumpuni guna memasuki dan menjadi aktor utama pembangunan dan pewujudan cita-cita Indonesia. Sebagaimana dituliskan diatas.
Dari sekian banyak ruang yang generasi milenial kita perlu masuki dan berperan aktif dalam pembangunan didalamnya, penulis memilih mengkaji dua pilihan yaitu: aspek sosio-politik dan aspek sosio-ekonomi.
Pertama
Aspek sosio-politik. Mungkin gambaran umum tentang bagaimana dan apa yang terjadi dalam politik di Indonesia diwakili oleh beberapa kata misalnya: Money Politic, oligarki oleh elit-elit tua yang itu-itu saja sejak Orde baru, politik biaya tinggi, korupsi sistemik.
Juga sering absennya anggota legislatif dalam rapat-rapat penting mereka, produk perundangan dan kebijakan yang sering tidak sempurna diselesaikan atau salah kaprah, kesan dan budaya aristocrat dari wakil rakyat dan pejabat eksekutif yang seharusnya adalah pelayan masyarakat, intrik, pragmatisme, penggunaan isu SARA dalam kampanye pemenangan dan sebagainya.
Segala hal yang membuat jagat politik kita tampak kehabisan harapan, tumpul dan ruang yang ‘kotor’ serta merusak bagi generasi muda (milenial) jika kita ikut masuk kedalamnya.
Namun bagaimanapun, politik adalah elemen penting yang dari sana, mengutip Bertolt Brecth, penyair Jerman: “
…biaya hidup, harga kacang, harga daging (ikan), harga tepung, biaya sewa, harga pakaian (sepatu) dan obat, semua tergantung keputusan politik.”
Lebih lanjut Brecth mengungkapkan sebab ketidakpedulian kita terhadap politik maka “…lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari seluruh pencuri (koruptor), politisi busuk dan rusaknya perusahan nasional dan multinasional”.
Pilihan bagi generasi milenial menyikapi politik negeri ini menurut hemat penulis ada dua: masuk langsung dan terlibat pembenahan dari dalam atau menjadi kekuatan penyeimbang di luar dalam mekanisme cheks and balance.
Pilihan pertama untuk terlibat langsung menjadi penting dan terbuka peluangnya. Sebab beberapa partai mulai beerbenah dalam rekrutmen anggota maupun kadernya.
Mereka paham betul kondisi dan potensi suara serta kepemimpinan generasi milenial. Misalnya yang terbaru dilakukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Mereka merekrut bakal calon anggota legislatif secara terbuka. Lalu sejumlah tokoh profesional diberi wewenang mewawancarai setiap kandidat yang lulus persyaratan administratif. Juga wawancara disiarkan langsung melalui media social Facebook dan Instagram.
Keberadaan kelompok milenial yang terbuka, berani dan punya kecepatan akses informasi bisa perlahan merubah wajah partai politik kita. Langkah yang kelak bisa kita rekomendasikan dilaksanakan juga oleh partai politik yang lain.
Keterbukaan dalam rekrutmen politik semacam ini merupakan langkah bagus guna menutup ruang politik kartel dan nepotisme. Juga sebagai ajang penilaian awal publik terhadap calon ‘wakil’ mereka di lembaga legislatif.
Atau generasi milenial memilih berada diluar institusi demokrasi yaitu partai politik tersebut, kemudian bergabug dengan berbagai aliansi atau LSM yang punya konsentrasi pengawasan kerja legislative-eksekutif, pengawasan korupsi politik atau menjadi netizen cerdas dengan memberi kritik konstruktif melalui saluran media yang ada.
Ditambah karakter generasi milenial yang percaya diri, selalu berjejaring dan kreatif maka diharap bisa segera tercipta kekuatan penyeimbang politik dalam sistem check and balance.
Kedua
Aspek sosio-ekonomi. Kekayaan Sumberdaya Alam (SDA) kita sangat besar. Mulai yang terbarukan (renewable) sampai yang tidak terbarukan (non renewable). Otokritik yang muncul adalah kita ibarat ‘ayam mati diatas lumbung padi’.
Keunggulan yang begitu besar tidak sempurna kita konversikan untuk kemajuan bangsa. Akhirnya yang terjadi masih saja lagu lama: kemiskinan, kerusakan alam, konflik agrarian, kesenjangan ekonomi, pengangguran dan sikap konsumtif (tidak produktif).
Pembangunan ekonomi yang berkualitas merupakan syarat mutlak stabilitas pemerintahan dan kestabilan Indonesia. Pertumbuhan yang baik akan menyerap tenaga kerja baru, baik formal maupun non-formal.
Diluar paradigma yang mengandalkan trickle down effect dalam ekonomi seperti itu, generasi milenial dituntut menjadi aktor utama dalam pembangunan ekonomi negara. Tidak lain dengan menjadi enterpreneur.
Enterpreneurship inilah yang akan membantu kita keluar dari jebakan kekayaan sumberdaya alam, sebab kita terpacu meningkatkan produktifitas dan nilai tambah barang/jasa sehingga menghasilkan kualitas produk yang lebih mahal.
Juga mengurangi kerusakan alam sebab eksploitasi SDA. Sebab industrilasasi dan entrepreneur yang kita lakukan hari punya orientasi mengolah, bukan sekedar eksploitasi. Pengeluaran mayoritas generasi milenial yang mencapai Rp. 1.500.000,- sampai dengan diatas Rp. 2.000.000,- perbulan (Survey CSIS: 2017) bisa menjadi ceruk pasar yang sangat besar bagi produk dari sesama generasi milenial.
Akan sangat disayangkan jika ‘habis’ oleh produsen dan brand asing. Apalagi telah ditunjang oleh mudahnya akses e-commerce, mulai familiarnya social media marketing, jasa pengiriman dan sistem rekening bersama.
Pembenahan generasi milenial dengan segala potensinya terhadap kedua sektor tersebut akan berdampat signifikan pada proses pembangunan Indonesia.
Berdasar hemat penulis, “Kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” sebagai misi strategis keberadaan Negara Indonesia akan tercapai jika prasyarat kedua subsistem sosio-politik dan sosio-ekonomi tadi bisa dikritisi, dibenahi dan dibangun oleh generasi milenial.
Sebab keadilan sosial, kesejahteraan dan nikmat kemerdekaan tidak akan terwujud sempurna jika masih ada penindasan dari yang ekonominya kuat ke mereka yang lemah (homo homini lupus), atau praktik politik ‘main belakang’ yang membodohi massa rakyat.
Maka peran penting sedang menunggu generasi milenial, tinggal terus optimis, kita sadar diri, sadar posisi dan orientasi pembangunan, sadar ancaman dan peluang, juga sadar bahwa mau atau tidak mau, siap atau tidak siap nasib negara bangsa dan seluruh orientasi yang dirumuskan oleh para pendiri akan ada ‘ditangan’ kita, setidaknya 10 hingga 20 tahun yang akan datang.
Daftar Pustaka
Alvara Research Center. (2017). The Urban Middle Class Indonesia: Financial and Online Behaviour. Jakarta
Aulia Adam dalam Tirto.id (2017). Selamat Tinggal Generasi Milenial, Selamat Datang Generasi Z. [Accessed 28 November 2017]
Mangunwijaya, Y.B. (1999). Pasca Indonesia, Pasca Einstein. Jakarta: Kanisius.
Nielsen Millenial Report. (2014) Millenials Breaking Then Myth. New York: The Nielsen Company.
Suparno, Erman. (2010). Grand Strategy Indonesia, Kajian Komprehensif Pembangunan Negara Bangsa. Jakarta: Penerbit Milestone
Survey Nasional CSIS 2017. (2017). Ada Apa dengan Milenial? Orientasi Sosial, Ekonomi dan Politik. Jakarta
(Pernah di ikut sertakan kompetisi esai Youlec.id, 2017)