Penulis: Luthfi Hamdani
Ketika masih kerja jadi jurnalis, saya sempat ditugaskan meliput fenomena alih fungsi lahan pertanian di kota Malang. Beberapa petani penggarap (bukan pemilik) lahan yang saya temui di daerah Sudimoro, di belakang deretan kedai kopi menyatakan bahwa menggarap sawah sekarang sudah jauh dari menguntungkan. Selain juga mereka mengalami beberapa kendala mengakses pupuk.
Menggarap kebun atau sawah sebagai petani kecil selain nilai keuntungannya kecil, juga tentu melelahkan dan ndak keren, plus siklus musim yang semakin rumit. Tidak heran banyak pemilik sawah yang setuju saja lahannya dibeli atau disewa untuk dialihfungsikan jadi kos, kedai kopi sampai lapangan futsal — untungnya lebih jelas. Saat saya tanya urusan ketahanan pangan, mereka bilang bahwa banyak sawah di luar Malang bahkan di luar Jawa yang bisa diupayakan jadi “lumbung” pangan.
Kejadian di lapangan ini menceritakan latar belakang data pertumbuhan sektor pertanian yang jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Saat pertumbuhan ekonomi nasional (pra-covid) ada di kisaran lima persen, sektor pertanian mentok di 3 persen-an. Pertanian tertinggal jauh dari sektor jasa. Dari laporan INDEF (2020), dijabarkan bahwa jasa perusahaan pada tahun 2019 tumbuh 10,25 persen, jasa kesehatan dan kegiatan sosial tumbuh 8,68 persen, jasa pendidikan tumbuh 6,29 persen, jasa keuangan dan asuransi tumbuh 6,60 persen, dan jasa lainnya tumbuh 10,55 persen.
Sialnya saat tenaga kerja (desa) berangsur pindah ke kota, sektor industri manufaktur juga “empot-empotan” (tumbuh cuma di kisaran 3% pada 2019), jadi terjebaklah tenaga kerja kita di sektor informal: jual apa saja, kerjakan apa saja, gak perlu keahlian khusus, asal survive di kota.
Menggarap tanah kebun, sejauh pengalaman saya juga melelahkan. Saya “ngopeni” bibit pepaya Calivornia dan beberapa pohon buah-buahan saja lumayan ‘pegel linu’. Mencangkul puluhan lubang dan rutin menyirami selama dua bulan awal tumbuhan ditanam bukan perkara ringan. Selain jelas juga gak keren. Kita tahu, milenial keren adalah owner usaha rintisan (start-up) berbasis internet dan digital, desainer user interface dan sejenisnya.
Kalau ditanya mending mana bertani atau bekerja di perusahaa jasa keuangan bank jadi account officer, teller atau back-office? Mending mana bertani atau jadi desainer web atau grafis dan copywriter di agensi iklan? Mending jadi petani atau jadi finansial consultant di perusahaan jasa investasi derivatif, trading-trading? Atau jadi staff politisi? Tentu bertani jauh kalah keren. Ndak perlu munafik, kita semua begitu.
Jujur saya muak dengan perkembangan industri sektor jasa (tersier) terutama keuangan dan asuransi yang tumbuh pesat meninggalkan manufaktur (sekunder) dan pertanian (primer) seperti tren beberapa tahun terakhir. Bukan masalah halal-haram riba juga maysir (spekulan), tapi kalau sektor riil (primer dan sekunder) sudah mampet tapi jasa keuangan dan asuransi menjulang tinggi, satu pertanyaan yang muncul di kepala: “opo suwe-suwe meh dho mangan duit kertas, duit digital?”
Tapi ya sesuai judul: jangan bertani dan berkebun. Keduanya berat. Masalah pangan mari kelak serahkan pada daerah luar kota, luar Jawa, atau kalau perlu luar negeri. Selesai.