((Masih tentang kebahagiaan)) Ulama yang paling sering saya simak pengajian atau ceramahnya saat ini adalah Kyai Bahaudin Nursalim atau Gus Baha. Kyai asal Rembang ini banyak disebut sebagai salah satu murid terbaik mbah Moen (Kyai Maimun Zubair).
Sebagai ulama dengan referensi ‘luar biasa’ tentang beragam bidang khazanah ilmu agama, satu bagian paling saya suka dari Gus Baha adalah ajaran bahwa orang beragama harus ceria, rileks atau harus bahagia.
Gus Baha sering menyampaikan bahwa majelis atau forum ngaji (ceramah) agama sebisa mungkin dihiasi dengan bercandaan (guyonan). Supaya jamaah yang berangkat ke pengajian sudah berbekal segala permasalahan domestik rumah tangga, tidak semakin sakit kepala dan sedih tatkala datang.
Dalam kesempatan lain, beliau juga sering bilang bahwa beragama jangan sampai jadi masalah, jangan jadi beban. Umat harus bahagia dengan kenikmatan berupa iman dan islam, harus meresapi kenikmatan sujud dan rukuk. Sebab tanpanya, manusia hanya akan melakukan beragam rutinitas hewani; makan, tidur, berhubungan seks, beranak lalu mati.
Alasan lain kenapa harus bahagia dan ceria, yaitu sebagai wujud iman dan ridha pada qadha’ dan qadr yang segala baik dan buruknya datang dari Allah. Selain itu, sebab bercanda dan berbahagia dalam beragama, kita bisa terhindar dari upaya ‘mencari kebahagiaan’ yang terlarang.
Dari Gus Baha pula saya belajar bahwa ketakutan akan siksa kubur dan neraka musti ditempatkan secara proporsional, jangan berlebihan. Nanti malah berujung was-was, ragu-ragu, jadi tidak ikhlas.
Dalam dunia pesantren, yang notabene salah satu ruang terbaik dimana ajaran agama diwariskan, humor, bercanda dan gojlokan jadi tradisi lisan yang begitu lekat. Dulu, saya sering dengar istilah: “Santri yang tidak terlalu pandai guyon atau masih suka tersinggung kalau digojloki (diguyoni) berarti kurang lama berada di pesantren.” Budaya yang kemudian mewarnai bagaimana cara berkomunkasi kyai atau ulama jebolan pesantren ketika mereka menjadi tokoh di masyarakat.
Sehingga menurut saya, di tengah beragam ‘rusuh’ terorisme, penipuan investasi berkedok agama, ceramah agama yang provokatif, bencana wabah, ketakutan psikis terkait bagaimana kondisi kehidupan setelah mati atau ribut perdebatan tiada ujung antar kelompok agama, penting untuk menanamkan (serta mencari) dalam diri sendiri dimensi kebahagiaan dan keceriaan dalam beragama. Sehingga jadi pemeluk agama yang “bahagia sebab beragama dan beragama dengan bahagia”