Saya memulai menulis naskah ini di kursi kedai waralaba, McDonald di Ngaliyan Semarang. Lokasi tepatnya, kalau anda datang dari arah Jakarta, beloklah ke kanan di pertigaan UIN Walisongo, lalu ikuti jalur lurus yang agak menanjak, di kiri jalan anda bakal menjumpai logo yang sudah sangat akrab dimata.

Sebab ada dimana-mana.

Mulai Jakarta sampai Tulungagung, mengecualikan Trenggalek memang. Dimana penduduk lokal pegiat literasi disana masih sering mengumandangkan perang pada produk makanan dari luar negeri.

Kapan hari makanan Korea yang jadi korban. Selain itu, yang mau waralaba McDonald di Trenggalek juga mikir dua kali, lihat daya beli masyarakat juga.

Kenapa harus di McDonald?

Sesekali saja, mumpung saya sedang ada rejeki. Selebihnya bakal istiqamah di warteg.

Teman yang saya ajak disana bilang:

“Sebenere dari segi rasa biasa saja, kenyang juga nggak, mahal malah iya. Tapi memang unggul di cepet, bersih dan suasana modern. Selebihnya terasa bangga juga kalo bisa makan dan nongkrong di Mc Donald.”

Mindset konsumen semacam teman saya ini yang bikin ekspansi bisnis McDonald gak ada berhentinya. Saat ini, total gerai McDonald di Indonesia sudah mencapai 177 gerai, termasuk tujuh gerai yang sudah dibangun sepanjang 2017. Demikian data yang disampaikan PT Rekso Nasional Food, pengelola gerai McDonald di Indonesia.

Secara global, jumlah restoran McDonald di tahun 2009 mencapai 32.000 dan tersebar di 118 negara. Di negara asalnya, McDonald masih memenangkan persaingan dibanding kompetitornya yaitu, Burger King dan Wendy’s.

Keberhasilan McDonald menguasai pangsa pasar dunia, menurut Michael Hitt, dkk (2010) sebab sejak mereka mengalami kemerosotan di tahun 2003, McDonald mulai membenahi diri pada strategi di level bisnis (business-level strategy) dengan fokus pada inovasi produk dan meningkatkan kondisi restoran mereka.

Dalam strategi level korporasi (corporate-level strategies), McDonald memutuskan untuk mengurangi diversifikasi. Sedangkan secara operasional, McDonald mulai dengan cermat mendengarkan harapan pelanggannya, yang menuntut nilai lebih dari uang yang mereka bayarkan, menginginkan kenyamanan yang lebih juga produk yang lebih sehat.

Disisi lain, banyak juga pihak yang menolak ekspansi McDonald. Di Vatikan, kardinal Elio Sgreccia yang beranggapan McDonald jauh dari tradisi gastronomi Romawi. Terlebih pilihan makanannya tidak sehat.

“Berdirinya toko sandwich besar (McDonald) di Borgo Pio adalah hal memalukan. Akan lebih baik jika lokasi tersebut dijadikan ruang untuk mereka yang membutuhkan, tempat untuk keramahtamahan, atau tempat tinggal untuk mereka yang menderita,” ujar Sgreccia, seperti dikutip dari Reuters (4/1).

Tak berhenti disitu, para pebisnis lokal bahkan menyurati Paus Francis untuk meminta tolong menghentikan McDonald. Mereka khawatir McDonald akan merusak artistik, budaya, dan identitas sosial lingkungan setempat.

Secara sosial, ada buku menarik yang mengkritik konsumsi fastfood McDonald oleh masyarakat kita. Misalnya buku McDonaldisasi masyarakat, yang ditulis oleh George Ritzer.

Ritzer mencoba menyampaikan keprihatinan atas proses dehumanisasi masyarakat akibat proses McDonaldisasi. Dengan beberapa perspektif kritis, pembaca dan masyarakat diharapkan mendapat peringatan agar bujukan McDonaldisasi ini jangan sampai membutakan daya kritisnya.

Itu semua agar kehidupan masyarakat terselamatkan dari unsur-unsur yang tidak manusiawi yang mengintai dan mengancam dari semua lini kehidupan.

Ritzer menerangkan bahwa penggunaaan istilah McDonaldisasi mengacu kepada sejumlah fenomena, yaitu mulai dominannya prinsip-restoran-cepat-saji dalam lebih banyak sektor kehidupan di Amerika dan belahan dunia.

Fenomena McDonald ini hanya sebuah kasus, yang menjadi representasi beroperasinya model rasionalisasi dan birokratisasi dalam masyarakat yang dimulai di awal abad ke-20.

Dalam kasus McDonald, Ritzer menyebutkan bagaimana sebenarnya prinsip efisiensi yang menjadi alasan pilihan McDonaldisasi masyarakat menjadi tidak rasional. Secara kritis, Ritzer mempersoalkan: efisien buat siapa? Efisien bagi pelanggan, atau siapa?

Ini sama halnya dengan mengatakan bahwa ATM akan lebih efisien. Padahal, tidak jarang ATM menjadi tidak efisien karena antrean yang tak terhindarkan.

Dalam kasus ATM ini menjadi jelas bahwa definisi efisien lalu hanya bermakna bagi pihak pengelola bank, dengan memperkecil jumlah pegawai di bank dan digantikan dengan sejumlah mesin ATM itu.


Belum lagi dengan sejumlah ancaman lingkungan yang menjadi efek negatif McDonald. Prinsip persamaan mutu yang begitu dipercaya konsumen menuntut produsen untuk hanya menggunakan bahan mentah dengan kualitas yang sama.

Akibatnya, penggunaan zat-zat kimia berlebihan tak terelakkan sehingga akhirnya justru merusak kualitas tanah. Belum lagi kandungan lemak, kolesterol, garam, dan gula, yang tak seimbang dan kurang menguntungkan bagi kesehatan konsumen.

******

Intinya adalah:

Pertama, McDonald jadi satu role model perusahaan raksasa yang bisa memanfaatkan globalisasi dan liberalisasi perdagangan yang menyertainya. McD memiliki kemampuan luar biasa dalam proses manajemen mulai strategi, operasional sampai pengelolaan sumberdaya manusia.

Kebesaran McD sebenarnya bisa dijadikan ‘studi banding’ mengembangkan industri kuliner kita. hehe

Kedua, Prinsip efisien dan modern yang dibawa oleh McDonald dan restoran sejenis, jangan sampai mematikan daya kritis dan  rasa kita sebagai manusia. Tetaplah peka dan peduli pada realitas dan fenomena sosial-kemanusiaan yang terjadi disekitar kita.

Ketiga, jangan sering-sering makan di McDonald, sebab selain masih dipercaya membawa beberapa penyakit (tidak sehat) juga sebab jika terlalu sering makan di McDonald, apalagi sekedar buat panjat sosial, bakal nggak baik buat keuangan kalian para mahasiswa.

Mending ditabung kan duitnya, kalau sudah banyak, nanti ngajukan buka franchise McDonald. Bisa lebih untung bukan?