Oleh: @luthfiham
Ada satu paradigma unik (tapi kuno) dalam dunia jurnalistik, berbunyi: “Bad news is good news”. Versi terjemahan bebas, maknanya berarti “Kabar buruk, adalah berita yang bagus”. Ini berhubungan erat dengan tugas jurnalis mengemas konten berita. .
Kejadian seperti korupsi, pembunuhan, pelecehan seksual, peredaran obat-obat terlarang, kemiskinan dan bencana alam adalah makanan sehari-hari wartawan. Semua buruk, kontroversial, tragis, dan lain-lain. Tapi disitulah nilai berita. .
Seorang jurnalis senior di Malang bilang ke saya, saat ini idealnya setiap berita punya unsur ‘What’s Next’. Selain memenuhi unsur 5W + 1H dan nilai-nilai di atas, berita harus bermisi: edukasi, memperbaiki, dll. Lalu menyampaikan kepada publik tentang bagaimana idealnya mereka menyikapi satu peristiwa.
Tentu ditulis dengan narasi sehalus mungkin. Penulis berita tidak boleh beropini.!!. Misal jika sering ada kecelakaan di jalan A sebab aspal rusak, bisa ditulis: “Warga harus lebih hati-hati saat melintas di jalan A, sebab semalam terjadi lagi kecelakaan….. ”
Unsur ‘What’s Next’ ini jadi pelajaran penting. Dalam hidup, idealnya kita terus menyampaikan dan menebarkan kebaikan, edukasi atau juga peringatan waspada. Setidaknya punya i’tikad baik menjadi manusia yang berkontribusi pada kebahagiaan, keselamatan, keberhasilan pun kebaikan orang-orang lain. Baik dalam situasi yang bagus ataupun buruk. .
Dengan catatan: dilakukan dengan halus, tanpa mereka sadari atau sampai merasa memiliki hutang budi. Sebab sebaik-baik manusia adalah yang interaksi dengan sesamanya selslu memberikan kemanfaatan dan kebaikan.