Saya hampir pasti terbangun menjelang jam empat pagi. Kamar kos depan saya yang ditinggali sepasang suami istri dengan dua orang anak, selalu ramai jam tersebut. Bapak di keluarga tersebut orang yang begitu religius, atau setidaknya dia selalu shalat subuh dan magrib berjamaah di mushola.

Pak Samsu, begitu dia memperkenalkan diri, bekerja sebagai polisi. Secara spesifik, lebih di bagian administrasi. Jam 6 pagi dia akan mengantar istrinya bekerja dan dua anaknya ke sekolah, sebelum kemudian dia akan bergegas ke kantor.

Pola yang terulang, setiap pagi. Kecuali hari minggu saat dia libur. Minggu pagi mereka hampir tidak pernah absen ke car free day. Di daerah simpang lima Semarang, yang jaraknya cukup jalan kaki dari kos kami.

Yang menarik perhatian, adalah tentang bagaimana keluarga kecil tersebut menjalani kegiatan sehari-hari. Berada di sebuah kos ukuran standar dengan dua orang anak kecil yang susah di urus.

Bagi pemuda seperti saya, membayangkan hidup dengan kondisi yang dialami polisi tersebut tentu sangat berat.

Melihat dengan mata sendiri bagaimana susahnya menghidupi sebuah keluarga kecil seperti itu, saya teringat guyonan yang sering di sampaikan beberapa penceramah:

“Orang Indonesia ini punya karakter sangat pemberani, bagaimana tidak, mereka berani menikah tanpa memiliki pekerjaan. Cuma modal dengkul atau setidaknya cuma modal bismillah. Mereka juga berani bikin anak dan melahirkan lagi, padahal kredit motor masih sering nunggak.”

Sementara itu, pada pertemuan pertama perkuliahan, dosen saya bilang:

“Beberapa tahun yang akan datang, pasar dan industri akan beralih ke Asia. Dengan India dan Cina memimpin di depan. Sementara negara-negara anggota benua Asia lainnya akan nyusul di belakang.

Tahu apa sebabnya?

“Ya, sebab pertumbuhan penduduk (tingkat kelahiran) kita tinggi. Manusia yang bakal penggerak industri dan konsumen di pasar yang sangat besar.”

Pernyataan yang cukup menarik. Tentu dilihat dari perspektif ekonomi.

Fenomena kecil tentang pertumbuhan populasi manusia ini perlu menjadi pembahasan utama kita. Bagaimana tidak, di tengah bumi yang sudah mengalami pemanasan global, kita masih dihantui oleh peperangan, oleh kehabisan sumber makanan dan kehabisan energi, kelangkaan air bersih dan penyebaran penyakit menular.

Logikanya sederhana, semakin banyak manusia baru yang lahir, maka kita perlu semakin banyak jumlah bahan makanan dan air bersih. Sementara sawah kita di Indonesia (misalnya) banyak yang teralih fungsikan menjadi gedung dan sebagainya.

Minat masyarakat untuk bertani juga terus menurun, sebab margin keuntungannya rendah. Maka akrab dalam benak kita bahwa petani ya hidupnya miskin, serba susah dan tidak menentu sebab musim (sekarang) juga tidak pasti.

Kondisi ini yang membuat banyak ekonom mengatakan bahwa bisnis yang memiliki prospek bagus di masa mendatang adalah di sektor pangan. Yaa, semakin langka makanan di tengah semakin banyak ‘perut yang membutuhkannya’ maka akan semakin tinggi persaingan dan usaha yang dikeluarkan (berupa uang) untuk memperolehnya.

Kita tentu tidak ingin skenario dalam film-film zombie (the walking dead) terjadi. Dimana manusia sebab kehabisan bahan makanan dan terserang wabah tertentu berubah menjadi pemakan manusia juga.

Terkait peperangan dan air bersih, tentu sama juga masalahnya. Ruang (bumi) yang sama luasnya ketika ditempati oleh semakin banyak orang akan menjadi semakin sempit, maka muncullah perebutan ruang-sumberdaya dan perang. Tentu ditambah motif pencarian sumber energi terutama minyak bumi. Ideologi dan sifat kesukuan seringkali hanya bumbu-bumbu diatas motif yang sebenarnya.

Atau dalam perspektif lain, sebagaimana disampaikan dosen saya, manusai hanya akan dipandang dari sudut pandang pasar. Pasar tenaga kerja dan pasar konsumsi produk yang dihasilkan oleh mereka sendiri. Seperti itu-itu saja siklusnya.

Secara lebih spesifik tentang tantangan kedepan peradaban manusia, anda bisa memperoleh informasinya di internet. Misalnya di aku Facebook Hashem al-ghaili.

Maka, dalam tulisan ini, sebenarnya bagian dari keresahan saya tentang bagaimana nasib generasi kedepan. “Masihkah mereka tinggal di planet yang layak huni? Sejauh mana mereka menjadi manusia dengan kemanusiaannya dan bukan sekedar komoditas pasar tenaga kerja?”

Sudah seharusnya kita lebih bijak, melakukan usaha-usaha yang dalam jangka pendek maupun jangka panjang mampu menjaga supaya dalam masa-masa yang akan datang bumi kita masih tetap layak huni.

Juga sebenarnya tentang menikah dan memiliki anak, kita perlu mengkaji lagi. Yaa, walaupun anak dalam banyak term dipahami sebagai titipan Tuhan, tapi bagaimanapun kehendak melakukan proses fertilisasi ada di tangan manusia.

Paradigma lama bahwa semakin banyak anak berarti semakin banyak rejeki perlu diubah, setidaknya setelah melihat kondisi lingkungan saat ini. Mengurangi atau setidaknya mengontrol jumlah manusia baru yang lahir ke bumi, walaupun tidak menjanjikan solusi sepenuhnya, setidaknya mampu sedikit mengurai akar masalah peradaban kita saat ini.

Tanpa merubah sistem dan pola hidup kita saat ini, bisa diibaratkan kita tengah membiarkan saja generasi yang akan datang menjalani kualitas hidup yang jauh lebih buruk, yang akan mendorong mereka sedikit demi sedikit pada jurang kehancuran.