Kita mengenal Korea Selatan lewat invasi film dan grup musik mereka. Satu ciri dominan dari gelombang budaya Korsel yaitu: kemewahan. Di film, selalu ada pemeran tokoh super kaya.
Pada film LOVE RAIN (satu-satunya drama Korea yang saya tonton sampai selesai) peran itu dimainkan oleh aktor Kim Young-Kwang sebagai Han Tae Sung.
Setting mewah ini mewakili ekonomi Korea Selatan yang tumbuh tinggi. Produk industri elektronik mereka merajai dunia, sebut saja Samsung dan LG.
Pendapatan perkapita Korsel tahun 2017 sebesar 29 ribu USD. Sementara Indonesia pada tahun yang sama sebesar (hanya)3 ribu USD. Menandakan penduduk mereka jauh lebih maju dan makmur (dari kita).
Dibalik kemewahan itu, Korsel Jadi negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi dibanding negara maju lain. Dalam reportase media berita VICE, Korsel bahkan harus membentuk Badan khusus untuk menangani bunuh diri.
Data lembaga tersebut, pada tahun 2011 jumlah kasus bunuh diri mencapai 15.900-an orang. Berarti ada 1 orang setiap setengah jam. Lompat dari jembatan Mapo ke sungai Han di Seoul jadi salah satu pilihan favorit.
Penyebabnya: “Ditengah ekonomi yang maju pesat, masyarakat kelelahan secara spiritual dan mental. Lingkungan kompetitif bikin orang jadi egois. Sehingga yang tertinggal dianggap gagal dan gak berguna. Ego mereka hancur, lalu depresi dan bunuh diri.” Taek Soo-Jung.
Ekses negatif ini bisa juga menimpa Indonesia. Sejauh ini kita berupaya keras melakukan industrialisasi, supaya ekonomi terus tumbuh. Mengejar negara-negara maju.
Persaingan antar kita juga semakin sengit, misalnya untuk masuk kampus unggulan, mencari kerja, menjadi anggota dewan sampai jadi presiden. Sehingga akrab terdengar ‘gagal nyaleg lalu stres’. Semua berujung pada sifat egois dan materialistik; ‘jadilah kaya supaya dihormati.!’
Belum juga maju, beberapa hari terakhir, elit kita memainkan Zero Sum Game, yaitu; ‘dalam kompetisi, jika saya jadi pemenang, maka yang lain pecundang. Supaya saya menang, lawan harus kalah.’ Bukan lagi; Ayolah maju bersama, kolaborasi.
Dalam situasi begini, juga belajar dari Korea Selatan, watak komunal (saling terikat) kita perlu dibangun lagi. Dengan sering kumpul (slametan-kenduren dsb), ngobrol di ruang publik (warung kopi, emper masjid).
Sebab saling bercerita dan merasa dianggap ‘ada’ oleh sekitar adalah obat terbaik bagi keterasingan dan depresi. Daripada musti bayar psikiater.