Tahun 2018 itu tahun politik. 170 an daerah bakal ngadakan Pilkada. Prosesi yang kalau di pengajian orang-orang kampung biasanya dijadikan joke sama dengan Pil KB. Dan jadi guyonan terkenal. Bedanya kalau Pil KB kalau lupa, jadi. Kalau Pilkada kalau jadi, lupa. Tau kana? Heuheu (pasti gak lucu)
Yang diprediksi bakal jadi paling seru ya Jawa Timur sama Jawa Barat. Dua daerah dengan jumlah penduduk paling padat nomer 5 dan 6 seantero nusantara. Parpol pengusung ataupun kandidat yang maju bakal terkenal jika menang. Itu saja. Terkait bakal mempengaruhi suksesi Jokowi di periode keduanya, yaa kita nggak tau. Dan gak usah dianalisa. Lagipula blio bleum deklarasi kan.? Siapa tau besok-besok blio pengen fokus momong cucu. Ya kan ndak tau.
Pilkada bagi generasi Y atau milenial kayak saya ini ya sekedar permainan kelompok oligarki tua untuk pemenangan-pemenangan. Tentang nggunakan APBN sebagai sumber pendanaan pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Konsolidasi-konsolidasi, lalu berakhir di korupsi politik. Itu saja.
Lalu, kenapa politik kita ini ya begitu-begitu saja siklusnya, bagi saya sangat dipengaruhi sama cara calon pemimpin, pemimpin dan alumni pemimpin kita memandang diri mereka. Faktor yang krusial dan berdampak pada kinerja, pada nasib dia juga pada nasib rakyat yang milih. Jadi begini, kita bagi kedalam tiga fase:
- Sebelum dan Ketika Nyalon
Ini momen penting pengambilan keputusan si calon pemimpin mau maju atau tidak. Terjadi pengulatan batin yang amat sangat. Apalagi bagi mereka yang kurang ato tipis modal dananya. Lalu timbul pertanyaan: Saya maju gak ya? Dana saya kalau kurang saya minjam ke siapa ya? Ini kader-kader sudah banyak yang maksa maju, nanti kalau menang saya mau ngapaian ya? Kalau saya gagal dan utang gak terbayar gimana ya? Jejaring dan kontribusi saya di daerah ini gak gede-gede amat, bisa menang gak ya kalau sekedar pakai baliho dan bayar media? Kalau kelak saya tertimpa musibah tertangkap Tipikor atau KPK, lalu saya drama macem-macem, kolega saya mbantu gak ya, atau malah berebut kursi jabatan saya di partai dan pemerintahan.?
Setelah melalui fase bertanya-tanya ke dirinya sendiri, mereka yang kuat mental dan modal bakal deklarasi. Lalu maju mendaftarkan diri. Mereka bakal memandang dirinya dan menampilkan diri ke publik mirip judul oratorio karya George Frederich Handel: Sang Mesias. Sebagai juru selamat.
Ya, untuk segala permasalahan di masyarakat sayalah solusi dan penyelamatnya. Kira-kira begitu perasaan mereka. Kemiskinan? Saya solusinya. Anak gak sekolah? Saya solusinya. Banjir? Saya solusinya. Pengangguran? Saya solusinya. Lalu got mampet, perkara narkoba, perkara prostitusi, perkara, macet, investasi, pariwisata, istri susah hamil, kebudayaan dan literasi, kesehatan, kesurupan, suami main serong dan kriminalitas. Saya semua jawabannya. Sayalah penyelamat. Percayakan pada saya, saya ahlinya.
- Ketika Sudah Terpilih
Sang Juru selamat dengan segala tawaran visi misi dan gagasannya, kalau sudah jadi, dia juga bakal mentransformasikan diri. Sekarang mereka adalah penguasa. Kita ambil konteks hukum rimba: “Siapa yang kuat maka dialah yang menang dan berkuasa”. Apapun yang “disabdakan” (dikatakan) oleh penguasa merupakan hukum tertinggi dan harus dilaksanakan, hal ini diistilahkan sebagai “Sabdo Pandhito Ratu”. Betul tidak sodara karakter pemimpin kita yang sekarang kelihatan ya kayak begitu.?
Kalau sudah menang begini, mereka bakal dihinggapi superioritas dan kondisi psiko-patologis: Megalomania. Terjebak fantasi delusi kekuasaan atau kemahakuasaan. Megalomania, yang bisa juga disebut sebagai “narcissistic personality disorder”, penyimpangan kepribadian karena menghargai diri sendiri atau kelompoknya secara berlebihan.
Maka gak heran kalau muncul istilah: “Bukan urusan saya”. Atau “urusan yang begini ya biar bawahan saya yang ngatur”, “Semua bisa diatur”, “pokoknya terima jadi”, “Yang punya wewenang anggaran ini saya, mau saya bikin untuk percepatan pembangunan, buat WC, renovasi kolam ikan, buat hibah ya urusan saya.” Familiar kan? Heuheu
- Ketika Lengser
Kalau sudah lengser begini, para yang terhormat pemimpin kita biasanya gak bakal lepas dari post power syndrom. Mereka hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya saat masih menjabat. Jadi biasanya ditambah mau menutupi perkara yang lewat-lewat, mereka bakal ngajukan anaknya, istrinya, istri keduanya, kolega dekat, wakilnya, kerabat, atau bahkan kalau sebenarnya bisa: kambing di dandani saja yang diajukan di Pilkada.
Gak lain sebab supaya kebesaran dia dan keluargnya bisa terabadikan, supaya program-program dia masih bisa terus berjalan, anggaran yang terlanjur dirancang dan disahkan bisa ngalir sedikit-sedikit ke kantong, atau kasus penyelewengan yang dia buat bisa ditutupi. Jadi saling mengunci. Sampeyan diam, saya diam. Selesai perkara.
Jadi simpel saja, siklus pandangan pemimpin kita pada diri mereka ya sekedar: bertanya-tanya dalam keraguan yang dalam, maju dan merasa jadi juru selamat segala permasalahan, bertransformasi jadi penguasa, terakhir masih tertinggal kuasanya dan terjebak syndrom kebesaran diri tadi dengan segala atraksinya. Gak lebih.
Maka, mari menikmati Pilkada kedepan yang ramai-ramainya sudah sejak sekarang itu dengan selow saja. Dengan santai. Sambil ngopi-ngopi.
Jadi teringat saya pas ngopi bareng teman, kawan, sahabat dan ikhwan mahasiswa di kantin kampus. Kalau ada yang nilep korek cricket dan gak ketahuan, korban kehilangan bakal bilang: “Wah koncoku wes podho pinter politik, iso ngesaki cricket ning ora keruan. Ditambah ora ono seng ngaku.” (wah sudah pada pinter politik teman-temanku, ngambil cricket bisa gak terdeteksi. Juga gak ada yang ngaku.)
Jadi politik itu, ya sama dengan ngakali dan ngambil keuntungan lalu gak ketahuan. Itu saja. Heuheu.