Oleh: @luthfiham
Dulu-dulu sebelum 2018, warga kampung Kauman Malang ini ndak pernah kepikiran bahwa rumah-rumah klasik di lingkungannya bakal jadi lokasi wisata.
.
Kebetulan minat wisata orang Indonesia meningkat drastis beberapa tahun terakhir. Kebetulan wisatawan lokal ini banyak yang duitnya gak cukup kalau wisata ke tempat yang jauh-jauh.
Lalu kebetulan warga Kauman punya aset berupa beberapa bangunan kuno yang lumayan ‘fotoable’. Kebetulan pula, setelah beberapa proses edukasi dan konsolidasi dari ketua RW yang ada di foto pertama, warga RW tiga, sepuluh dan satu mau diajak bangun wisata.
(Walaupun kata dasarnya sering dipakai dalam konteks yang sama, kebetulan dan kebenaran punya makna berbeda.)
Perkembangan ekonomi dan hal-hal besar lain seringkali juga disebabkan faktor kebetulan begini. Arab Saudi yang kebetulan daerahnya dipenuhi gurun-gurun panas, kebetulan pula tahun 1938 ketemu sumber minyak besar. Padahal raja Saudi awalnya cuma pengen nyari sumber air. Kebetulan nemu minyak bumi, dari kebetulan itu mereka kaya-raya foya-foya jaya bersama Amerika.
Versi pak RW yang saya lupa tanya namanya, pengunjung untuk hari biasa bisa 100-200 orang, kalau weekend bisa 400 an. Pas saya tanya berapa uang yang muter di lingkungan sini dampak dari wisata, dia bilang: “Hitung saja dikalikan tiket masuk yang lima ribuan.”
Orang Jawa menyebut kebetulan ini dengan term ‘ndilalah’ atau ‘ketepakan’.
Kalau fanboy Jokowi menyebut gaya dan gagasan ekonomi junjungannya dengan istilah ‘Jokowinomic’ atau apalah, warga Kauman dan Kerajaan Saudi bisa menyebutnya gaya mereka dengan ‘kebetulan-nomic’ atau ‘Ketepakan-nomic’. ((Beda konteks dengan istilah nomic-nya Jokowi)). Gak tepak yo kari di tepak-tepakno, di betul-betulno.
Intinya, karena kita tak pernah tahu bagaimana detail takdir bekerja, maka memaknai keberuntungan dengan istilah ‘kebetulan’ jadi pilihan paling tepat.