Beberapa hari lalu saya menulis di insta-story tentang Cak Nun, begini tulisannya:

“Penggemar Cak Nun ini dominan ‘pengidap’ Quarter Life Crisis. Mereka yang sedang bimbang perkara cinta, kerja, idealisme, friksi sosial dan kadang bertanya: ‘Kenapa saya harus hidup dan harus beragama?’ Cak Nun tau pendengarnya, dan diajaklah menjelajah tantangan pemikiran, bebas saja. Namanya juga berpetualang”

Tanpa bermaksud ngelangkahi beliau dengan segala ilmu dan kontribusinya bagi masyarakat dan negara, yang saya tidak ada apa-apanya. Jadi intinya: saya pengen tahu apa sebenarnya yang membuat fans (jama’ah maiyah) Cak Nun mengidolakan beliau dan grup musiknya. Itu saja.

Termasuk adik kandung saya, yang setiap ada acara maiyah di kota Malang, dia akan paling depan datang. Sampai sekarang.

Respon follower, atau teman-teman instagram saya tentu beragam. Setidaknya ada 5 orang yang mengomentari Insta-story tersebut. Bermacam komentar, di antaranya:

Komentar 1: “wah, iki perlu di teliti sek mas. Ben gak salah.”

Komentar 2: “Sek, sek. Kok iso ngarani ngunu sampeyan.”

Komentar 3: “mantapp bosku.”

Kedua komentar lain, intinya hampir sama.

Untuk informasi, follower saya di Instagram tentu tidak terlalu banyak. Jadi yang berkomentar dan nonton Instastory saya juga terbatas. Hehe

Yang menarik perhatian dari keberadaan Cak Nun, ditengah perkembangan teknologi digital (Youtube) dan polarisasi kelompok islam di Indonesia, adalah beliau berusaha mengambil posisi di tengah. Netral.

Atau dalam redaksi yang lain:

“Gak peduli orang NU, HTI, Khilafah atau bahkan gak jelas kelamin organisasinya, pokoknya datang ke saya ya tak sambut sebagai saudara. Disini yang diacu adalah kebenaran.!”

Anda tau apa yang saya maksud polarisasi di media sosial. Di kutub satu ada NU, bersama Muhammadiyah-nya Buya Syafii Maarif, dibantu kelompok-kelompok yang secara keberpihakan politik cenderung ke PKB dan dan Jokowi, mereka islam semua.

Di kutub satu lagi, ada kelompok pendukung formalisasi syariah, penganjur khilafah, condong pada PKS dalam pilihan politik dan mengidolakan atau mengharap orang seperti Erdogan-lah yang pantas memimpin Indonesia.

Apakah pengelompokan tersebut akurat? Tentu tidak sepenuhnya. Lagipula Cak Nun dalam salah satu bukunya mengkritik pengelompokan yang tumpang tindih ala Geertz yang mbedakan manusia jawa-islam jadi tiga golongan: priyayi, abangan dan santri.

Mari melihat seberapa banyak atau ramai penonton atau jamaah Cak Nun.

Kalau melihat langsung acara maiyah, kita bakal tau bahwa setiap acara beliau setidaknya pasti dihadiri lebih dari batas minimun jamaah shalat jum’at, 40 orang.

Yaa, Maiyah adalah acara semacam pengajian walaupun Cak Nun jarang mau disebut pengajian, yang di kemas dengan santai, sambil rokok-an, diselingi guyonan-guyonan dan ditambah ramai oleh kehadiran grup musik Kiai kanjeng.

Sementara, jumlah penonton video Youtube yang berhubungan dengan Cak Nun, baik yang di posting oleh akun resmi Cak Nun maupun yang telah di edit dan di post oleh orang lain, jumlahnya hampir selalu mencapai puluhan bahkan ratusan ribu.

Misalnya video berjudul: “Cak Nun tentang LGBT dilegalkan?” yang di posting oleh Sufi Hoja mencapai jumlah 86 ribu view. Dan video berjudul “Ramalan Cak Nun tentan Pemimpin 2019 mendatang.” Mencapai jumlah 1,1 juta penonton.

Tentang judul-judul video di Youtube, anda tahulah kenapa dominan menampilkan sisi bombastis.

Lalu apa yang membuat Cak Nun begitu digemari?

Salah satu responden yang juga teman, seorang juga pecinta acara maiyah, memberikan jawaban yang mungkin mewakili banyak jamaah yang lain:

“Cak Nun tidak mau di hormati terlalu tinggi bahkan dikultuskan, itu yang membuat komunikasinya lebih menyentuh. Sehingga suasana yang terbangun ketika nonton maiyah adalah kita sedang mencari ilmu dan  tanpa ada paksaan, mengalir saja.”

Lalu, lanjutnya….

“Maiyah ini unik, Gagasan dan guyonan Cak Nun seringkali berhasil mendekonstruksi pemahaman nilai, menjabarkan kondisi sosio-kultural dan mendidik cara berpikir alternatif, sehingga keseluruhannya berusaha memberikan solusi komprehensif bagi masyarakat.”

Jawaban yang menguatkan hipotesa dalam Instastory saya, bahwa saat ini memang masayarakat kita punya karakter tidak mau terlalu di dikte, tidak nyaman di-cekoki dogma tertentu dan lebih suka menemukan kebenaran dengan pengalaman pribadi serta perbandingan-perbandingan.

Hal ini tentu didorong oleh banyak faktor, terutama sosial media.

Cak Nun mampu menangkap karakteristik tersebut dan memposisikan diri tidak lebih tinggi dari orang yang tengah ‘diceramahi’. Memberikan banyak alternatif jawaban bagi kegelisahan kondisi sosio-kultural dan sosio-ekonomi yang anti mainstream, sehingga kita memiliki lebih banyak referensi.