Penulis: Luthfi Hamdani
Dua foto antrian pekerja di stasiun KRL di atas menunjukkan betapa semrawut transportasi dan dunia kerja di kota saat terdampak pandemi covid-19. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya Raya dan Malang Raya juga jadi daerah yang paling parah terdampak penyebaran virus corona.
Hal ini tentu mudah diprediksi sebab padatnya penduduk atau pekerja di kota. Dominasi penduduk perkotaan (urban population) terhadap jumlah penduduk di Indonesia meningkat setiap tahun. Worldometers mencatat pada 2019 jumlah penduduk perkotaan di Indonesia sebanyak 150,9 juta jiwa atau 55,8% dari total penduduk Indonesia yang sebesar 270,6 juta jiwa.
Worldometers juga memproyeksikan, selama lima tahun mendatang jumlah penduduk perkotaan di Indonesia semakin meningkat. Pada 2020, penduduk perkotaan diproyeksikan sebanyak 154,2 juta jiwa atau 56,4% dari total penduduk Indonesia yang sebesar 273,5 juta jiwa. Angka tersebut meningkat pada 2025 hingga mencapai 170,4 juta jiwa atau 59,3% dari total penduduk Indonesia yang sebesar 287 juta jiwa. (Databoks.katadata.id)
Salah satu faktor utama yang menyebabkan banyak orang pindah dan tinggal di kota tentu alasan ekonomi. Desa kebanyakan hanya menyediakan lapangan kerja di sektor pertanian dan wisata yang beberapa tahun terakhir baru dikembangkan. Namun, pesatnya penyebaran virus corona di kota-kota besar dan dampaknya pada beragam sektor ekonomi “khas perkotaan” mengajarkan pada kita untuk kembali menengok pembangunan ekonomi (dari) desa. Ekonomi lokal ala desa bisa menjadi model pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk masa depan.
Menurut gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, berdasarkan hasil kajian, ekonomi yang paling tinggi terkoreksi turun saat pandemi Covid-19 yakni sektor jasa dengan angka menyentuh 4,8 persen, industri manufacturing berada di angka 4,2 persen.
Sedangkan sektor yang paling kuat adalah pertanian yang terkoreksi penurunannya hanya di angka 0,9 persen. Melihat hal tersebut, ia mengaku akan fokus pada pembenahan ekonomi dengan sektor andalan di bidang pertanian dengan kolaborasi digital.
“Maka ekonomi masa depan adalah balik kanan lagi, di bidang pertanian tapi dengan 4.0. Itulah masa depan Jabar yang akan kita skenariokan. Milenial yang baru lulus mending tinggal di desa, tapi rejeki kota dan bisnis mendunia. Jauh dari penyakit dan dekat dengan rejeki,” ujarnya (Merdeka.com, 22/6)
Desa dinilai memiliki potensi menyangga pertumbuhan ekonomi nasional pasca-pandemi Covid-19, khususnya di bidang ketahanan pangan.
Dikutip dari Katadata.co.id (17/6), Wakil Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Budi Arie Setiadi menilai bahwa ekonomi pedesaan masih berpotensi dikembangkan untuk menggerakkan ekonomi pasca-pandemi. Kemendes mencatat, di wilayah pedesaan saat ini sudah terdapat pertokoan dengan bangunan permanen di 6.803 desa, pasar tradisional dengan bangunan permanen di 6.236 desa, pasar tradisional dengan bangunan semi permanen di 8.780 desa dan 4.317 pasar tradisional tanpa bangunan.
Sektor-sektor tersebut masih dapat beroperasi dan berkembang Iantaran belum terpapar dari wabah. Sedangkan untuk bisnis hotel dan pariwisata yang beroperasi di pedesaan setidaknya saat ada sekitar 1.709 unit. Ada beberapa desa kecil yang telah memiliki hotel untuk penerapan desa wisata dan lain-lain, sementara Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) aktif bertransaksi sebanyak 37.125 di seluruh Indonesia
Desa punya potensi besar untuk memukihkan ekonomi pasca covid, juga jadi “pelarian” bagi tenaga kerja di kota yang terkena dampak pandemi ini.