Penulis: Luthfi Hamdani

Saya pernah ngobrol dengan seorang teman, bahwa tren yang muncul dalam industri food and beverages (FnB) selama ini ibarat gaya pacaran seorang playboy: berisi ke-sementara-an, timbul menjulang lalu hilang tenggelam. Selera masyarakat begitu cepat berubah. Kita masih ingat nama-nama beken seperti capuccino cincau, es kepal milo, thai tea, minuman ala Taiwan bubble tea dan yang terbaru kopi dalgona. Selain Dalgona, minuman lain tidak lagi populer.

Kenapa semuanya seolah cepat tenggelam? Bisa jadi benar apa yang ditulis Sukardi Rinakit dalam sebuah esai politiknya di buku “Memompa Ban Kempis” (2013), bahwa masyarakat kita punya karakter melodramatik. Cirinya mudah bosan, mudah kasihan, mudah lupa. Bosan dengan Sukarno yang orator, ganti pak Harto yang pendiam. Pak Harto jadi otoriter, ganti gus Dur yang demokratis.

Bosan dengan Gus Dur yang terlalu banyak bicara, ganti Megawati yang pendiam. Sebab pendiam identik dengan tidak cerdas, ganti suka SBY yang ‘tampak cerdas’. Tapi buku itu terbit sebelum Jokowi terpilih, entah apa penilaian Sukardi pada Jokowi. .

Berbalik dengan ke-sementara-an minuman tadi, kebetulan saya sedang proses meng-khatamkan buku karangan Muchtar Buchori (2005) berjudul “Indonesia Mencari Demokrasi”. Buku terbitan Insist Press ini kebanyakan berisi tulisan beliau yang berlatar belakang tahun 80-an. Era orde baru. Diterbitkan ulang sebab oleh penerbit dirasa relevan dengan kondisi awal 2000-an. Lalu menurut saya, masih relevan untuk dibaca saat ini. .

Saya banyak membaca esai Gus Dur dan gaya tulisan Muchtar Buchori ini mirip-mirip dengan gus Dur. Ringan, santai, sudut pandang luas dan bisa menghadirkan kritik yang ‘halus’. Kekuatan gus Dur ada pada kemampuan beliau ‘menerawang masa depan’, jadi gagasannya awet.

Sedangkan karakter keren Muchtar ada pada kemampuannya memulai analisa dan pembahasan dari definisi terlebih dulu. Hampir di semua tulisan. Definisi yang kemudian dikembangkan dengan beragam teori dan fenomena-fenomena ‘umum’ pada masanya. Topik dan isu yang sampai hari ini ndak banyak berubah. Sangat ‘pas’ dibaca saat ini, atau sampai kapanpun.

Tulisan gus Dur dan Muchtar ibarat ketela rambat rebus bagi bapak saya. Apapun tren FnB yang muncul, kenikmatan ketela rambat rebus adalah abadi bagi beliau. Tidak terganti. Saya yakin 80%, kepopuleran Dalgona yang setelah krim kopinya diaduk dengan susu rasanya ndak beda dengan kopi susu biasa ini, gak bakal tahan lama. Apalagi setelah orang-orang gak punya banyak waktu di rumah setelah pandemi selesai. Eh, kapan pandemi selesai?