Seorang dosen dari penulis pernah menyampaikan satire bahwa Zaman NOW merupakan singkatan dari Neraka Ora Wedhi. Ketiga kata dalam bahasa Jawa tersebut jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti: Tidak Takut Neraka.

Kalimat tersebut seolah mempertegas kekhawatiran generasi tua pada gejala degradasi moral yang tengah terjadi. Perilaku dan kondisi sosial yang menyimpang namun dibalut dengan begitu rapi oleh ungkapan-ungkapan seperti ‘kekinian’, ‘zaman now’, ‘milenial’, ‘gaul’ dan sebagainya.

Jika membahas degradasi moral, maka bisa di sederhanakan bahwa generasi saat ini dan yang akan datang tengah melanggar norma agama dan norma kesusilaan atau tata krama yang sudah diwariskan oleh pendahulu mereka. Norma yang merupakan visi bersama yang dibangun masyarakat supaya interaksi sosial antar masing-masing individu bisa berjalan harmonis. Begitu pula, agama dengan syariat, akhlak dan tauhidnya dihadirkan oleh Allah SWT sebagai pegangan kehidupan manusia, sampai datangnya hari kiamat nanti.

Secara lebih luas, tujuan agama islam yaitu: membentuk pribadi yang kamil disamping juga membentuk masyarakat yang ideal, yang menitikberatkan pembentukan moral dan kerohanian sebuah masyarakat dan tidak lupa membangunkan nilai ketamadunan, seterusnya membina masyarakat yg kukuh dan berwibawa di mata dunia.

Fenomena yang saat ini sudah begitu mudah kita jumpai, misalnya begitu bebasnya konsumsi minuman keras, kehidupan malam dengan pesta-pestanya, hubungan antara lawan jenis yang tidak terkontrol dan salah satunya menyebabkan banyaknya kehamilan yang terjadi diluar pernikahan.

Ditambah lagi rasa ta’dzim atau hormat kita kepada orang yang lebih tua, kepada ustadz dan kyai juga sudah mulai luntur. Seringkali dalam banyak kasus, dengan keberadaan media sosial, generasi muda dengan tanpa malu menyampaikan hujatan, makian dan cemoohan kepada beberapa ulama kharismatik.

Kondisi semacam ini bukan terjadi secara tiba-tiba, namun berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Proses globalisasi dengan tujuan menjadikan dunia yang tanpa batas menyebabkan bangsa kita tidak hanya  menjadi importir barang dan jasa, namun juga masuk berupa ‘sampah kebudayaan’ dari negara-negara barat dengan segala kebebasannya ke dalam kehidupan sosial kita.

Keberadaan dan kemudahan akses semua kelompok usia terhadap media sosial menambah cepat proses perubahan sosial  tersebut, atau dalam hal ini degradasi moral zaman now. Ditengah intensitas penggunaan smartphone oleh generasi muda kita yang cukup tinggi, ada kecenderungan masyarakat lebih suka menampilkan konten (posting) yang berisi seksualitas, pesta, dan ujaran kebencian. Konten-konten tersebut tentu lebih ‘menjual’ dibanding hal-hal lain mengajak pada perilaku yang positif.

Kita mungkin akan sulit merumuskan definisi degradasi moral zaman now, namun bagi penulis, fenomena di atas sudah cukup mewakilinya. Yaitu kebebasan akses pada informasi yang rendah nilai moral-religiusnya, disisi lain nilai keluhuran dan agama gagal diwariskan kepada generasi muda sebab ada kecenderungan dari mereka merasa benar sendiri dan bebas memilih model perilakunya tanpa pedoman agama dan nilai luhur dari generasi-generasi terdahulu.

Maka tidak heran jika ada orang yang diingatkan kepada kebaikan, mereka akan menjawab sebagai berikut:  ‘terserah gue, hidup-hidup gue’, ‘ngapain ngatur-ngatur, urus aja hidup loe sendiri’, ‘siapa elo’, ‘bukan urusan elo’. Hal ini yang oleh budayawan Radhar Panca Dahana diberi istilah Preferensi-per-orang (PPO)

Beberapa pihak mungkin melakukan pembiaran terhadap kondisi degrasdasi moral ini. Misalnya ada sebuah hadist yang menyebutkan agama islam di akhir zaman akan kembali ke keadaan terasing.

Hadtis keterasingan Islam yang dimaksud, tertuang dalam Shahih Muslim dari Abi Hurairah yang berbunyi:

“Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing”

Ada banyak tawaran untuk memaknai arti “asing” pada hadits tersebut. Salah satunya dengan mencerna riwayat Sahl bin Sa’d al-Sa’idi. Berdasar riwayat tersebut, ada penambahan kalimat tanya yang berbunyi, “siapakah mereka yang asing itu?” Rasul menjawab, “orang-orang yang mengadakan perbaikan di tengah manusia yang berbuat kerusakan”.

Dengan mengambil tawaran makna ini, bisa kita ajukan pertanyaan: apakah aksi teror adalah aksi perbaikan? Apakah sekian banyak manusia di Kampung Melayu, misalnya, sedang berbuat kerusakan, sehingga perlu “diperbaiki” dengan bom? Atau bukankah justru pelaku teror itu sedang—literally—melakukan kerusakan itu sendiri? Ini pertanyaan yang mestinya tidak terlalu sulit dijawab.

Alternatif pemaknaan yang kedua adalah dari riwayat Amr bin ‘Ash. Ketika Rasulullah Saw ditanya perihal orang asing yang beruntung tersebut, Rasulullah Saw menjawab, “Mereka (orang asing) adalah orang-orang salih di tengah-tengah mayoritas masyarakat yang buruk. Yang membangkang orang-orang shalih, lebih banyak dari yang menaatinya”.

Dalam kerangka ini, maka perlu dibuat kategori asing:

  1. Asing dalam kebenaran di tengah masyarakat yang batil.
  2. Asing dalam kebatilan di tengah masyarakat yang benar.

Jadi, tidak serta merta keterasingan dimaknai sebagai sesuatu yang Islami. Salah besar jika ada anggapan “semakin asing seseorang, semakin ia dekat dengan Islam”.

Yang juga menarik adalah jika memaknai “orang asing” sebagaimana riwayat Imam Baihaqi yang mengisahkan dialog antara Umar bin Khattab dan Mu’adz bin Jabal. Mu’adz menceritakan pada Umar satu hadits dari Rasulullah Saw yang berbunyi:

“Allah mencintai orang-orang yang tersembunyi, takwa, dan suci. Ketika mereka tidak ada, masyarakat tidak merasa kehilangan; ketika mereka ada, masyarakat tidak menyadari. (Namun demikian) Hati mereka (seperti) lampu-lampu hidayah, mereka keluar (menjauh) dari fitnah”. Gambaran di atas sangat identik dengan laku para sufi. Low profile, tidak menonjolkan diri, hidup damai, dan tentram. Jauh dari hingar-bingar kehidupan duniawi.

Apa pun yang digunakan untuk memaknai “orang asing”, tidak ada satupun yang bisa menjadi pembenar untuk pelaku teror.[1]

Melihat kondisi degradasi moral yang tengah menjadi gejala arus utama di tengah masyarakat, terutama generasi muda, maka penulis memiliki dua gagasan yang bisa di implementasikan sebagai solusi, yaitu:

Pertama, Gerakan kembali ke masjid.

Kedua, penggunaan media sosial dan internet sebagai sarana dakwah.

 

Dan lain sebagainya.

[1] http://www.nu.or.id/post/read/78515/meninjau-kembali-hadits-islam-yang-asing