Dalam suatu momen diskusi yang diselenggarakan beberapa lembaga otonom, penulis sempat bertanya kepada pembicara:
“Adakah kira-kira dimunculkannya pasal penghinaan presiden ini bagian dari kekhawatiran dari anggota legislatif (juga pemerintah tentunya), bahwa demokrasi kita sedang mengarah mirip dan se-liberal yang ada di Amerika Serikat.? ”
“Dalam masa kampanye dan setelahnya, misalnya Trump digambarkan dengan berbagai macam karikatur dan diumpat dengan berbagai bentuk makian. Tentu saja kalau ukuran Indonesia, ini jauh melebihi apa yang kita definisikan sebagai penghinaan. Toh, dia biasa-biasa saja.”
Pembicara pertama menjawab; “Untuk mengarah ke se-liberal Amerika, mungkin perlu diteliti lebih lanjut. Cuma kondisinya berdasar rilis Freedom House, lembaga pemeringkat kebebasan yang paling sering jadi rujukan; sejak 2013, Indonesia kembali masuk era partly free setelah sebelumnya ada di posisi fully free. Alih-alih sampai ke level terjauh seperti dialami negara-negara yang mapan dalam demokrasi, Indonesia kini malah mundur dalam kualitas demokrasi dilihat dari unsur yang terpenting: kebebasan.
Bagi saya, cukup ngikut konsep Syahrir saja.
Ya, Bung Syahrir, salah satu pendiri bangsa, menolak adanya kekuatan supremasi tunggal untuk mengontrol dan mendisiplinkan masyarakat. Ia menganggap hal ini jauh bertolak belakang dengan prinsip-prinsip demokrasi yang memungkinkan segala perbedaan dalam masyarakat bisa berjalan berbarengan. Termasuk yang tidak disetujui Syahrir adalah gagasan partai tunggal Sukarno, ketika awal kemerdekaan.”
Pembicara kedua memberikan jawaban: “Bagus kalau mirip Amerika. Masyarakat Amerika dengan usia kemerdekaannya yang sudah cukup lama, memiliki kedewasaan yang cukup tinggi. Jarang perbedaan dan kalah-menang dalam politik menyebabkan konflik berkepanjangan. Kritik bahkan cenderung berupa penghinaan terhadap presiden sudah menjadi hal yang jamak ditemui dalam proses demokrasi mereka. Toh mereka juga dewasa.”
Dalam RKUHP, pasal penghinaan presiden diatur dalam pasal 239 ayat (1).
Di situ disebutkan bahwa setiap orang di muka umum yang menghina presiden dan wakil presiden akan dipidana dengan hukuman penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Kategori IV (Rp500 juta).
Sistem demokrasi, sebegaimana ‘kita sepakati’ dalam pendirian bangsa ini, memerlukan komponen utama yaitu kekuatan penyeimbang, guna melakukan proses check and balance. Kontrol terhadap kekuasaan mutlak diperlukan supaya tidak lagi terjebak pada sistem pemerintahan otoriter. Juga sudah seharusnya pemerintah memperjuangkan adanya kebebasan dasar bagi semua orang, dan menjamin warga tidak diperlakukan semena-mena dihadapan orang lain dengan alasan apapun. Termasuk kritik pada presiden yang punya posisi sama di depan hukum.
Alih-alih melindungi diri dengan pasal penghinaan tersebut, dalam demokrasi-pasncasila seperti saat ini pemerintah harus secara terbuka mampu membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif mengenai penyelenggara negara. Selebihnya juga memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat untuk memperoleh haknya untuk menyampaikan informasi tentang penyelenggara negara.
Kontrol dari masyarakat maupun partai oposisi misalnya, bisa bermacam-macam bentuk. Bisa berupa lisan maupun tulisan. Mulai keluhan di media sosial, tulisan di media cetak, audiensi atau proses dengar pendapat bahkan sampai melakukan proses demonstrasi. Dan kebebasan menyatakan pendapat dimuka umum itu dilindungi oleh undang-undang.
Daripada menyusun perundangan tentang penghinaan, lebih baik pemerintah memperbaiki akses dan kesempatan keterlibatan masyarakat untuk mempersoalkan kinerja pemerintah. Dalam banyak kasus, masih sering dijumpai tidak adanya prosedur dan mekanisme terlembaga yang memungkinkan masyarakat mengontrol kinerja pemerintah.
Sehingga, guna mengoptimalkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan negara, ruang komunikasi publik perlu lebih banyak diciptakan. Di ruang inilah pemerintah menjelaskan tugas dan fungsinya, memberikan hak jawab berupa bantahan terhadap informasi yang tidak benar, dan masyarakat berhak menyampaikan keluhan, saran, kritik terhadap pemerintah yang tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. (Rustan, 2010)
Yang dikhawatirkan jika kerja pemerintahan dan proses legislasi di DPR tidak mendapat pengawalan, kontrol, juga kritik dari masyarakat langsung, maka akan timbul kesewenangan. Sementara adanya pasal pidana penghinaan presiden dan dewan ini (dikhawatirkan) akan menggiring kita pada zona abu-abu, sejauh mana bisa dianggap kritik dan sejauh mana disebut penghinaan. Apalagi pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden bersifat delik umum. Artinya, proses hukum dilakukan tanpa perlu ada pengaduan dari korban. Lama hukuman pun bisa dikurangi.
Meskipun memang dalam satu sisi, pemerintah yang lemah, yang tidak punya kewibawaan di depan masyarakatnya bahkan dihina dimana-mana akan mengalami banyak kendala dalam menjalankan programnya. Namun alasan demikian tidak cukup untuk memenjarakan pengkritik presiden juga dewan perwakilan rakyat.
Sementara itu, pasal 239 Ayat (2) menyebutkan bahwa perbuatan itu tidak merupakan penghinaan jika “jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri”.
Partai pendukung pemerintah, PDI-P juga menyatakan bahwa pasal itu penting untuk ada agar “demokrasi tidak kebablasan”. Sebetulnya Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan pasal serupa pada 2006 dan dinyatakan inkonstitusional.
Sebelumnya, pada Januari 2018 lalu, seorang pria, AJ, ditangkap oleh anggota Polres Probolinggo, Jawa Timur, karena mengunggah gambar wajah Presiden Joko Widodo bertuliskan ‘Pangeran Nipunegoro’ di akun Facebooknya.
Dia dikenai Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman hukuman enam tahun.
Masyarakat melakukan kritik melalui pembuatan karikatur tertetntu, juga bagian dari eksplorasi supaya pesan mereka lebih mudah dipahami. Penggunaan aksi demonstrasi juga dipastikan sebab komunikasi yang terbuka berupa dengar pendapat dan sejenisnya sulit diperoleh oleh masyarakat. Kalau memang dirasa sudah keterlaluan, sebagaimana yang sebelumnya saja: dilaporkan dan di proses hukum.
Bandingkan misalnya dengan Amerika, kritik terhadap presiden Donald Trump datang dari mana saja. Mulai media konvensional sampai media sosial. Mulai yang halus sampai
Menguatnya Wajah Populisme
Kegaduhan tentang pasal penghinaan presiden ini tidak datang begitu saja. Jauh-jauh hari, ketika presiden menyebut demokrasi kita sebagai ‘demokrasi kebablasan’ banyak pihak mengindikasikan pemerintah tengah terjangkit gejala populisme. Sehingga memandang demokrasi kita telah mencapai titik maksimal, bahkan melampauinya yang kemudian diduga sedang menuju ke arah kekacauan.
Saidiman Ahmad, mengutip tulisan Sheri Bermen di Foreign Affairs (November/Desember 2016), ”Populism is not Fascism” menyatakan bahwa kaum populis datang dengan gagasan bahwa demokrasi ada dalam bahaya atau setidaknya sedang tidak dalam kondisi baik. Tuntutan utama mereka adalah memulihkan demokrasi yang mereka anggap sedang sakit. Di sini, narasi ”demokrasi kebablasan” mendapat tempat. Merek ingin mendudukkan demokrasi yang keluar rel kembali ke jalur yang benar.
Persoalannya, jalur demokrasi yang benar itu ada dalam persepsi para elite. Mereka mengandaikan tata kehidupan ideal yang jika itu tak terjadi, mereka merasa berhak mewujudkannya dengan menggunakan aparat yang mereka kuasai. Di sana, elite yang memiliki otoritas akan mulai mengintervensi kehidupan warga. Mereka mengintervensi percakapan dan gagasan warga. Mereka menentukan yang baik dan yang buruk bagi warga.
Maka, akan muncul sensor percakapan publik. Media dibatasi. Film disensor. Gambar-gambar media diburamkan. Jurnalis ditangkap. Ekspresi beragama dibatasi. Jika itu yang terjadi, bukan tak mungkin predikat kita sebagai negara partly free akan semakin tenggelam ke unfree.
Sehingga idealnya, semakin hari kuaalitas demokrasi kita akan ditentukan sejauh mana kita bisa semakin dewasa menyikapi perbedaan, kritik, satire dan sejenisnya. Di lain pihak, masyarakat juga harus semakin dewasa dalam menggunakan hak mereka ditengah iklim kebebasan dengan menyampaikan kritik yang substantif.
Bagaimana jika hal ini dipaksakan?
Publik tentu suatu saat masih punya kekuatan untuk bergerak