Fenomena yang masih meresahkan masyarakat kita, selain marak tersebarnya berita hoax juga masih seringnya dijumpai penggunaan media sosial sebagai penyalur hasrat mengumbar kebencian.

Kekhawatiran itu kian bertambah sebab friksi dan konflik yang ‘sengaja’ disebar di media tersebut adalah yang berkaitan dengan Suku, Ras, Agama dan Antargolongan (SARA).

Indonesia punya memori buruk tentang konflik yang dipengaruhi agama dan etnisitas. Misalnya yang terjadi di Poso (1998-2000) yang berkembang sampai ranah kekerasan, konflik Ambon (1999) yang semula disebabkan kasus kriminal-pemalakan, kemudian kasus konflik di Sampang, Madura (2012) antara sesama muslim yang berbeda madzhab. (hukamnas.com)

Pada tahun 1998 juga pernah terjadi konflik antara mereka yang mengidentifikasi diri sebagai ‘pribumi’ dengan etnis Tionghoa.

Perlu kajian yang lebih mendalam guna membuktikan bahwa ujaran kebencian yang tersebar begitu bebas di media sosial benar-benar mempengaruhi perilaku kekerasan masyarakat di dunia nyata.

Namun, beberapa kejadian terakhir misalnya penyerangan gereja St Lidwina di Jogja, persekusi biksu di Tangerang dan penyerangan ustadz-kyai di Cicalengka, Bandung dan di Lamongan, Jawa Timur beberapa saat lalu muncul di tengah masih tingginya penyebaran ujaran kebencian di media sosial.

Ancaman konflik horizontal di masyarakat jelas terlihat nyata sebab heterogenitas kita yang sangat tinggi. Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010 dan setidaknya 6 agama resmi yang mana identitas primordial tersebut bisa jadi bahan ujaran kebencian dan konflik.

Bara api permusuhan yang disulut oleh pribadi maupun sekumpulan orang terorganisir yang tidak bertanggung jawab.

Salah satu ruang yang saat ini marak digunakan jadi sarana munculnya ujaran kebencian dan konflik yang berlatar belakang agama dan etnisitas adalah media sosial. Kenapa media sosial rawan?

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dalam hasil surveinya tahun 2016 merilis data bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta.

Selanjutnya, ditemukan juga tiga (3) media sosial yang paling banyak dikunjungi, yaitu secara berurutan: Facebook dengan 71,6 juta pengguna (54 persen), media sosial untuk berbagi foto dan video pendek Instagram dengan jumlah pengguna mencapai 19,9 juta (15 persen), disusul terakhir YouTube yang merupakan  layanan berbagi video tersebut mengantongi 14,5 juta (11 persen).

Melihat pertumbuhan integral antara jumlah pengguna media sosial dan juga berarti semakin banyak tersebar ujaran kebencian di dalamnya, maka kita perlu melihat ulang karakteristik dan beberapa faktor yang penulis rangkum, yang menurut hemat penulis mewarnai fenomena tersebut.

Pertama,

Kita harus melihat bahwa karakter media sosial yang hampir setiap orang punya saat ini adalah ‘sangat bebas’. Setiap orang bisa melakukan pengunduhan aplikasi, mendaftar dan melakukan begitu banyak hal (posting dan komentar).

Apa yang ditampilkan di media belum tentu mewakili gambaran siapa orang tersebut di dunia nyata. Dalam banyak kasus misalnya orang yang di kehidupan sehari-hari sangat pendiam dan santun, di akun-akun media sosialnya bisa menjadi orang yang periang bahkan kasar, juga memiliki intensitas tinggi dalam penyebaran provokasi kebencian.

Karakter media sosial yang bebas telah mengantar penggunanya sampai pada penguatan gejala Preferensi-per-orang (PPO), istilah yang sering disampaikan dan sering dikritisi oleh budayawan ternama, Radhar Panca Dahana.

Media sosial yang kemudian menjelma menjadi wadah yang sempurna pembebasan manusia dari segala penjara nilai, norma atau etika yang dibentuk oleh adat, agama, hokum dan sebagainya.

Sehingga fenomena yang bampak saat ini, bahwa segala yang sudah turun-temurun menjadi pedoman dan tuntunan runtuh oleh preferensi-per-orang (PPO) tadi.

Pengguna media sosial bisa dengan begitu bebas memaknai kebenaran, kebaikan, keindahan, kewajiban dan lain sebagainya. Sehingga sering generasi muda-milenial kita ketika diingatkan:

‘itu salah’‘itu tidak sopan’ dan ‘itu nggak etis’ akan dengan mudah saja dijawab: ‘terserah gue, hidup-hidup gue’, ‘ngapain ngatur-ngatur, urus aja hidup loe sendiri’, ‘siapa elo’, ‘bukan urusan elo’‘loe akun asli apa akun gossip, kebanyakan nyinyir’ atau jurus pamungkas ‘loe gue end’.

Kebenaran-preferensial yang sering tentunya kita jumpai dalam dunia nyata maupun maya. Yang membuat otoritas konvensional seperti kyai, tokoh masyarakat dan tokoh adat kehilangan kuasanya. Atau dengan enteng saja ditinggalkan petuah dan fatwanya.

Media sosial dan karakter always connected serta confident atau percaya diri tinggi, dikelilingi iklim demokrasi yang bebas, membuat penggunanya menjelma menjadi ‘apa saja dan siapa saja’ dalam diri maupun akun-akun media sosialnya.

Pelarangan penggunaan media sosial bagi mereka yang belum cukup umur tentu jadi salah satu opsi bagus. Pelarangan tersebut menurut hemat penulis, tentu terlalu rumit jika dijadikan hukum pidana dan sebagainya, setidaknya orangtua bisa membatasi penggunaan dan akses media sosial bagi anak-anak yang alam pikirannya masih berada pada internalisasi nilai-nilai keluhuran, kebhinekaan dan sebagainya.

Maka mereka jika dirasa sudah cukup dewasa, baru kemudian diizinkan mengakses secara bebas media sosial dan terutama piranti teknologi komunikasi.

Kedua

Menarik untuk mengkaji ulang  apa yang disampaikan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah di salah satu acara Talkshow di stasiun televisi swasta-nasional beberapa saat lalu, bahwa: “Konflik sosial yang ada ini perlu dicurigai seolah ada yang membuat-buat. Padahal sebenarnya masyarakat kita ini damai dan toleran.”

Argumentasi beliau tentu bisa saja diperdebatkan, namun dugaan bahwa konflik yang terjadi ditengah kita saat ini sebenarnya bukan berasal dari masyarakat, tapi ada beberapa orang yang memiliki akses kekuasaan dan kepentingan memang sengaja membuat konflik ada benarnya juga.

Terbongkarnya sindikat penyebar ujaran kebencian atau hate speech dan SARA melalui media sosial bernama Saracen beberapa waktu lalu bisa jadi penguat argumentasi tersebut.

Berdasar pernyataan Polri pasca penangkapan, ditemukan bahwa sindikat ini secara sistematis menyiapkan proposal.

Dalam satu proposal yang mana setiap proposal nilainya puluhan juta rupiah. Cara kerja mereka sederhana, dengan membuat dan memiliki ribuan akun, mereka berbagi tugas untuk mengunggah konten pro dan kontra terhadap suatu isu.

“Misalnya kurang lebih 2.000 akun itu dia membuat meme menjelek-jelekkan Islam, ribuan lagi kurang lebih hampir 2.000 juga menjelek-jelekkan Kristen. Itu yang kemudian tergantung pemesanan” jelas Kombes Irwan Anwar, Kasubdit 1 Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri.

Tentu anggaran sedemikian besar memang disediakan oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan kepentingan tertentu, politik misalnya. Kita juga perlu mencurigai masih banyak sindikat sejenis Saracen yang masih bebas menggunakan kemajuan teknologi dan media sosial guna menyebar kebencian dan meraup keuntungan.

Adanya aktor intelektual dari kalangan elit ini juga terjadi misalnya dalam konflik Sampit, antara suku Dayak dan Madura. Kericuhan kecil sebab masalah sosial-ekonomi itu ditengarai bukan penyebab tunggal konflik. Ada pihak-pihak yang memanfaatkan naiknya sentimen anti Madura untuk kepentingan politik.

Dari penelusuran Rinchi Andika Marry  yang menelusuri kisah horor berbuntut konflik itu dalam skripsi di Program Studi Ilmu Sejarah UI berjudul Konflik Etnis antara Etnis Dayak dan Madura di Sampit dan Penyelesaiannya 2001-2006 (2014) diketahui ada dua pejabat pemerintahan lokal yang berusaha menggagalkan proses pelantikan pejabat eselon yang akan mengisi struktur baru pemerintahan daerah Kotawaringin Timur dan melengserkan bupatinya.

Dua pejabat itu adalah Fedlik Asser, yang sehari-hari bekerja di Bappeda, dan Lewis, seorang pegawai Dinas Kehutanan. Mereka tidak puas karena semua pejabat yang dilantik beragama Islam (hlm. 33-34).

Pola yang sama mungkin juga terjadi dalam penyebaran ujaran kebencian oleh oknum-sindikat seperti Saracen. Dalam kasus semacam ini, kecepatan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri untuk melacak adanya oknum sejenis Saracen jadi penentu mengurangi dan meniadakan penyebaran ujaran kebencian di media sosial.

Disisi lain, bagi kalangan elit yang tentunya memiliki akses kekuasaan dan modal, perlu sadar diri (atau disadarkan) bahwa kekuasaan yang menyebabkan ekses konflik ditengah masyarakat bahkan korban jiwa merupakan  perilaku terhina dan perlu jauh-jauh dihindari.

Ketiga

Keberadaan lembaga pendidikan atau sekolah yang mengkhususkan diri berdasar agama tertentu. Misalnya sekolah islam saja atau sekolah kristiani saja dan sebagainya. Hal ini diungkapkan oleh Darmaningtyas dalam bukunya Menolak Liberalisasi Pendidikan (2014).

Tentu saja merupakan kondisi yang mengkhawatirkan jika sejak kecil peserta didik tidak sering berinteraksi dan dialog dengan mereka ‘yang berbeda’, terutama dalam hal agama yang dianut.

Sebab menurut hemat penulis, segala bentuk gejala xenophobia, stereotip, prasangka-prasangka akibat perbedaan budaya, dan segala sikap yang dekat-dekat dengan rasisme bahkan konflik, berawal dari situasi tidak mengenal.

Dalam hal ini, tak kenal yang memunculkan kondisi minimnya informasi, minimnya referensi, dan dari segala keterbatasan itulah muncul tumpukan imajinasi yang seringkali terlalu bersifat khayali.

Kondisi ini diperkuat data hasil dari riset Wahid Institute pada tahun 2015 yang menunjukkan gejala menguatnya intoleransi dan radikalisme di kalangan pelajar.

Misalnya dari 306 siswa, yang tak setuju mengucapkan hari raya keagamaan orang lain seperti mengucapkan selamat natal 27%, ragu-ragu 28%. Siswa-siswi yang akan membalas tindakan perusakan rumah ibadah mereka sebanyak 15%, ragu-ragu 27%. Sementara mereka yang tak mau menjenguk teman beda agama yang sakit 3%, ragu-ragu 3%

Riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang dipublikasi empat tahun lalu lebih mengkhawatirkan lagi. Pandangan intoleransi dan islamis menguat di lingkungan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dan pelajar.

Ini dibuktikan dengan dukungan mereka terhadap tindakan pelaku pengrusakan dan penyegelan rumah ibadah (guru 24,5%, siswa 41,1 %); pengrusakan rumah atau fasilitas anggota keagamaan yang dituding sesat (guru 22,7%, siswa 51,3 %); pengrusakan tempat hiburan malam (guru 28,1%, siswa 58,0 %); atau pembelaan dengan senjata terhadap umat Islam dari ancaman agama lain (guru 32,4%, siswa 43,3 %).

Kondisi ini mengajarkan kita untuk memilih membiasakan siswa atau peserta didik dengan keberagaman dan keberagamaan. Lingkungan belajar yang homogen tentu baik bagi penguatan spiritual pribadi mereka, namun bisa menimbulkan gejala kaget atau juga ‘teralienasi’ jika berada di lingkungan luar yang heterogen.

Selain itu, pemerintah selaku pemilik otoritas dan organisasi kemasyarakatan yang memiliki pandangan moderat perlu mengawasi dan sering mengkampanyekan serta memfasilitasi diskusi yang pesertanya heterogen secara agama.

Bagaimanapun, sebab siswa (kelompok milenial dan generrasi Z) kita saat ini adalah unsur yang persentuhannya dengan teknologo terutama media sosial sangat tinggi. Pandangan mereka dari sekolah itu di khawatirkan terbawa dalam pola perilaku dan komunikasi di media sosial.

Dengan memahami karakteristik dan kondisi pengguna media sosial seperti penjelasan di atas, diharapkan penyebaran ujaran kebencian di dalamnya bisa ditekan dan dihilangkan se-dini serta se-minimal mungkin. 

Oleh Luthfi Hamdani, terbit pertama di www.qureta.com