Sering saya amati orang-orang yang saya kenal saling sindir di status Whatsapp — kadang sepasang kekasih, lain waktu antar saudara. Di kesempatan lain saya nonton beberapa teman memasang tulisan atau gambar bijak tentang kehidupan. Melihat perilaku begitu, saya sering refleks mbatin (gumam): “Wah iki mesthi lagi tukaran” atau “wah iki mesti uripe lagi abot, ndase ngelu.” 😀 .
.
Di hape bapak saya, ada seorang profesor dan seorang doktor yang juga begitu aktif nulis status di Whatsapp. Jangan dikira berisi publikasi ilmiah atau seminar-seminar penting. Ndak. Sering cuma foto lagi di jalan tol, sedang di warung, foto cangkir kopi, emperan rumah. Di hape ibu saya, seorang pemilik butik memasang gambar-gambar baju dagangannya bisa puluhan dalam status, setiap hari. .
.
Asal bukan pornografi, hoaks dan pelecehan SARA, saya yakin anda bebas membuat konten apa saja. Masak, cuci piring, kerja, sambat, pamer, berantem, apa saja. Tidak kalah dari Ricis dan Halilintar, kita semua (bisa jadi) adalah kreator konten. Sekarang nonton status Whatsapp (juga FB dan Instagram) adalah aktivitas rekreatif paling digemari dan paling relevan (sebab gak boleh keluar rumah). Mengalahkan nonton TV, maen game di warnet dan lain-lain. Semua orang menikmati dunia baru yang hadir sebab medsos, tinggal sedikit masalah labelling yang musti dihapus. .
.
Dalam tulisan terbarunya situs indonesia at melbourne, Gus prof @nadirsyahhosen_official bilang bahwa terlalu sederhana (overly simplistic) untuk melabeli orang yang gak mau ikut anjuran pemerintah supaya ibadah di rumah sebagai kelompok radikal/ekstremis, begitu yang gak ke masjid juga bukan otomatis moderat/liberal. Begitu pula yang suka ngonten jangan langsung dilabeli attention-seeker/alay/lebay/ngunu wae sambat. Kelompok yang gak pernah ngonten/hanya nonton ya bukan anti sosial/gak keren. .
.
Bagi saya, media sosial ini ibarat lembaga keuangan bank, fungsinya intermediasi, jadi perantara. Bank memperantarai duit yang mayoritas dari dana pihak ketiga menjadi kredit atau pembiayaan pada nasabah debitur, agar UMKM bisa ekspansi, supaya ekonomi tumbuh. Sama.
Kita semua sama-sama masuk era ‘leisure economy’ (ekonomi waktu senggang), semua suka traveling, menikmati konten, nongkrong, semua yang serba pengalaman. Semua senggang, semua ‘nganggur’, semua bahagia. Tanpa membuat dan menuduh macem-macem. Mari menggunakan media sosial dengan bahagia, untuk terhubung, untuk jualan yang bener, untuk sambat, nyepik. Semua yang hidup wajib bahagia.