Penulis: Rifqy Zulfikar K*

Jurgen Habermas dilahirkan di Kota Dusseldorf, Jerman pada tanggal 18 Juni 1929. Ia merupakan anak dari keluarga kelas menengah tradisonal. Ayah Habermas pernah menjadi direktur kamar dagang di kotanya, sedangkan kakanya adalah seorang pendeta protestan.[1]

Kontruksi pemikiran dari Habermas banyak di pengaruhi oleh kondisi perkembangan masyarakat pada waktu itu, yaitu kejadian pahit serta pengalaman hidupnya pada pemerintahan Hitler.

Selain itu, pemikiran Habermas juga dipengaruhi oleh pemikir-pemikir asal Jerman yang lebih dulu ada seperti Hegel, Marx, Frederich Nietzche, Immanuel Kant dan yang lain.

Dari deretan nama besar di atas, pemikiran Habermas banyak dipengaruhi oleh pemikiran Immanuel Kant, Marx dan tentu saja para pemikir Mazhab Frankfrut. [2]

Pengaruh yang diberikan dari pemikiran Habermas begitu luas karena banyaknya disiplin keilmuan yang telah dipelajari dan didalami olehnya. Sangat tidak kebetulan pula jika pemikiran Habermas banyak diminati oleh para pembaca Indonesia. Hal ini karena kritikannya terhadap basis epistemologi Marxisme ortodoks atas patologi sosial masyarakat kapitalis liberal yang dilancarkannya.

Kedua, kritik Habermas tersebut bersentuhan dengan kondisi intelektual zaman Orde Baru yang fobia terhadap komunisme. Dalam salah satu magnum opusnya yang berjudul  “Theorie des komunikativen Hnedeln (Teori Tindakan Komunikatif), Habermas mengembangkan  teori terkait tindakan komunikatif dan rekontruksi ilmu sosial modern, dimana kritik dilontarkan kepada modernitas dan masyarakat kapitalis.[3]

Ketika Jurgen Habermas bergabung dengan kelompok Mazhab Frankfrut, Habermas memiliki pandangan pemikiran yang khas yaitu teori kritis. Sebuah teori yang menentang teori positivisme dengan mengambil pemikiran dari Hegel, Immanuel Kant dan Karl Marx.

Menurut Magnis Suseno, filsafat kritis berdiri dalam pemikiran yang mengambil inspirasi dari Karl Marx. Ciri khas filsafat dari teori krtitis adalah selalu berkaitan dengan krtitik terhadap hubungan sosial.[4]

Pengetahuan dasar dari Habermas kepada pengetahuan bahwa pengetahuan manusia bisa menjadi ideologis, jika dipisahkan dari aspek kehidupan manusia, memisahkan aspek teori dengan praxis.

Hal tersebut dilakukan untuk mencari pendasaran epistimologis, sehingga sebelum mencapai tahap epistemology baru, Habermas memulainya dengan upaya menjelaskan tahap-tahap refleksi yang seringkali diabaikan.

Tahap yang diabaikan tersebut secara historis yang terletak pada tradisi Jerman mulai Kant sampai dengan Marx. [5] Dari ulasan tersebut, memunculakan dua kritik yaitu kritik menurut filsafat Kant dan Karl Marx.

Teori kritik menurut Kant adalah untuk merekontruksi ulang struktur pengetahuan manusia. Sedangkan menurut Karl Marx, adalah untuk merefleksikan ilmu-ilmu kritis, sebuah ilmu yang memandu rasio dalam melakukan kerja praxis-emansipatorisme dan juga memandu rasio untuk menemukan kendala-kendala yang dihadapi pada saat proses pembentukan diri manusia sebagai spesies.

Dalam menjalankan dua teori kritis di atas, terdapat tiga rumusan bentuk pengetahuan manusia yaitu, pengetahuan alam yang dihasilkan oleh kepentingan kognitif teknis, pengetahuan sosial yang dihasilkan oleh kepentingan kognitif praxis dan ilmu kritis yang mempunyai kepentingan emansipatorisme.

Sebenarnya dua kepentingan pertama merupakan turunan dari kepentingan yang ketiga yaitu emansipatorisme.[6] Dalam penentuan rumusan pengetahuan menurut Habermas, terdapat beberapa unsur yang menyertainya:

Pertama adalah unsur sintesis. Sintesis ini memungkinkan kita mengetahui dunia luar, dan kemudian pengetahuan itu digunakan sebagai basis tingkah laku manusia terhadap dunia luar. Karena dunia luar dapat selau berubah tanpa campur tangan manusia, maka pengetahuan tersebut pun dapat berubah dan direvisi kembali di kemudian hari.

  1. Ilmu Empiris dan Kepentingan Teknis

Habermas menyatakan bahwa kepentingan kognitif yang mendasari ilmu-ilmu alam adalah kepetingan teknis. Untuk menemukan kepentingan ini, Habermas merefleksikan proses penelitian ilmiah yang diuraikan oleh Pierce. Dalam pandangan Pierce, penelitian tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari, karena kegiatan ilmiah merupakan salah satu kegiatan dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Habermas yang diilhami dari pendapat Marx, kita berbicara mengenai satu kepentingan konstitusi pengetahuan ke dalam penguasaan teknis yang mungkin, yang menentukan jalannya objektivitasi kenyataan. Sehingga kita bherhubungan dengan alam diperantarai oleh kepentingan yang memiliki nafsu untuk  menguasai dan menjelaskan alam.[7]

  1. Ilmu historis-hermeneutis dan kepentingan praxis

Dalam segi epistemology terdapat perbedaan antara ilmu alam dan ilmu budaya, dimana perbedaannya adalah pada posisi objektivitasi subyek atas objek yang diteliti. Karena berbeda dalam segi objek, maka pendekatan penelitian yang digunakan juga berbeda.

Metode ilmu alam cenderung menggunakan metode earklaren (menjelaskan) sedangkan ilmu budaya understanding (mengerti).

Earklaren membahas mengenai penjelasan menurut penyebabnya, sedangkan Understanding lebih kepada  menemukan makna dari objek yang diteliti. Perangkat yang cocok untuk memahami ini adalah hermeneutika.[8]

Ilmu budaya, Habermas menyebutnya dengan ilmu historis-hermeneutis bersumber pada kepentingan manusia akan interaksi. Dengan demikian hubungan sosial bukanlah hubungan penguasaan, sebagaimana ketika manusia berhubungan dengan lama, tapi hubungan sosial adalah hubungan saling memahami.

  1. Ilmu Kritis dan kepentingan emansipatoris

Kepentingan emansipatorisme adalah kepentingan yang paling mendasar yang mana dua kepentingan sebelumnya adalah  berasal dari kepentingan dasariah ini. Disini Habermas mengkombinasikan refleksi diri milik Fichte dan Marx. Dari Fichte, ditemukan bahwa rasio adalah sesuatu yang bertindak, dan tindakan dari rasio ini adalah tindakan yang direfleksikan kembali kedalam rasio itu sendiri.

Kemudian penerapan refleksi diri berdasarkan Marx, jika Fichte menekankan kepada rasio maka Marx lebih kepada proses historis. Proses pembentukan diri menurut Marx ditentukan melalui kondisi ilmiah yang bersifat empiris dan berubah-ubah. [9]

************

REFERENSI:

[1] Gusti A.B Menoh,  Agama dalam Ruang Publik, (Yogyakarta: Kanisius, 2018), Cet. 6, 46

[2] Michael Pussy, Habermas: Dasar dan Konteks Pemikiran, (Yogyakarta: Resist Book, 2011), Cet. 1, 1

[3] Budi Hardiman, Kritik Ideologi, 15-16

[4] Listiyono Santoso, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Arruz Media, 2007), cet.1,219

[5] Thomas McCharty,  Teori Kritis Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006), Cet. 1,  69-70

[6] Budi hardiman, Kritik Ideologi, 133

[7] Budi Hardiman, Kritik Ideologi,  163

[8] Ibid.,

[9] Budi Hardiman, Kritik Ideologi, 87

 

______________________
*Penulis adalah kontributor Indonesia Imaji, tinggal di Caruban, Madiun.