Proses sejarah perkembangan islam sangatlah panjang, merentang dalam kurun waktu hampir lima belas abad sejak awal kedatangannya di jazirah Arab, Nabi Muhammad SAW diutus sebagai pembawa risalah untuk segenap umat manusia.
Sebagai risalah yang terakhir, islam diyakini menjadi ajaran penyempurna ajaran ajaran Nabi era sebelumnya.
Islam sendiri adalah agama rahmatan lil ‘alamiin yang bersifat universal. Artinya, misi dan ajaran Islam tidak hanya ditujukan kepada satu kelompok, melainkan seluruh umat manusia.
Namun tidak jarang orang memahami agama secara sempit, padahal ajaran islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW sangatlah lapang, pemahaman seperti ini membuat agama terasa menjadi kewajiban kewajiban yang membebani dan pembatasan pembatasan yang mengekang.
Akhir – akhir ini banyak pendefinisian ajaran islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW yang tutrun di Arab adalah final. Maka, budaya yang berkembang haruslah mengikuti budaya di Arab.
Sementara itu, budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, serta diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Oleh karena itu budaya merupakan hal hal yang berkaitan dengan manusia dan fikirannya. Setiap manusia mempunyai akal fikiran dan budaya diwariskan pada setiap manusia pada generasinya.
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. Al-Kafirun 109:6)
Ketika pertama kali islam datang ke Indonesia, kondisi masyarakat sudah memiliki bermacam-macam agama. Dengan kondisi tersebut, penyebar agama islam mengakui adanya kemajemukan agama.
Islam mengajak orang memeluk agama islam, namun dengan adanya kemajukan tersebut bukan berarti islam mengakui kebenaran ajaran ajaran selain islam. Karena seringkali kebeneran pun bersifaat subyektif bagi pemeluk-pemeluknya.
Masyarakat Samin
Perilaku Masyarakat samin memiliki beragam keunikan. Masyarakat samin adalah sebuah fenomena kultural dengan warisan nilai budaya tinggi, yang sarat akan pesan dalam settiap ajarannya. Stigma yang muncul tentang mereka pada zaman duhulu ialah mereka terkesan berbuat seenaknya sendiri, seolah – olah tak mengakui adanya negara dalam kehidupan mereka.
Masyarakat samin terkenal akan keluguannya, polos dan apa adanya hingga terkesan tidak mau berubah. Samin tetap identik dengan perlawanannya terhadap kolonial Belanda. Ajaran samin begitu popular sebagai simbol perlawanan rakyat terhadap penjajah.
Menurut mas Yadi, yang merupakan anak kedua dari mbah Lasio (Sesepuh Ajaran Samin di Klopodhuwur, Blora, Jawa Tengah). Ajaran samin sendiri diajarkan oleh Samin Surosentiko pada Tahun 1859. Mbah Samin Sentiko meninggal saat diasingkan ke Padang pada tahun 1914.
Samin sendiri berarti “Sami” bahasa jawa, dalam bahasa Indonesia berarti sama. Yang berarti bahwa semua makhluk hidup itu sama; antara Manusia dengan alam ataupun manusia dengan binatang.
Manusia tidak bisa seenaknya sendiri berbuat pada alam, alam harus selalu diruwat tidak boleh disia siakan. Semisal kalau manusia menebang pohon jati, maka kewajiban manusia itu menanam kembali.
Islamisasi
Cerita menarik ada saat zaman orde baru ketika masyarakat samin diasingkan oleh pemerintah karena permasalahan Kartu Tanda Penduduk dimana mereka diwajibkan untuk mengisi kolom agama.
Islam dihadirkan di antara mereka namun tidak secara subtansial melainkan sekedar identitas. Islamisasi muncul dengan dalih aturan negara, masyarakat Samin pun secara serentak mengisi kolom agama dengan agama Islam. Namun secara ajaran islam itu sendiri mereka tidak mengetahuinya.
“Sekiranya Tuhanmu menghendaki, niscaya berimanlah orang yang di muka bumi ini selruhnya. (tetapi Allah tidak menghendaki demikian). Apkah kamu akan memaksa orang orang itu untuk menjadi mukmin?” (QS. Yunus: 99)
Dalam ayat diatas, jelas Allah menghendaki tidak semua manusia beriman. Dalam ayat tersebut digambarkan betapa besarnya toleransi Islam terhadap ajaran lain. Lalu mengapa islamisasi itu tetap ada bahkan hanya sekedar untuk identitas?
Dengan demikian masyarakat akan memahami Islam sebagai sebuah paksaan tidak ada nilai pluralitas yang ada. Dasar falsafah Pancasila pun, dikehendaki agar semua bangsa Indonesia masing masing bertakwa, tekun taat, mendalami ajarannya yang sesuai pilihan masing masing.
Menurut Mas Yadi untuk sekarang ini negara sudah memfasilitasi bagi masyarakat samin diperkenankan untuk tidak mengisi kolom agama di KTP.
Demi kebaikan anak-anak masyarakat samin yang sudah bersekolah mereka tetap mengisinya supaya tidak ada deskriminasi. Memang yang terjadi sekarang ini semua masyarakat samin ber KTP islam, akan tetapi mereka tidak mendalami ajaran Islam.
Menghadapi fenomena yang terjadi di masyarakat samin mungkin kita perlu belajar dari masa lampau sejarah para wali tanah jawa dan tempat lainnya, para wali mengintegrasikan islam dan budaya secara apik dan efektif sebagai bagian dari strategi.
Diperlukan pendekatan yang lengkap baik pendekatan konsep maupun pendekatan praktis.
Sangat disayangkan jika islamnya orang Samin hanya mengaku islam secara KTP, padahal ajaran mereka penuh pesan dan sarat makna.
Masyarakat Samin sendiri memahami semua agama itu baik, hanya saja yang membedakannya ialah perjalanan hidup, perbuatan dan pekerti seseorang.
Penulis: Nur Rizal Al Hadqi (JOGJA)
Referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya (Diakses pada 29 November)
Suyami, ed, 2007, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah, Yogyakarta: Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora.