Kita hidup di zaman yang serba mudah (asal punya uang). Anda perlu makanan, minuman, pembersih dan produk perawatan tubuh — tinggal pilih produk-produk perusahaan multinasional seperti Unilever, P&G atau Nestle di toko sebelah rumah, alfamart sampai Transmart. Untuk pemain lokal berderet nama Indofood CBP, Mayora, Ultrajaya. Kalau defisit, beras tinggal impor dari Vietnam atau Thailand. Kedelai dari Amerika. Lalu peralatan teknologi tepat guna sampai yang gak berguna semua impor dari Tiongkok. .
.
Tentu ndak salah impor-ekspor dan pasar bebas, toh ndak ada negara yang bisa memenuhi semua kebutuhannya sendiri. Kebebasan akses pasar juga jadi katalisator tumbuhnya sikap kerja keras dan keunggulan bersaing. Jadi konsumen yang serba beli, mulai kebutuhan kamar mandi sampai perlengkapan kerja, juga ndak salah — asal duitnya halal. Toh gak bisa bikin sendiri, ya kan? (Dasar, kita masyarakat konsumen) . .
.
Tapi dari wabah kali ini mari belajar satu hal: ketika produksi pabrik-pabrik terhenti dan rantai pasokan (supply chain) global terhalau kebutuhan domestik negara pengekspor atau terganggu restriksi transportasi, apa yang anda konsumsi? Mbuh. .
.
Tentu sejauh ini masih aman, stok masih terjaga, terutama pangan (tapi semoga tidak lama). Ujar seorang teman pegiat reforma agraria, “kalau toh beras habis, pemerintah mulai siapkan sagu untuk bahan makanan pokok.” Tapi tidak ada salahnya mulai menanam: padi, buah-buahan, sayur, tanaman obat apa saja. Baik individu atau kolektif bersama ‘lumbung desa’. Supaya mandiri, juga antisipasi kalau ada bencana kapanpun, punya penyangga (buffer). .
.
Tenaga kerja yang di kota-kota terjebak ‘main’ di mata uang crypto, main di pasar produk derivatif (trading-trading fiktif), di industri hiburan malam, nebeng tokoh parpol, atau segala sektor informal yang rawan secara ekonomi — mustinya mulai beralih (atau dialihkan) pada manufaktur (yang jelas) atau ke pertanian (atau industri pertanian). Jadi petani-petani lokal (family farm) yang saling terkoneksi, berjejaring dan berkebun. Kelak kalau ada wabah, ndak tertular, juga tidak sengsara menahan lapar. Halah mbuh.