Kita tengah masuk di era leisure economy, era dimana pola konsumsi masyarakat kita dari yang awalnya didominasi oleh makanan-minuman menjadi hiburan dan leisure. Ketika masyarakat semakin kaya (dan berpendidikan) pola konsumsi mereka juga mulai bergeser dari “goods-based consumption” (barang tahan lama) menjadi “experience-based-consumption” (pengalaman). Experience-based consumption ini antara lain: liburan, menginap di hotel, makan dan nongkrong di kafe/resto, nonton film/konser musik, karaoke, nge-gym dan lain-lain. Kajian menarik  tentang leisure economy dilakukan oleh Yuswohady, Iryan Ali dan Farid Fatahillah. Pergeseran inilah yang bisa menjelaskan kenapa Roxi atau Glodog sepi. Karena konsumen kita mulai tak banyak membeli gadget atau elektronik (goods), mereka mulai memprioritaskan menabung untuk tujuan liburan (experience) di tengah atau akhir tahun. Disisi lain, mal yang berkonsep lifestyle dan kuliner (kafe/resto) seperti Gandaria City, Gran Indonesia, atau Kasablanka tetap ramai, sementara yang hanya menjual beragam produk (pakaian, sepatu, atau peralatan rumah tangga) semakin sepi. Era leisure economy ini ditandai beberapa hal, diantaranya:
  1. Porsi konsumsi rumah tangga dan investasi dalam GDP masih stabil.
  2. Pergeseran konsumsi masyarakat dari good (barang) ke experience (pengalaman). Data menunjukkan terjadi penurunan konsumsi/pembelian properti rumah misalnya juga produk pakaian. Sementara konsumsi dalam pendidikan dan penginapan di hotel mengalami peningkatan.
  3. Industri manufaktu flat cenderung turun. Yang mana pada triwulan kedua tahun 2016 pertumbuhannnya ada di kisaran 5,01, pada triwulan kedua tahun 2017 hanya berada pada kisaran 4,0 persen.
  4. Ada lagi kecenderungan penurunan pembelian motor dan mobil atau kendaraan pribadi. Bagitu pula terjadi penurunan konsumsi industri makanan dan minuman.
Disisi sebaliknya, fenomena yang terjadi yaitu:
  1. Kebangkitan online shop. Data menunjukkan terjadi peningkatan signifikan pada jumlah orang yang belanja online (online shopper). Tahun 2013 jumlahnya 4,6 juta meningkat pesat di tahun 2016 menjadi 8,6 juta (eMarketer). Produk pakaian masih mendominasi penjualan melalui online shop, disusul produk aksesoris dan sepatu.
  2. Terjadi Go-Jek Effect., dimana masyarakat mulai menyukai kendaraan sewa dan aplikasi. Jumlah pengemudi Go Jek pun meningkat pesat, yang semula 500 orang pada desember 2014 menjadi 250.000 pada maret 2016.
  3. Terjadi pertumbuhan signifikan pada industri e-money. Yaa kita diajak, bahkan seringkali diharuskan, untuk kapanpun dan dimanapun melakukan transaksi dengan uang elektronik ini. Mandiri e-money menguasi 43,8% pangsa pasar, disusul Flazz, T-cash dan Go Pay.
  4. Pembangunan infrakstruktur yang tengah digenjot oleh pemerintah belum mampu menghasilkan multiplier effect.
Fenomeman yang muncul Berbagai fenomana pasar berikut ini semakin meyakinkan makin pentingnnya sektor leisure sebagai mesin baru ekonomi Indonesia. Bandara di seluruh tanah air ramai luar biasa melebihi terminal bis. Hotel budget di Bali, Yogya, atau Bandung full booked tak hanya di hari Sabtu-minggu, tapi juga hari biasa. Tak hanya itu, kafe dan resto berkonsep experiential menjamur baik di first cities maupun second cities. Kedai kopi “third wave” kini sedang happening. Warung modern ala “Kids Jaman Now” seperti Warunk Upnormal agresif membuka cabang. Pusat kecantikan menjamur dimana-mana. Konser musik, bioskop, karaoke, hingga pijat refleksi tak pernah sepi dari pengunjung. Semuanya menjadi pertanda pentingnya leisure sebagai lokomotif perekonomian Indonesia. Tiket kereta api selalu sold-out. Jalan tol antar kota macet luar biasa di “hari kejepit nasional”. Destinasi-destinasi wisata baru bermunculan (contoh di Banyuwangi, Bantul atau Gunung Kidul) dan makin ramai dikunjungi wisatawan. Sektor pariwisata kini ditetapkan oleh pemerintah sebagai “core economy” Indonesia karena kontribusinya yang sangat siknifikan bagi perekonomian nasional. Saat ini sektor pariwisata merupakan penyumbang devisa kedua terbesar setelah kelapa sawit dan diproyeksikan 2-3 tahun lagi akan menjadi penyumbang devisa nomor satu. Ini merupakan yang pertama dalam sejarah perekonomian Indonesia dimana pariwisata menjadi tulang punggung ekonomi bangsa.   Ekonomi Pariwisata Dan Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Tingginya kunjungan wisata yang didorong gaya hidup dan pola konsumsi era leisure economy tentu menghadirkan aspek positif. Keberadaan pariwisata sebagai core economy tentu ditujukan guna peningkatan pendapatan pemerintah melalui pajak dan PAD, peningkatan pendapatan masyarakat sekitar lokasi wisata bahkan bisnis travel. Sehingga, bisa dikatakan banyak pihak yang terdampak positif dari peningkatan konsumsi wisata-pengalaman. Sementara itu, perkembangan jumlah kunjungan wisata membawa kita untuk kembali membahas gagasan pengembangan wisata berkelanjutan. Dalam hal ini, perlu adanya usaha bersama supaya pertumbuhan tersebut tidak menimbulkan ekses bagi lingkungan maupun manusia. Pembangunan pariwisata berkelanjutan diartikan sebagai proses pembangunan pariwisata yang berorientasi pada kelestarian sumberdaya yang dibutuhkan untuk pembangunan pada masa mendatang. Eadington dan Smith, 1992 mengartikan pembangunan pariwisata berkelanjutan sebagai: “Form of tourism that are consistent with natural, social and commubity values and which allow both hosts and guests to enjoy positive and worthwhile interaction and shared experience.” Oleh karena itu, kegiatan wisata bisa disebut berkelanjutan jika memenuhi beberapa syarat yaitu:
  1. Secara ekologis berkelanjutan, yaitu pembangunan pariwisata tidak menimbulkan efek negatif bagi ekosisitem setempat. Selain itu, konservasi merupakan kebutuhan yang harus diupayakan untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan dari efek negatif kegiatan wisata.
  2. Secara sosial dapat di terima, yaitu mengacu pada kemampuan penduduk lokal untuk menyerap usaha pariwisata, tanpa menimbulkan konflik sosial.
  3. Secara kebudayaan dapat diterima, yaitu masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan budaya wisatawan yang cukup berbeda.
  4. Secara ekonomi menguntungkan, yaitu keuntungan yang didapat dari kegiatan pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Piagam pariwisata berkelanjutan (Insula, 1995) menekankan bahwa pariwisata harus didsarkan pada kriteria yang berkelanjutan, intinya adalah pembangunan harus didukung secara ekologis dalam jangka panjang dan sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Beberapa kegiatan wisata yang sementara ini dianggap sebagai kegiatan pariwisata berkelanjutan seperti:
  1. Ekowisata
World Conservation Union (WCU) pada tahun 1996 memberi definisi bahwa ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab secara ekologis, mengunjungi wilayah yang masih asli untuk menikmati dan menhargai keindahan alam (termasuk kebudayaan lokal) dan mempromosikan konservasi, memiliki efek negatif paling minimum dan menyediakan kesempatan bagi masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata. 2. Agrowisata Secara sederhana pengertian agrowisata adalah kegiatan yang berlokasin atau berada di kawasan pertanian secara umum, lebih dikhususkan pada areal holtikultura. Areal tanaman yang luas seperti pada areal perkebunan dan holtikultura di samping menyajikan pemandangan dan udara yang segar, juga merupakan media pendidikan tentang kegiatan usaha di bidang masing-masing, sampai kepada pendidikan tentang keharmonisan dan kelestarian alam. 3. Wisata Alam Wisata alam dapat diartikan sebagai suatu bentuk rekreasi dan pariwisata yang memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan ekosistemnya, baik dalam bentuk asli maupun setelah adanya perpaduan dengan daya cipta manusia. Sedang objek wisata alam adalah alam beserta ekosistemnya, baik asli maupun setelah ada perpaduan dengan daya cipta manusia, mempunyai daya tarik untuk dilihat dan dikunjungi wisatawan. (Sumardjan, 1988) Peningkatan minat kunjungan wisata atau traveling tanpa memahami bagaimana bumi dan lingkungan sosial dikelola akan membuat kerusakan dan kerugian bagi banyak pihak akan semakin nyata terjadi.