Penulis: @Luthfiham

Beberapa hari terakhir, saya perlu mampir kembali ke Malang. Ada beberapa agenda yang perlu dilakukan di kota dingin itu. Mengurus observasi, menghadiri undangan acara di almamater dan datang ke undangan pernikahan dua orang sahabat dekat selama bergelut di organisasi ekstra kampus.

Hebatnya, dalam perjalanan dari Banyumanik, transit Bungurasih lalu ke Arjosari saya menemukan (Tuhan mempertemukan saya) dengan dua artikel Mojok.co, yang membahas mahasiswa organisatoris.

Karena merasa pengalaman saya relate dengan topik yang dibahas, saya baca tuntas dua artikelnya. Setelah begitu lama tidak membuka website Mojok.co, bahkan saya kira sudah tutup.

Perlu digaris bawahi sejak awal, Mojok.co tentu bukan portal artikel yang serius, dengan kajian mendalam dan data serta referensi mendalam. Ndak. Mereka satir, tapi memang gaya tulisan mereka asyik juga bukan portal media hoax.

Garis bawah kedua, saya punya ikatan mendalam dengan organisasi mahasiswa ekstra dan intra kampus. Juga beberapa asosiasi primordial yang dibentuk mahasiswa berdasarkan daerah asal, sesama santri atau sesama pengendara motor Vario.

Saya mungkin gambaran tradisional khas masyarakat yang doyan ‘kumpul-kumpul’, terlibat dalam berbagai kelompok sosial. Khas juga ala negara berkembang. Dimana individunya cenderung suka berkelompok guna mempertahankan hidup, khususnya menyelesaikan berbagai masalah.

Ada kelompok besar, ada yang kecil-kecil. Semua merasa perlu bergabung. Sebab tidak percaya diri dengan kapasitas dan kompetensi individunya. Atau tahu bahwa struktur sosial yang sudah ada ini kalau tidak diikuti akan membuat hidup jadi lebih berat.

Kembali pada artikel.

Artikel pertama berjudul “Mahaberat Hidup Aktifis Mahasiswa Selepas Wisuda”. Ditulis Kontributor Mojok bernama Robertus Bellarnimus Nagut.

Awal, Nagut mengidentifikasi aktifis mahasiswa sebagai mereka yang kuliah namun memiliki idealisme tertentu yang membedakan dari mahasiswa pada umumnya. Misalnya suka mempercakapkan nama-nama seperti Paulo Freire, Karl Popper, dan Michael Lowi.

Ada juga yang memiliki pandangan ideal bahwa kemudahan teknologi dari smartphone membuat orang jadi tidak kritis dan malas berjuang, pun susah diajak melakukan revolusi. Entah revolusi apa saja.

Lalu mereka menghindari segala teknologi terbaru.

Ide utama dari artikel Nagut adalah dia sekedar menyajikan fenomena susahnya mantan aktifis mahasiswa mengarungi kehidupan pasca lulus (dengan catatan ada juga yang tidak lulus).

Kenapa susah cari kerja?

Aktifis mahasiswa cnderung lulus dengan nilai IPK rendah, selesai di semester terlampau tua dengan konsekuensi usianya tidak lagi ideal bagi fresh graduate pencari kerja, dan paling utama: idealisme mereka susah dileburkan dengan  tuntutan profesional dunia kerja.

Sebagai orang yang pernah terlibat dalam dunia begitu-begitu, saya mengafirmasi apa yang ditulis Nagut. Ya memang begitu mantan aktifis mahasiswa.

Ada lagi, bagi mereka yang dulu ada di posisi tinggi dalam struktur jabatan organisasinya, ada kecenderungan terjebak pada post power syndrom. sebuah kondisi yang menggambarkan ketidakmampuan individu melepaskan apa yang pernah dia dapatkan dari kekuasaanya dahulu.

Mereka yang dulu menjadi ketua atau berada dalam jabatan strategis, dengan segala fasilitas, akses, penghormatan juga istruksi-nya jadi petunjuk gerak organisasi; sering kesusahan untuk memulai karir benar-benar dari bawah.

Alasannya: malu, gengsi, juga tidak memiliki keahlian spesifik untuk posisi kerja tertentu.

Artikel kedua berjudul “Tidak Ada yang Lebih Baik di Antara Mahasiswa Organisatoris, Akademis, dan Aktivis”. Ditulis oleh kontributo Mojok bernama Nia Lavinia.

Lavinia, hanya menuliskan bahwa dari ketiga kategori tadi intinya sama saja. Sama-sama begitu-begitu saja. Inti artikel Lavinia ada di paragraf kedua dari bawah:

“Kalau kamu beneran kuliah untuk tujuan sebenar-benarnya pendidikan, kamu nggak akan sibuk dengan menyinyiri apa yang dilakukan oleh mahasiswa lain. Kamu akan lebih banyak berpikir, membaca, berdiskusi, melakukan gerakan-gerakan emansipasi, dan lebih peduli pada pemberdayaan masyarakat di akar rumput. Bukannya malah mikirin persaingan, siapa yang lebih baik di antara mahasiswa satu dan yang lainnya untuk bisa diterima di dunia kerja.”

Saya yakin, dia berangkat dari pengamatan bahwa ketiga golongan mahasiswa tadi, di kampusnya, sering saling merendahkan. Saling merasa unggul satu sama lain. Lalu menganggap mereka semua sama saja.

Yang beda, ya yang tidak masuk dalam irisan ketiganya. Siapa mereka?

Tentu, semua yang bukan mahasiswa.

Bagi anda yang belum tahu, formulasi mengklasifikasi mahasiswa menjadi berbagai jenis ini lumrah dilakukan dalam organisasi mahasiswa. Umumnya hanya memakai klasifikasi tadi, dengan revisi: organisatoris-aktifis, akademis dan hedonis.

Catatan: anda tahu, pengklasifikasian model begini tidak terlalu ketat pula. Banyak tidak akuratnya  memilah manusia berdasar identitas model begini. Ada kok aktifis yang juga akademis, ada juga akademis yang hedonis, ada juga aktifis yang hedonis.

Mirip klasifikasi Clifford Geertz yang memilah varian keagamaan orang Jawa menjadi: santri, abangan dan priyayi.

Satu hal yang mudah dipahami, bagi mereka senior-senior di kampus yang sudah mendefinisikan diri masuk dalam kategori tertentu, memilah mahasiswa menjadi berbagai kelompok tentu bagian dari strategi rekrutmen yang manjur;

Ya, diferensiasi.

Kalau sama saja, ya mahasiswa baru males memilih.

Dalam kajian pemasaran, diferensiasi bisa dimaknai sebagai upaya perusahaan untuk membedakan produk yang dimiliki dari produk pesaing supaya lebih diinginkan dan diminati konsumen. Bisa lewat berbagai aspek, misalnya produk, servis, saluran distribusi, SDM dan citra perusahaan serta merek.

Versi ahli pemasaran Hermawan Kertajaya, diferensiasi biasa dimasukkan dalam satu proses beserta positioning dan branding (PDB). Dan bisa dilaksanakan setelah perusahaan (juga organisasi) melakukan Segmenting dan targeting.

Konflik antar kelompok mahasiswa tadi begitu lumrah terjadi. Tapi paling jauh ya sekedar saling ghibah. Jarang sampai adu pukul.

Kembali, konflik antar kelompok di Indonesia, adalah lumrah.

Pesan bagi mahasiswa yang masih baru masuk:

“Karena kuliah mahal biayanya, memilih jadi mahasiswa model apa saja, terserah anda. Asal memperhatikan Return on Investment-nya.”