Kesan awal (first impression) yang muncul jika mendengar mahasiswa PTAIN, bisa digambarkan beberapa kata: alumni pesantren, sarungan, liberal, pinter ngaji dan tahlil, dandanan norak, akrab dengan rokok, atau kalau pacaran sembunyi-sembunyi dan jaga jarak.

Perguruan Tinggi Keagamaan Islam sendiri terdiri dari 3 jenis, ada UIN, ada IAIN, dan ada STAIN. Pembinaan ketiganya, secara fungsional dikelola oleh Kementrian Agama, sementara secara teknis akademik tetap menginduk ke KemristekDikti.

Banyak aspek yang tentu saja diharapkan jadi diferensiasi (pembeda yang khas dan positif), atau jadi nilai tambah, atau keunggulan dari PTAIN dibandingkan dengan perguruan tinggi lain yang tidak memiliki embel-embel agama islam.

Visi awal pendiriannya bisa ditangkap dari apa yang dikatakan oleh Dr. Satiman Wirjosandjoyo. Beliau mengemukakan pentingnya keberadaan lembaga pendidikan tinggi Islam untuk mengangkat harga diri kaum muslim di Hindia Belanda yang terjajah itu. (Wikipedia.org)

Perkembangannya juga cukup hebat, dari yang tahun 1947 cuma ada UII, data terakahir menunjukkan sudah ada 53 unit yang terdiri dari 11 UIN, 23 IAIN, dan 19 STAIN. UIN Malang tentu saja salah satu yang terbaik, dengan dua program andalan:

Asrama Ma’had dan program intensif bahasa (yang masuk mulai senin sampai jumat, yang sejak jam 2 sampai jam 8 malam, yang nilainya mempengaruhi IPK semester awal, yang alumninya mampu lancar berbahasa asing semua~~ terbaik..!!).

Dari sekian kondisi, ada beberapa hal yang memang membedakan mahasiswa PTAIN dengan mahasiswa pada umumnya. Entah itu nanti jadi keunggulan atau berdampak kurang sedap bakal sangat subjektif, diantaranya:

Di Lokasi PKL dan di Kampung, Jadi Andalan Pada Sesi Doa dan Qiraah.

Ini kasus dan fenomena yang paling jamak ditemukan, masyarakat dan lingkungan profesional yang ditempati untuk Praktik Kerja Lapangan (PKL) memberikan generalisir:

‘Mas, sampeyan kan mahasiswa UIN, bagian doa dan tahlil sampeyan maju yaa….’.

Di satu sisi bagus juga label mahasiswa PTAIN pinter mimpin doa, tapi jujur gak semua bisa. Selain minder kalau-kalau ada yang salah, khawatir juga mereka lupa. Di momen terpojokkan begini, usaha awal yaa minta maju teman sekelompok, setelah dorong-dorongan dan sama-sama gak bisa, maka minta pegawai/warga yang lebih tua saja.

Kalaupun tetap dipaksa-disuruh mimpin tawasul (semacam membacakan doa via perantara nama-nama nabi dan wali) dan tahlil, yaa di baca saja: ‘ilaa hadratiiiyyyyy….’ sambil merem dan diam setelahnya, sebab lupa nama dan urutan. Tahu-tahu mengeraskan lagi suara pada seruan:

Al faatihah….!! A’udzu……’

Atau kalau sudah kepepet kepalang gemetar dan minder, terpaksa bilang saja: ‘waduh, saya dari kalompok yang percaya tahlilan itu bid’ah pak, sampeyan saja yang mimpin, saya tak ikutan mengamini saja...~~~’ selesai perkara.

Apapun Jurusannya, KKN adalah Pelatuhan Khutbah, Adzan dan

Kalau sudah tiba momentum Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau pengabdian masyarakat, mahasiswa PTAIN bakal dilepas ke desa-desa pelosok. Tidak dengan dilepas begitu saja, mereka masih tetap diberikan pembekalan sehari dua hari.

Supaya bisa dan ahli? Bukan, yaa supaya kenal saja dengan teman sekelompok dan bisa nggambar jalan yang membelah kampung sampai ke gang-gangnya, lalu nempel kertas-kertas stiker penanda susunan rumah dengan kategorisasi kondisi kesejahteraan KK penghuninya.

Yang lebih hebat, dan mungkin masih cukup dominan, apapun jurusannya ~~mulai sains dan teknologi sampai ekonomi~~ pengabdian masyarakat tidak lebih sebagai kawah chandradimuka pelatihan khutbah, bilal jumat dan muadzin.

Ya, dari semua jurusan. Plus ngajar ngaji madrasah. Pembekalan yang mepet dengan keberangkatan,  keberadaan di lokasi hanya sebulan, tidak adanya bekal materiil, kurang fasilitator guna agenda pelatihan dan sosialisasi, lemahnya kemampuan membuat teknologi terapan yang tepat guna mengatasi problem masyarakat, mengantarkan mahasiswa PTAIN ~secara terpaksa~ memilih mengajar ngaji dan jadi bilal jumat saja.

Sebelum nyinyir tetangga lokasi menginap muncul: ‘Sampeyan disini numpang tidur.?’

(Kejayaan-lah bagi mereka yang menguasai hapalan doa-daoa dan bahasa masyarakat setempat.)

Paradigma Integratif, Dorongan Instan jadi Ahli Quran Dan Hadist.

Intinya, paradigma ini memandang bahwa terjadi dikotomi antara ilmu sekuler (ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan, seperti sains, teknologi dan ilmu-ilmu yang terkait dengan realitas) dan ilmu keislaman. Perkembangan ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan oleh perguruan tinggi umum berjalan seolah tercerabut dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia, sementara itu perkembangan ilmu agama yang dikembangkan oleh perguruan tinggi agama hanya menekankan pada teks-teks Islam normative, sehingga dirasa kurang menjawab tantangan zaman.

Pengennya PTAIN, mereka pingin menjadikan kedua ilmu tadi saling terkait satu sama lain, saling mengisi kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Dengan demikian maka ilmu  keislaman tidak lagi hanya berkutat pada teks-teks klasik tetapi juga menyentuh pada ilmu-ilmu sosial kontemporer.

Paradigma ini yang mengantarkan adanya agenda misalnya kelas-kelas rutin bahasa arab, dengan logika sedehana: ‘khazanah kelimuan islam itu mayoritas berbahasa arab, jadi kalau mahasiswa PTAIN pinter bahasa arab, mereka mudah mendapat referensi baru.’ Logika ini yang mengantar masuk ke perkuliahan-perkuliahan bahasa yang membosankan itu.

Menggelembungnya jumlah beban SKS PTAIN sebab matakuliah keislaman dan studi-studinya. Juga mengantarkan untuk memasukkan dalil al-Qur’an maupun hadist dalam karya tulis ilmiah.

Yang kemudian terjadi, sering penyusun karya kehabisan stok dalil ~~yang secara tematik sudah disusun~~, jalan pintasnya tetap pakai search engine google, tinggal masukkan: ‘hadist tentang makro ekonomi’—klik search, lalu selesailah perkara.

Google tahu segalanya. Kita tidak cukup waktu ditengah kesibukan bermain Mobile Legend untuk membuka tafsir-tafsir tematik atau kitab asbaab an-nuzul.

Sempurnalah program 4 tahunan mencetak ‘seribu’ ahli dalil.

Secara Komparatif, Menambah Jumlah Ahli Agama.

Negeri kita tidak pernah kekuarangan ahli agama. Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips J Vermonte, dalam reportase Tirto.id, pernah menulis tentang pemikiran strategis dan kemampuan berpikir ilmiah bangsa Indonesia dan jumlah pemilik gelar PhD dan doktor di negeri ini. Philips menyebut, Cina telah memiliki 800 ribu doktor, sedangkan India 600 ribu.

Sementara Indonesia masih memiliki 30 ribu doktor.Jumlah doktor di Indonesia tersebut jauh dari jumlah ideal berdasarkan jumlah penduduk, yaitu 160 ribu doktor. Yang lebih menarik lagi, komposisi doktor di Indonesia sungguh ajaib: 80 persennya berasal dari bidang kajian ilmu agama, ilmu hukum, dan ilmu ekonomi.

Jadi jangan heran kita ngomongin dan ribut agama melulu atau ngomongin […] pelanggaran hukum atau kita jadi negeri yang paling riuh. Ditambah masing-masih difasilitasi talkshow di TV, akun Twitter dan Instagram yang serba ‘merdeka’, jadilah pasar burung yang luar biasa rame.

Hormat dan Takdzim ke Dosen, Jadi Sering Khusyuk Saja Mendengarkan Mereka.

Berdasar riset penulis, dan bisa di riset ulang juga, paling tidak 50 persen mahasiswa PTAIN adalah alumni pesantren. Yang secara person mereka terbiasa dengan sikap tawadhu’, menghormati guru dan santun. Kondisi ini pula yang sering bakal dijumpai di ruang-ruang kelas PTAIN (sejauh yang penulis amati).

Diskusi-diskusi yang sepi referensi, acungan tangan untuk spik-spik nilai dan semuanya selesai ketika dosen sudah bicara. Semacam mengarah ke temuan Paulo Freire, bahwa peserta didik sering saja cuma jadi objek. Dan dosen adalah satu-satunya sumber informasi.

Ide-ide, argumentasi dan bantahan terbentur slogan ‘keluhuran akhlak’ sehingga lestarilah budaya bisu (culture of silence)~nya Freire. Ditambah konstruksi bahwa kritik terhadap ‘manajemen’ PTAIN yang mereka merangkap ustadz, adalah suatu ketidaksopanan yang berdampak pada ketidakberkahan ilmu, maka~~~ ah sudahlah..

Jadi Bagian Kebangkitan Kelas Menengah Muslim, dengan Segala Atribut Perilakunya.

Kesadaran generasi baru Muslim Indonesia yang memiliki karakteristik unik dan khas Indonesia ditandai dengan gairah berislam mengemuka dengan semakin banyaknya perempuan berjilbab (yang memakai trademark baru bernama hijab itu).

Itulah penanda makin maraknya  fesyen  dan kosmetika halal. Belum lagi ketika kita melihat munculnya kesadaran akan makanan halal, tumbuh berkembangnya industri keuangan syariah, umrah dan wisata religi, menjamurnya lembaga pendidikan dasar dan menengah Islam bagi generasi baru Muslim.

Semakin kuatnya filantropi Islam melalui zakat, infak, sedekah, dan wakaf, serta booming media dakwah melalui film Islami dan dakwah digital.  (Yuswohady, dkk. 2017.Gen M: Generation Muslim. Bentang Pustaka)

Intinya ekspenditure atau tingkat pengeluaran uang yang tinggi, ditambah akses informasi yang cepat dan gaya hidup sadar syar’i, mengantarkan mahasiswa PTAIN jadi ceruk pasar yang sangat besar bagi produk consumer goods, produk jasa dan partai politik atau ormas tertentu (terutama dulu yang mengajak pada khilafah).

Tahu sendiri lah sampeyan ukhti-ukhti K-Popers dan akhi-akhi penikmat gerakan nikah muda dan musik aqad nikah-nya Payung Teduh… Mereka yang ditengah perilaku dan identitas sekuler-hedonik tidak mau kehilangan jatidiri dan atribut sebagai muslim-muslimah yang taat….~~~

Perokok dan penyumbang pajak terbesar dari cukai tembakau~~~sebab makruh dan bisa ditemukan banyak pembenaran.

Menurut sidang pembaca, ada lagi yang unik dari mahasiswa PTAIN?