Oleh: Drs. H. Mustofa Alchamdani, MSI

Allah SWT memberikan rizqi dalam kehidupan (ma’isyah) pada manusia itu tidak sama. Ada yang rizqi hartanya sampai berlimpah ruah, ada yang sedang atau cukup. Tapi, ada juga yang dipakai makan saja tidak cukup meski sudah jatuh bangun mencari nafkah.

Inilah dinamika dan harmoni kehidupan. Ada orang kaya ada orang miskin, fakir. Ingat, jika kita ditakdirkan jadi orang yang kaya maka ingatlah:

“Engkau dikatakan kaya karena ada yang miskin.

Ada orang yang dikatakan miskinpun, karena ada yang kaya.”

Yang penting kita sadari, bahwa sebesar atau sebanyak apapun harta benda yang kita miliki adalah pemberian, titipan dan amanah dari Allah SWT. Maka dikala miskin bersabarlah, karena ini adalah ujian dari Allah dan nanti di akhirat tidak terlalu banyak hisab tentang hartanya.

Sementara disaat diberi harta benda yang lebih atau bahkan melimpah, maka jangan ‘lupa daratan’ atau bahkan melupakan dzat yang memberi rizqi. Kelalaian ini sangat berbahaya, sebab bisa-bisa fikiran kita diombang-ambingkan oleh harta.

Bahkan sampai-sampai dalam hati yang ada hanya uang, uang dan uang.

Oleh karena itu, ingatlah sebagian harta yang kau miliki ada haknya fakir miskin yang harus kita tasharruf-kan melalui zakat, infaq dan shodaqoh.

Yakinlah bahwa harta yang kita belanjakan di jalan Allah, selain untuk membersihkan harta kita, juga merupakan harta yang sesungguhnya kita simpan untuk tambahan saham kehidupan di akhirat.

Maka apabila rizqi kita terus ditambah oleh Alloh, seharusnya bisa menguatkan rasa empati  terhadap fakir dan miskin. Dengan demikian, ujungnya adalah kita akan meraih kesalehan ritual dan kesalehan sosial.

Mulia dihadapan sesama dan di hadapan Alloh SWT. Sang maha mulia.