Ketahanan energi merupakan salah satu komponen penting dari ketahanan nasional. Dimana pemakaian energi juga mencerminkan kesejahteraan suatu negara; semakin tinggi suatu negara, maka semakin tinggi konsumsi energi per kapitanya. (Warnika)

Sementara saat ini ketersediaan energi di Indonesia masih belum bisa dikatakan mumpuni, hal ini terlihat dari masih terdapat sekitar 2000 lebih desa yang belum mendapatkan fasilitas listrik dan juga masih sulitnya menemukan bahan bakar di wilyah-wilayah tertentu. (Website Pemuda Nasdem)

Disisi lain, Indonesia masih menghadapi masalah terkait banyaknya jumlah sampah dan bagaimana manajemen pengelolaannya. Setiap tahun menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (B3) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan proyeksi volume sampah rumah tangga dan sejenis sampah rumah tangga pada 2018 mencapai 66,5 juta ton.

Ada beberapa cara yang digunakan dalam pengolahan sampah, seperti TPA (land-filling), pembakaran atau insenerasi (incineration), dan daur ulang (recycling). Cara pengolahan yang umum digunakan di Indonesia adalah membawa sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sedangkan sebagian kecil didaur ulang.

Cara pengolahan dengan membawa sampah ke TPA masih bisa digunakan untuk daerah yang lahannya cukup luas, tetapi kurang efektif dikembangkan di daerah dengan luas lahan terbatas. Selain itu, TPA sampah adalah salah satu tempat penghasil gas metan yang menyebabkan efek rumah kaca, sumber penyakit, dan pada umumnya ditentang oleh masyarakat setempat.

Jika dihitung Secara global, lebih dari separuh sampah dunia atau 59% dari sampah tersebut berakhir di tempat pembuangan sampah. Ini berarti bahwa sebagian besar sampah dunia, termasuk Indonesia, akhirnya berakhir dengan melepaskan racun yang mencemari tanah dan air tanah, dan memancarkan gas rumah kaca yang berbahaya.

Maka, jika mencari solusi untuk kedua masalah tersebut secara bersamaan, apa yang dilakukan oleh negara Swedia bisa menjadi contoh terbaik.

Swedia sendiri dianggap sebagai pemimpin global dalam pengelolaan limbah berkelanjutan dan pengurangan jejak karbon per kapita. Negara ini secara konsisten bekerja untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, meningkatkan efisiensi energi dan meningkatkan kesadaran publik. Selama 10 tahun terakhir, Swedia mengembangkan metode repurposing limbah (repurposing waste) atau menggunakan kembali barang yang ada untuk didaur ulang, sehingga kurang dari satu persen dari total limbah yang dihasilkan di negara tersebut dibuang ke tempat pembuangan sampah.

Untuk mencapai hal ini, Swedia mengubah perspektif mereka tentang sampah. Dari 4,4 juta ton limbah rumah tangga yang diproduksi oleh negara setiap tahun, 2,2 juta dikonversi menjadi energi dengan proses yang disebut Waste-to-Energy (WTE). Sebelum proses ini dimulai, pemilik rumah dan pemilik usaha menyaring dan memisahkan limbah menjadi limbah berbahaya dan bahan yang dapat didaur ulang, yang kemudian dikirim ke sistem pengelolaan limbah yang berbeda, seperti insinerator dan daur ulang, dan sejumlah kecil ke tempat pembuangan akhir.

Tungku di pabrik WTE diisi dengan sampah, dan kemudian dibakar untuk menghasilkan uap yang selanjutnya digunakan untuk memutar turbin untuk menghasilkan listrik. Limbah yang didaur ulang pada dasarnya digunakan sebagai sumber daya, diubah menjadi pemanasan distrik, listrik, biogas, dan pupuk hayati. uap panas ini juga yang dipakai untuk pembangkit tenaga listrik yang mampu mencukupi kebutuhan panas 950.000 rumah tangga dan memasok listrik bagi 260.000 rumah di seluruh negara Swedia.

Hukum di Swedia juga membuat produsen limbah bertanggung jawab untuk menangani semua biaya yang terkait dengan pengumpulan dan daur ulang atau pembuangan produk mereka.

Pada tahun 1975, hanya 38% limbah rumah tangga yang didaur ulang di Swedia, tetapi sekarang Swedia memiliki misi untuk mencapai zero waste di masa depan yaitu pada tahun 2020.  Sistem WTE yang digunakan Swedia memang tidak sempurna, penerapannya bisa sangat mahal dan dikenal  mengeluarkan polutan lingkungan. Tapi, sistem WTE  ini juga terus berkembang, didukung oleh penemuan teknologi baru yang memungkinkan WTE untuk mengurangi dampak lingkungan.

Sistem pengelolaan sampah Swedia telah mengubahnya menjadi pemimpin global, dan memulihkan lebih banyak energi dari setiap ton limbah daripada negara lain, menurut Cleantech Swedia.

Bahkan, Swedia telah sangat maju dalam pengelolaan limbah sehingga perlu mengimpor hampir 800.000 ton limbah dari negara-negara seperti Inggris, Norwegia, Italia, dan Irlandia untuk memberi makan 32 pabrik WTE. Dengan tidak membuang limbah dan mendaur ulang 99% dari limbah tersebut, Swedia sedang dalam perjalanan untuk mencapai misi nol limbah dan energi berkelanjutan pada 2020.

Analisa jika diterapkan di Indonesia:

Rata-rata sampah yang dihasilkan Kota Jakarta sekitar 6.500 – 7.500 ton setiap harinya. Untuk sampah di Bantargebang, pemerintah menghabiskan 330 miliar rupiah lebih setahun untuk pengolahan sampah. Belum termasuk 4,5 miliar rupiah untuk jasa penimbangan dan satu miliar rupiah lebih untuk pengawasan. Lalu berdasarkan data Komunitas Nol Sampah Surabaya, Kota Pahlawan menghasilkan sampah plastik sebanyak 400 ton dalam sehari.

Jumlah sampah yang sedemikian besar di dua kota besar tersbut bisa menjadi pertimbangan penting bagi pengembangan sistem Waste to Energy sebagaimana yang dimiliki oleh Swedia. Apalagi jika melihat jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah, tentu produksi sampah di masa yang akan datang juga akan terus meningkat.

Namun, negara kita perlu banyak dana dan investasi untuk pengembangan infrastruktur teknologi dan pabrik  Waste to Energy sebagaimana yang dimiliki oleh Swedia. DPR sebagai lembaga legislatif dan pemerintah perlu berkoordinasi dan menyusun regulasi supaya sistem pengelolaannya bisa terkoordinir dengan baik mulai dari rumah tangga sampai ke pabrik Waste to Energy.

Bagaimanapun, sebagaimana yang terjadi selama ini, pengembangan teknologi terbarukan selalu mengalami kendala dalam besaran biaya investasinya, sehingga banyak yang terkendala dalam prosesnya. Manajemen pengelolaan sampah menjadi sumber energi seperti yang digunakan oleh negara Swedia ini bisa menjadi opsi strategis bagi pemerintah Indonesia. Disamping misalnya pemerintah juga mengembangkan pembangkit tenaga surya skala besar (300 megawatt) sebagaimana yang dilakukan pemerintah Arab Saudi.

Generasi muda Indonesia tentu bisa mengambil peran dalam proses penerapan manajemen sampah dan energi ini. Mereka bisa terlibat sebagai sukarelawan dalam sosialisasi bahkan dalam  proses pengumpulan sampah. Selain itu, generasi muda yang memiliki kompetensi, bisa masuk dalam pengembangan teknologi dan pabrik Waste to Energy ini. Kepemilikan sistem ini juga akan meningkatkan kesadaran bahwa sampah harus dipilah dan dibuang sesuai kategorinya.

Maka, penerapan teknologi ini selain mendesak sebab masih adanya masalah sampah dan energi di Indonesia, juga bisa menjadi ajang penyaluran kontribusi pofitif dari generasi muda kepada bangsa dan negara Indonesia.

 

REFERENSI

https://news.idntimes.com/indonesia/indianamalia/volume-sampah-2018-diprediksi-mencapai-665-juta-ton-1/full

http://olahsampah.com/index.php/component/content/article/15-pengelolaan-sampah/31-konversi-sampah-perkotaan-menjadi-bahan-bakar

https://www.globalcitizen.org/en/content/sweden-garbage-waste-recycling-energy/

https://www.independent.co.uk/environment/sweden-s-recycling-is-so-revolutionary-the-country-has-run-out-of-rubbish-a7462976.html

Warnika, Wardaya. Beberapa Permasalahan Utama Energi Indonesia. Presentasi Komisi VII DPR RI