Selama di Malang, saya terlibat dalam banyak diskusi tentang ekonomi kerakyatan, tentang kontra wacana, budaya dan sistem kapitalisme global. Bahwa misalnya kedatangan ritel modern seperti Alfa-Indomart, musti dilawan.!

Sebab mematikan toko warga lokal dan pasar tradisional. Bahwa McDonald’s dan Starbuck sebenarnya sekedar sampah budaya barat, yang datang ke Indonesia disulap jadi berlabel ‘gaya hidup modern’.

Hasil diskusi-diskusi lesehan, sambil bersila di balkon kampus itu, menggiring saya dengan bangga mendeklarasikan: “Empat tahun di Malang, tidak sekalipun saya menginjakkan kaki di Mall Malang Town Square, MATOS.! Hidup, perlawanan pada simbol kapitalisma-hedonisma.!!”

Beberapa waktu, setelah beberapa kali nyoba langsung masuk, pesan dan menikmati duduk berlama-lama di gerai McDonald’s atau Starbuck, mulai runtuh bangunan argumentasi yang bertahun-tahun dibangun.

Merek-merek usaha multinasional seperti mereka, memang punya banyak nilai tambah (value added) yang ndak di miliki misalnya oleh kopi Blandongan (Jogja), warung Mak Duro, angkringan DotKom (Semarang) atau kopi sachet yang diseduh dengan bekasbotol air mineral.

Selain ‘physical evidence’ dan pelayanan, tentu merekaselalu berhasil masang mindset mampu meng-upgrade status sosial. Walaupun,tetap semuanya imajiner juga simbolik.

Maka, seperti imam Syafi’i punya ‘qaul jadiid’,sekarang konstruksi pikirannya bisa direvisi: “Selama dapat duitnya denganbener, orang mau mengkonsumsi apa juga urusan mereka.

Lagipula versi Maslow, kebutuhan akan penghargaan (prestise, status, diakui) termasuk juga kebutuhan manusia. Urusan pemerataan distribusi kekayaan, usaha bersama diatas gotong royong, kapan-kapan lagi dibahas. Atau biar diurus pemerintah.”