Jadi milenial itu susah-susah gampang. Di gadang-gadang jadi genersi emas saat Indonesia berumur satu abad sebentar lagi, terutama lewat industri kreatif dengan media digital. Milenial dianggap punya pikiran bebas, kelenturan daya tahan yang tinggi dan tentu kreatifitas. Imaji idealnya diwakili nama-nama beken seperti Tsamara Amany, Ahmad Zaky (Bukalapak), NadiemMakarim, Arief Muhammad, atau Ria Ricis.
Ditengah disrupsi ekonomi, milenial sering punya angan-angan bisa dapat duit dari nge-vlog di kamar yang diubah jadi studio, nongkrong di kafe sambil meeting project industri, jadi politisi muda yang gagasan-gagasannya di media sosial dibaca, di amini serta memberikan influence pada lingkungan sosial-maya mereka.
Padahal, sebagaimana pasar komoditas pada umumnya, pasar industri kreatif punya daya tampungnya sendiri. Beberapa lolos dan jadi trendsetter, banyak juga yang ambruk. Banyak penulis yang naskahnya berakhir jadi sampah di memori laptop, banyak startup yang mandhek, vlogger yang bingung konten akhirnya menjajakan paket hemat paha-dada, ada rintisan toko online yang market share-nya habis dibabat oleh digitalisasi toko penguasa pasar konvensional.
Milenial pengin hidup ala bohemian, serba bebas dan tidak terkurung, bisa traveling sambil dapat uang. Bisa berseni ria. Tapi ketidakpastian pendapatan lebih mengerikan daripada neraka dan segala kisahnya. Buktinya yang ndaftar PNS, frontliner bank, atau penjaga toko modern masih membeludak. Yang rutin jadi peserta demo bayaran, simpatisan kampanye, tukang parkir dan sejenisnya juga ribuan. Bahkan jutaan.
Milenial tentu bukan sesuatu yang tunggal. Menyelesaikan masalah psikis, ekonomi dan ketenagakerjaan milenial tidak semudah senyum Tsamara Amany atau gerak tangan Gamal Albinsaid saat bicara di depan kamera.
Sangat mungkin, mereka yang terlanjur punya imaji tinggi tengtang hidup ala milenial, tapi ndak terserap pasar ini, bakal terseret konservatisme ideologi pun agama, dengan tawaran semua sejahtera, sejak dunia sampai surga.
“Milenial, agamamu apa?”