Usaha warung kopi tengah tumbuh pesat di Malang dan Tulungagung, beberapa tahun terakhir. Jumlah pastinya belum tau, tapi kalau lewat sekitar UIN Malang dan IAIN Tulungagung, anda bisa secara empiris menyaksikan usaha ini berkembang biak.
Areal sawah di Joyosuko Malang sudah sempurna dialih fungsikan jadi warung kopi. Berderet-deret. Beberapa jadi kamar kos.
Begitu pula di Tulungagung. (Mungkin di masa depan, ketahanan pangan kita bisa jadi diukur dari stok racikan kopi, bukan lagi beras)
Fenomena bahwa warung kopi yang sama level (harga, kualitas layanan dan menu)-nya itu hadir di sekitaran kampus UIN, IAIN juga STAIN cukup menarik.
Mahasiswa UIN, terutama yang terlibat berbagai kegiatan organisasi, sangat akrab dengan kopi. Juga sebagian besar pecandu berat rokok.
Ada ungkapan: ‘Selama organ intra-ekstra di UIN masih melakukan kaderisasi, warung kopi gak bakal mati.’
Selain memang dalam skala yang lebih luas ada tren Leisure economy. Sebuah kecenderungan dimana orang-orang lebih suka traveling, nongkrong-ngopi dan nonton bioskop daripada membelanjakan uang buat beli baju, rumah dan komoditas konvensional lain.
Apapun faktornya, di ambil positif saja. UMKM berupa usaha warkop, menyerap cukup banyak tenaga kerja.
Multiplier efeknya juga menguntungkan produsen gorengan, sego bungkusan, sate bekicot, tukang parkir, pemilik lahan yang bosan bertani, dan SPG rokok yang ‘singlet-an’ keluar masuk.
Juga semakin banyak rokok dihisap penikmat kopi, semakin besar cadangan dana pemerintah untuk nutup ‘utang’ BPJS ke lembaga-lembaga kesehatan.