Suatu sore, ketika sedang berkumpul dengan beberapa teman, ada panggilan masuk dari rumah:

“Itu saudara sepupumu sudah mau dinikahkan, kamu gimana?” tanya ibu saya sambil bercanda.

“Wah, alhamdulillah. Dapat orang mana buk?” tanya saya.

“Kota A.”

“Pantes kalau cewek usia segitu buk, kalau saya santai saja.” Jawab saya ringan.

Obrolan sore tersebut mengantar saya melihat ulang, apa dan kenapa kita harus menjalani prosesi pernikahan. Dalam hal ini, pertanyaan paling penting adalah ‘mengapa?’ dan dampak apa yang ditimbulkan oleh proses tersebut.

Pertama, menikah itu selain sunnah, tapi juga pilihan.

Kalau anda pakai dalil agama, tidak ada satupun yang mewajibkan menikah. Adanya juga sunnah. Kalaupun ada yang mewajibkan, itu juga dengan kondisi sangat terpaksa terjebak dalam perzinahan.

Sehingga hukum wajibnya hilang jika anda bisa menahan diri dari perzinahan.

Jadi sunnah saja hukumnya, dengan syarat bisa menahan hawa nafsu. Kalau teman dan saudara mewajibkan, tanyakan pada mereka: ‘kontribusimu ke hidup saya paska menikah apa?’

Kedua, gerakan nikah muda, tujuan dan eksesnya.

Beberapa kelompok orang, secara terorganisir mengkampanyekan gerakan nikah muda. Anda tahu beberapa kelompok yang ‘resah’ ditengah himpitan zaman, sedang mencoba menawarkan ‘obat untuk segala penyakit’.

Korupsi, kemiskinan dan konflik solusinya hanya satu: tegakkan khilafah.

Masalah pergaulan bebas dan perziahan, solusinya hanya satu: nikah muda.

Saya cukup mengamati bahwa kita kaum muda ‘ditipu’ dengan visualisasi menikah muda itu indah. Di instagram misalnya, berserakan foto dan video beberapa wanita bercadar (dengan warna mata yang menyala) betapa bangga berlari-lari menemui suaminya, yang masih muda juga. Di taman dan di emperan masjid.

Atau cuplikan video pernikahan mewah dengan segala aksesorinya.

Mereka tidak mencoba menampilkan pesan yang berimbang, misalnya menikah muda bisa beresiko sebab kedewasaan psikologis untuk menghadapi konflik belum cukup, kapasitas finansial masih banyak tantangan dan banyak lagi.

Tapi bagaimanapun, urusan mau menikah muda, menikah tua atau tidak sama sekali, itu urusan anda.

Ketiga, efek domestifikasi paska menikah.

Nurani Soyomukti sering menggunakan istilah ‘revolusi sampai menikah’. Maksudnya adalah, menikah bagaimanapun akan berdampak bagi mereka yang semula terlibat aktif dalam proses pemberdayaan, kegiatan sosial dan sebagainya, perannya akan jadi semakin sempit.

Mereka yang semula bisa leluasa melakukan perjuangan ideologis mesti ‘mundur teratur’ untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga. Mulai secara ketat membagi waktu dan pikiran.

Pengalaman saya dulu, beberapa teman di organisasi kampus, salah satu faktor ketidakaktifannya adalah ‘memiliki pacar’. Masih bukan status menikah, ya cuma pacar. Yang bisa saja sehari dua hari putus hubungan, tanpa konsekuensi. Dan ini yang paling menyebabkan kurangnya kinerja dalam organisasi. Selain bangun kesiangan dan memang sejak awal tidak memiliki niat berkontribusi.

Keempat, menikah bukan sekedar ‘sebab kita sudah halal, mari membuat anak sebanyak mungkin.’

Ini yang salah juga, kondisi lingkungan sosial maupun ekologis kita sudah semakin ‘tidak layak huni’. Banyak konflik, bencana, musim tidak menentu, pengangguran, limbah, efek rumah kaca, kekurangan bahan makanan, perang-pembantaian di Timur Tengah dan Myanmar atau bocah-bocah yang disuruh ngemis di angkringan tempat saya sering ngopi.

Kalau Indonesia bubar 2030 hanya Prabowo yang tahu. Hanya saja, ada kekhawatiran tentu bagi mereka yang mengamati, bahwa bumi tidak lagi layak dan muat huni untuk generasi-generasi kedepan.

Semakin banyak orang akan berakibat suasana semakin sumpek dan kompetisi semakin ketat. Pengendalian secara sadar terhadap jumlah kelahiran ‘manusia baru’ menjadi sangat penting saat ini.

Maksud saya, baiklah memang pernikahan salah satu fungsinya adalah melegalkan kita untuk prosesi ‘berkembang biak’, namun sebagai orangtua kemudian peran dan tanggungjawabnya bukan hanya membuatkan akta dan kartu keluarga. Seberapa layak generasi kedepan hidup, dalam taraf yang baik juga perlu dipikirkan matang-matang.

Terakhir, mau menikah atau tidak, di usia muda atau tua itu tetap urusan dan keputusan anda masing-masing. Hanya mari memikirkan banyak hal penting yang menyertainya.