Oleh: @luthfiham

Selasa lalu, saya pulang ke Trenggalek dari sebuah acara (penting) di Semarang. Ini adalah kali pertama saya naik mobil untuk menempuh dua kota yang berbeda provinsi. Selama kurang lebih dua tahun PP ke/dari Semarang, sepeda motor Honda matic atau bis AKAP jadi opsi terbaik: sebab ekonomis. Atau kalau tidak, bisa ditempuh pakai kereta api Brantas rute Blitar-Pasar Senen –yang setiap hari minggu penuh penumpang beserta kardus dan karung berisi segala bekal mereka hidup di ibukota.

Karena naik mobil, lewat tol jadi pilihan terbaik. Sampai rumah dari Pleburan/tengah kota cukup 5 jam-an. Menyingkat 3 jam kalau biasanya saya naik motor lewat Wonogiri-Solo-Semarang.

Apa kesimpulannya? Kemudahan fasilitas tol cuma bisa dinikmati bagi yang bermobil. Klise, bung!!. Ya memang begitu. Semua tahu tol adalah privilese. Satu hak istimewa yang ndak semua orang bisa mengaksesnya. Apakah keberadaan tol bisa dibahas dari perspektif privilese? Apakah tol akan memperparah segregasi antara kelompok kaya dan miskin? Bisa iya, bisa tidak. .
.
Apa privilese? Versi Cambridge Dictionary, Privilege dimaknai: “..the way in which rich people or people from a high social class have most of the advantages in society”. Sederhana. Dan saya percaya kemiskinan di kita ini dominan bersifat struktural –sebab sistem dan struktur sosial yang gagal.

Tentu di luar dampak ekonomi, setiap pembangunan punya dampak sosial dan ekologis. Kita tahu, ambisi pemerintah membangun infrastruktur beberapa tahun terakhir sering beriringan dengan kasus-kasus penggusuran bermasalah atau AMDAL yang diduga ndak beres. Atau teman saya di Tuban pernah cerita bilang beberapa warung makan di Pantura musti bangkrut sebab beberapa truk ekspedisi pilih lewat tol. Tapi suatu ketika di Metro TV ketua asosiasi perusahaan ekspedisi bilang tol ini ndak efisien, sebab waktu tempuhnya relatif ndak beda jauh, tapi biaya bisa naik jauh. Halah mbuh. .

Memangnya kenapa kalau orang miskin cemburu? Mereka mau bersuara lewat ‘saluran’ apa? Media kan ndak punya? Bahkan kalau mereka protes, gampang kan di bikin bias tuntutannya atau dibikin diam? Gampang kok.!!

Menyingkat waktu tiga jam bermakna banyak hal. Waktu membosankan di atas sepeda motor bisa dikonversi jadi beragam kerja yang produktif, jika anda punya mobil dan saldo kartu tol elektronik.

Tapi begitulah dunia. Selalu begitu. Saya juga ndak bisa jadi hipokrit atau sok peduli, lah wong kegiatan di Semarang di atas, ndak banyak pemuda seusia saya yang bisa mengikuti. Lalu? Begitu saja. Mampirlah ke rest area 519 ini kalau pengen ke toilet.