Penulis: Luthfi Hamdani
Salah satu efek samping dari kebebasan berpendapat yang dihadirkan oleh sistem demokrasi adalah “keriuhan, kegaduhan, keramaian”. Semua kepala punya pendapatnya masing-masing, dan media sosial jadi ruang serta katalisator terbaik bagi keriuhan tersebut. Apalagi ketika dalam situasi krisis seperti saat ini, sebab wabah corona.
Sebagai pengguna aktif media sosial, saya mengamati banyak orang masih mempercayai berbagai teori konspirasi berkaitan dengan covid-19. Kalau anda nonton liputan dari media CNBC berjudul ”Why People Believe Covid-19 Conspiracies” di Youtube, Liza Fazio dari Vanderbilt University bilang bahwa teori konspirasi dan misinformasi yang menyebar marak di internet sebagai “sesuatu yang gak harus benar, asal jadi cerita-cerita yang mudah dipahami dan mudah dipercayai sebab sesuai dengan kepercayaan-kepercayaan yang dianut masyarakat. Berbading terbalik dengan pengetahuan ilmiah dan situasi rumit yang sebenarnya terjadi.”
Kita sering mendengar bahwa di era ‘post-truth’, kita cenderung mempercayai apa yang ingin kita percayai, apa yang menurut pikiran kita mudah dipahami – bukan mempercayai kebenaran ilmiah. Itulah mengapa jauh sebelum covid-19 datang sebenarnya hoaks dan misinformasi ramai ditemui. Pola perilaku semacam ini juga sekilas diulas dalam reportase CNBC tadi, bahwa masyarakat Amerika Serikat dari golongan partai Republik/pendukung Trump cenderung jadi pendukung konspirasi covid-19. Kepercayaan dan sikap yang tentu muncul sebab nilai-nilai yang berkembang dalam komunitas mereka, juga sebab cara Trump menyikapi Covid-19 via berbagai statement-nya di media sosial yang anti sains.
Menurut saya, misinformasi ini juga muncul terutama sebab ada perasaan sebagian pihak lebih diuntungkan dari kondisi wabah; misalnya tenaga medis dan rumah sakit dituduh mengambil untung dan insentif dari semakin banyaknya pasien yang dirawat, perusahaan farmasi yang dituduh nyari untung dari produksi vaksin, sementara di lain pihak pengusaha dituduh gak punya ‘sense of crisis’ sebab minta pelonggaran PSBB/lockdown untuk aktifitas perusahaan, pabrik dan sejenisnya.
Tenaga kesehatan dan rumah sakit sampai puskesmas tentu jadi garda terdepan yang bertaruh nyawa untuk menyelamatkan nyawa ribuan pasien yang mengalami gejala sebab tertular covid, mereka terus berjuang walau banyak yang menyatakan insentif yang dijanjikan pemerintah belum turun.
Perusahaan farmasi tentu berlomba, berkompetisi dan sejauh yang saya amati, perburuan vaksin ini adalah kompetisi yang baik; untuk ilmu pengetahuan sendiri dan upaya menyelamatkan hidup jutaan orang. Bahwa ada ‘keuntungan’ yang akan mereka peroleh sebab berbagai negara sudah nginden milyaran dolar untuk pesan, ya okelah. Semakin banyak perusahaan bersaing membuat vaksin, pasti kompetisi harga juga akan semakin seru dan akan lebih murah – sesekali mari mengapresiasi keunggulan pasar bebas, untuk urusan harga ini.
Pengusaha atau pelaku usaha juga tentu gak bisa selalu didemonisasi (dilebih-lebihkan sampai tampak dan selalu buruk luar biasa). Di ujung ancaman resesi, mereka berjuang supaya arus kas perusahaan gak ambyar, mikir ulang model bisnis supaya karyawan tetap bisa masuk kerja dan dapat gaji/upah. Sekali proses binis terutama produksi berhenti – ancaman PHK dan ketersediaan barang yang dibutuhkan masyarakat ndak terpenuhi.
Sedangkan masyarakat kecil yang menyambung hidup dari sektor informal, termasuk pelaku UMKM yang merupakan limapuluh persen lebih dari total tenaga kerja kita, mereka musti setiap hari keluar rumah, di jalan-jalan, di pusat keramaian dan berbagai tempat lain (misalnya menjaga lapak atau kedai kopi), musti terus mencari recehan untuk menyambung hidup. Mereka gak punya fasilitas/privilese untuk kerja dari rumah (WFH), beda dengan pekerja kantoran dan PNS. Berdasar survei kerjasama UI, LIPI dan Kemenakertrans dalam Kuncoro (Kompas, 2020) kelompok pelaku usaha mandiri ini 40 persen berhenti usahanya sebab pandemi, sementara 52 persennya mengalami penurunan pendapatan signifikan. Guna memenuhi nafkah sehari-hari, mereka harus beralih kerja serabutan dan diperkirakan akan bertahan setidaknya dua bulan jika terus bekerja dengan pola yang sama. Jumlah mereka tidak main-main, ada 26 juta pelaku usaha mandiri dan 10 juta darinya berhenti bekerja sebab pandemi.
Pandemi ini tentu kita tahu tidak hanya memukul aspek kesehatan, namun berbagai dimensi. Yang lebih penting dari berbagai perilaku menyebar misinformasi, menuduh satu sama lain antar pihak, atau mempercayai konspirasi – mari terus memupuk rasa saling memahami sebagai satu bangsa, sebagai satu warga dunia dan percaya ilmu pengetahuan dari ahlinya.
We’re in this together (WITT), kita ada dalam situasi ini bersama-sama. Segala upaya untuk menyelesaikan krisis – entah tenaga medis yang berjuang di rumah sakit dan tempat isolasi atau masyarakat kecil yang berjuang hidup sehari-hari secara mandiri, untuk tetap bisa belanja kebutuhan pokok, juga saintis dan perusahaan farmasi yang berjuang menemukan dan memproduksi vaksin adalah pahlawan. Memicu keributan ‘sak karepe dhewe’, membuat gaduh serta menuduh pihak lain “meremehkan atau tidak ikut berjuang” tentu gak akan merubah apapun dan hanya berujung kebencian, kecemburuan. Tentu kecuali guna proses edukasi dan sosialisasi perilaku serta prosedur-prosedur penanganan yang ilmiah.
Tapi, apapun itu, harus terus bahagia. #HidupWajibBahagia