Awal abad 21, dunia ekonomi kita masih sedang seru-serunya dihapkan pada pergulatan wacana-fenomena penerapan sistem ekonomi neo-liberal. Misalnya ditandai dengan adanya kerjasama perdagangan bebas dalam bingkai China-Asean Free Trade Area (CAFTA), Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) dan sebagainya.

Maka mulailah kita dikhawatirkan oleh potensi mati dan tergesernya keberadaan pasar tradisional oleh ritel modern.

Kemunculan dan tumbuh kembangnya department store serta seupermarket memunculkan efek inofasi disruptif (disruptive innovasion) pada keberadaan pasar-pasar tradisional yang didominasi sektor UMKM.

Inovasi disruptif adalah konsep hadirnya suatu hal baru yang membantu menciptakan pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya menggantikan pasar tradisional tersebut.

Pada dekade pertama abad 21 itu juga, konsumen mulai beralih belanja di pasar/ritel modern (dikelola secara modern) sebab beberapa alasan: rasa gengsi, bebas memilih barang yang ingin dibeli, rasa aman dan nyaman sebab bersih dan sejuk, keinginan menadapatkan harga pasti (fixed price), dan perbedaan harga yang tidak terlalu mencolok. (Malano, 81: 2011)

Belum lagi ditambah pelayan yang ramah dan berpakaian rapi ~~juga cantik-cantik dan tampan tentu saja~~ juga ritel modern tahu betul bagaimana menempatkan prinsip ‘pelanggan adalah raja’ dengan berbagai pelayanannya.

Yang lebih membahayakan pada dekade tersebut, menurut Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) adalah masuknya minimarket bernama Alfamart dan Indomaret di pelosok-pelosok desa. Potensi kematian ekonomi kerakyatan dalam pasar tradisional dan warung-kelontong terdekat semakin nyata. (Malano, 83: 2011).

Mulailah ramai usaha penyelamatan pasar tradisional dengan cara renovasi dan revitalisasi, dengan tujuan menjaga supaya pasar tradisional yang terkesan kumuh dan kotor tidak kalah bersaing dengan ritel modern.

Beberapa kasus proses renovasi ini menyebabkan penggusuran paksa dan konflik, sebab perundingan menguntungkan sebelah pihak (terutama investor). Masalah yang sering muncul biasanya setelah renovasi harga kios jadi makin mahal dan tidak terkendali bagi modal pedagang kecil.

Tentu secara politik diiringi dengan beberapa mark up proyek untuk tipis-tipis dikorupsi, mencari simpati warga pasar (yang tidak terlalu kritis perihal politik) guna kepentingan  golongan tertentu dan sebagainya. Khas.

Pada dekade kedua di abad 21, ekonomi kita dipertontonkan fenomena mulai melemahnya posisi ritel modern menghadapi persaingan dengan e-commerce (online).

‘Bulan madu’ kemenangan department store dan supermarket dalam menggeser pasar tradisional mulai melambat dan tentu saja melemah.

Beberapa ritel kenamaan seperti Roxi, Glodok, Matahari, Ramayana, Lotus mulai sepi pengunjung, bahkan beberapa tutup. Tutupnya berbagai ritel kenamaan tersebut seiring dinobatkannya Jeff Bezos, pemilik Amazon.com (salah satu pasar e-commerce terbesar) sebagai orang terkaya di dunia oleh Majalah Forbes pada Oktober 2017.

Begitu pula yang diamati langsung oleh penulis ketika beberapa waktu lalu mengunjungi salah satu supermarket kenamaan di Kota Kediri, Sri Ratu. Beberapa bagian mall terutama di fashion sudah tidak lagi memajang dagangan.

Sebelumnya di Kediri juga, Dhoho Plaza telah lebih dulu tutup dan menyisakan bangunan tidak terpakai di samping Alun-Alun Kota Kediri.

Begitulah hidup, kadang diatas kadang dibawah. Hehehe. Setelah memangsa pasar tradisional, keberadaan ritel modern hamir sempurna dimangsa predator baru bernama e-commerce.

Pergeseran (shifting) dari perilaku belanja langsung menjadi serba online meskipun cukup berpengaruh pada melemahnya keberadaan ritel modern, pelemahan tersebut juga sebab beberapa faktor lain. Menurut Yuswohady (2017) pelamahan tersebut juga sebab:

“konsumsi mereka dari yang awalnya didominasi oleh makanan-minuman menjadi hiburan dan leisure. Ketika semakin kaya (dan berpendidikan) pola konsumsi mereka juga mulai bergeser dari “goods-based consumption” (barang tahan lama) menjadi “experience-based consumption” (pengalaman). Experience-based consumption ini antara lain: liburan, menginap di hotel, makan dan nongkrong di kafe/resto, nonton film/konser musik, karaoke, nge-gym, wellness, dan lain-lain.”

Lebih lanjut, studi Nielsen (2015) menunjukkan bahwa milenial yang merupakan konsumen dominan di Indonesia saat ini (mencapai 46%) lebih royal menghabiskan duitnya untuk kebutuhan yang bersifat lifestyle dan experience seperti: makan di luar rumah, nonton bioskop, rekreasi, juga perawatan tubuh, muka, dan rambut.

Menyikapi kondisi tersebut, terobosan pasar kedepan ditampilkan, beberapa diantaranya:

Pertama, oleh Transmart Bisnis milik PT. Trans Retail Indonesia dari sebelumnya PT. Carrefour Indonesia. Ritel modern ini menghadirkan konsep one stop Shopping yang telah memiliki area khusus untuk mom & baby, Electronic pro, fashion, home living, fresh, bread shop dan juga area groceries.

Dari gerai tersebut terdapat 4 gerai Transmart dengan konsep yang lebih Premium dan lifestyle dimana konsep tersebut digabung dengan area entertain yaitu arena bermain keluarga kid city-“Mini Trans Studio”. ( dari http://www.carrefour.co.id, diakses 6 Feb 2018)

Ini yang coba dikeruk pasarnya oleh Transmart, perpaduan belanja, hiburan dan leisure. Contoh lain yang juga masih positif tumbuh adalah Gandaria City (+20%), Kasablanka Mall (+18%), Summarecon Mall Serpong (+14%). (Yuswohady, dkk. 2017)

Kedua, sebuah terobosan yang lebih maju ditampilkan oleh Amazon.com, sebuah toko mereka diuji cobakan Seattle, USA. Dikutip dari lama Facebook Now This Money, Amazon.com mencoba memadukan ritel modern dengan e-commerce.

Kedepannya dengan kehadiran konsep toko ini, pelanggan tinggal melakukan scan ketika masuk ke toko, mengambil produk yang ingin di beli, memasukkan kedalam tas yang sudah disediakan kemudian meninggalkan toko. Tagihan yang perlu dibayar akan diproses melalui kartu kredit, diberitahukan melalu smartphone.

Semacam minimarket, minus antrian di kasir untuk pembayaran. Tentu konsep toko ini dilengkapi system kamera, sensor dan algoritma terntu yanag bisa mendeteksi ketika anda mengambil barang dari dalamnya, dan mencatat semuanya dalam troli belanja virtual. Konsep ini diberi nama: ‘Just Walk Out Technology’.

Perubahan berganti cukup cepat, perlu adaptasi. Atau kalau pengen santai, ya santai saja. Lha wong hidup-hidup kita sendiri (siapa elo, siapa gue ~~~ ngapain loe nyuruh-nyuruh?).

Tapi bagaimanapun, sebagaimana slogan kampanye salah satu calon kepala daerah di Jawa Timur, ketika sudah datang wakunya a.k.a wes wayahe perubahan datang, maka dia tidak perlu lama-lama meminta restu. Cukup datang dengan sendirinya.