Seseorang duduk tenang di sebuah kursi, membuka laptop hitam yang tergeletak di atas meja dan menyalakannya. Setelah beberapa saat menunggu pemuatan, dia mengaktifkan internet untuk mulai bekerja dan berselancar di dunia maya.
Beberapa media sosial dibukanya, dan di grup-grup yang ada di sana sedang begitu hangat-hangatnya membahas tentang dinamika politik tanah air yang tahun depan akan menyelenggarakan hajatan besar, yaitu pemilihan umum, mulai dari memilih wakil rakyat atau anggota dewan yang akan duduk di kursi DPR –daerah tingkat II sampai pusat− hingga pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dan, tentu saja yang paling hangat dibicarakan adalah tentang pemilihan presiden dan wakil presiden. Bahkan mungkin di sebagian orang tertentu trending topic ini sudah tidak lagi hangat, namun sudah menjurus kepada sesuatu yang panas, sesuatu yang akan terbakar dan membakar.
Semakin mendekati pelaksanaan, kobaran api akan senantiasa dijaga oleh para pendukung pasangan calon yang tengah berlaga dalam sebuah perhelatan, tak terkecuali dalam pilpres. Tujuannya adalah untuk menarik hati para calon pemilih dengan cara mencitrakan positif pasangan calon yang didukung, dan hampir selalu menegatifkan citra pasangan calon yang menjadi lawan dari yang mereka dukung.
Dan, untuk urusan pencitraan ini, di jaman teknologi komunikasi dan informasi ini, penggunaan media sosial dalam jejaring mutlak dijadikan sebuah senjata dan sarana ampuh demi kelancaran mencapai tujuan yang dikatakan sebagai tujuan mulia tersebut.
Lantas apa yang terjadi kini? Orang awan yang duduk tenang di kursi itu tadi tahu bahwa dia tengah berada di dalam sebuah kebimbangan. Manakah yang lebih baik di antara kedua pasangan calon itu? Setiap hari dia selalu disuguhkan berita-berita: sebuah fakta yang sama, namun disajikan dengan sudut pandang serta arah narasi yang berbeda.
Lama-kelamaan, dia merasakan kemungkinan adanya sebuah benturan yang disengaja, yang diolah sedemikian rupa sehingga mengaburkan sebuah kebenaran hingga hanya menjadi apa yang sekedar disukai, atau sekedar isapan jempol yang mendapatkan klik demi klik.
Dia benar-benar bimbang untuk mengarahkan jempolnya kepada siapa. Setiap pasangan calon selalu memiliki narasi mereka masing-masing. Tentu saja pasangan calon yang berposisi petahana membentuk citra positif mereka dengan narasi-narasi yang menceritakan tentang kesuksesan program-program, terutama program pembangunan infrastruktur yang telah diwujudkannya. Dan bicara tentang dampak dari sebuah program, di sana selalu ada dampak positif dan negatif dari sebuah usaha.
Tentu saja, strategi pencitraan, seperti halnya dalam berdagang, selalu membesarkan aspek-aspek positif untuk menarik pelanggan, dalam konteks pemilihan umum, yaitu calon pemilih. Sedangkan aspek-aspek negatif, di era keterbukaan ini akan ditutupi dengan cara menyamarkannya melalui narasi-deskripsi-eksplanasi-argumentasi wacana dengan sebuah sudut pandang yang akan mampu menarik sudut-sudut pandang yang lain untuk mengikuti ketersudutan itu.
Dan hal ini berlaku juga untuk pasangan calon yang berposisi sebagai penantang. Hanya saja mereka mencitrakan diri secara positif dengan cara menampilkan diri sebagai seorang juru selamat yang revolusioner, yang akan mengubah dan membawa nasib bangsa ini ke arah yang diharapkan akan lebih baik.
Keadaan yang sekarang akan ditandai dengan sebuah ukuran: sudah sangat baik, namun di tangan mereka akan menjadi lebih baik lagi; sangat buruk dan di bawah tangan dingin mereka sajalah keadaan buruk ini dapat dijungkirkan, entah itu nanti dengan program-program yang akan dijalankan dengan penuh kesungguhan atau dijungkirkan di dalam pikiran orang awam dengan narasi-narasi pencitraan.
Positif selalu dapat dinegatifkan dan negatif selalu ada cara untuk dijadikan positif. Ini adalah sebuah permainan narasi, atau sebuah permainan wacana yang meskipun dengan sangat perlahan mampu mengarahkan dan mengubah suatu keadaan sesuai dengan yang diinginkan oleh sang narator. Lalu bagaimanakah dengan narasi kita, orang-orang biasa, orang-orang awam yang sesungguhnya di sana tersembunyi sebuah kekuatan luar biasa? Apakah para kita harus selalu tunduk pada narasi-narasi besar yang belum tentu adalah sebenarnya kita?
Pertanyaan-pertanyaan itu mulai memunculkan sebuah kegelisahan di dalam benak seorang yang duduk tenang di atas kursi tadi. Ada sebuah ketidakbijaksanaan di dalam dirinya ketika dia menyadari bahwa dia terlalu larut ke dalam euforia-euforia narasi tentang pemilihan umum. Dia sendiri mulai menanyakan kepada dirinya sendiri kenapa dia bisa sampai larut mengikuti narasi besar tentang pilpres. Apakah pemilihan umum hanya pilihan presiden saja?
Bagaimana dengan pileg? Di manakah para caleg atau calon wakil rakyat yang secara kasat mata lebih dapat dijangkau dengan tangan-tangan kita? Di manakah mereka berada di antara narasi-narasi besar yang secara tak nampak berusaha menegakkan kembali feodalisme kuasa? Di manakah sejatinya mereka?
***
Para caleg bermain secara sembunyi-sembunyi. Banyak dari mereka masih percaya bahwa rakyat sebagai calon pemilih bisa dibujuk dengan suapan beberapa rupiah ke dalam kantong bolong mereka. Padahal rakyat sekarang sudah banyak yang cerdas. Bisa saja mereka hanya menerima suapan itu secara kasat mata, namun di dalam hatinya telah menyembunyikan sebuah pilihan yang paling sesuai dengan kehendak mereka.
Banyak dari rakyat telah mengetahui bahwa caleg yang demikian hanyalah caleg abal-abal, yaitu orang-orang cerdas yang hanya berjualan visi-misi dan tidak memiliki dedikasi ataupun pengalaman dalam membangun negeri. Mereka adalah sosok pedagang musiman yang tengah menyamar menjadi sosok negarawan, memanfaatkan dana yang mereka miliki sebagai modal investasi, bukan sekedar untuk dana operasional kampanye, tapi juga dana untuk menyuap para calon pemilih. Tentu, karena dana tersebut adalah modal investasi, ada harapan di dalam benak caleg abal-abal tersebut agar dana tersebut kembali ditambah dengan keuntungan atau profit yang bisa didapatkan dengan cara korupsi.
Caleg abal-abal yang lain adalah orang-orang baru yang sebenarnya tidak memiliki visi dan misi untuk membangun negeri. Mereka adalah para bau kencur yang dimanfaatkan oleh para caleg pedagang untuk memecah suara. Orang-orang ini akan dipusatkan perhatiannya pada wilayah-wilayah yang merupakan basis saingan si caleg pedagang.
Sementara, suapan yang dilakukan di basisnya sendiri diharapkan mampu mendulang banyak suara, strategi pemecahan tadi diharapkan mampu mengurangi suara-suara yang menjadi saingan. Dengan demikian, sebab pemilu ini berdasarkan suara terbanyak –meski yang terbanyak belum tentu yang terbaik−, maka peluang untuk menang akan semakin lebar.
Dan, caleg abal-abal tersebut tersebar merata. Namun, demikian tentu tetap saja ada caleg yang tidak abal-abal atau yang boleh dikatakan sebagai caleg sejati. Caleg sejati ini adalah orang-orang yang telah membangun citra diri positif mereka secara jujur dan melalui proses jatuh bangun selama bertahun-tahun.
Mereka haruslah orang-orang yang telah lama bergelut pada bidang-bidang tertentu di mana bidang yang digeluti tersebut memiliki manfaat bagi kehidupan banyak orang. Mereka adalah seorang aktifis yang rajin terjun untuk mendengar, mengetahui atau bahkan merasakan secara langsung keluh kesah kehidupan rakyat.
Mereka haruslah orang-orang yang gemar menggerakkan dan membangun narasi kerakyatan berdasarkan sudut pandang yang tidak tercemari oleh kepentingan para elit. Mereka haruslah antitesa dari narasi-narasi terselubung yang mencoba mengeruk seluruh kekayaan yang tersimpan di dalam jantung dan urat nadi bangsa dan negeri ini. Mereka haruslah perpanjangan tangan yang ilahi.
***
Seorang yang duduk tenang di atas kursi itu kini duduk di kursi yang berbeda. Di hadapannya ada sebuah meja di mana sebuah pena telah siap untuk menari-nari, mencoretkan untaian kata-kata puisi, berlegislasi, bernarasi untuk mengungkapkan unek-unek rakyat jelata yang mendambakan sebuah kedamaian yang hakiki.