Kondisi persaingan usaha komoditas yang semakin ketat, memaksa perusahaan dan ritel komoditas untuk terus mengelola setiap merek yang dimiliki, supaya konsumen menjadi loyal terhadap merek produk-produk mereka.

Tanpa merek yang kuat, perusahaan akan berkutat pada persaingan harga, seperti yang terjadi pada komoditi lain (gula curah, minyak goreng curah, beras curah).

Komoditas apapun harus diarahkan supaya memiliki keunggulan dari segi pemasaran, dan memunculkan loyalitas pada merek.

Kertajaya (2003) mengemukakan, loyalitas terhadap merek memicu konsumen melakukan repeat buying atau pembelian ulang dan kemudian mereka berpotensi menjadi brand ambassador, yakni mereferensikan produk tersebut pada orang lain.

Era monopoli sudah berakhir lama, era persaingan ketat sudah datang.

Loyalitas merek menjadi  sangat penting untuk diperhatikan oleh seluruh pabrik penghasil komidtas di Indonesia jika mau survive ke depannya.

Setiap perusahaan komoditas yang tidak memperhatikan efek loyalitas merek terhadap minat pembelian akan terjebak dalam perang harga dan lama kelamaan produk mereka akan tergerus dari pasaran.

Beberapa contoh produk komoditas yang mengelola mereknya dengan bagus adalah Segitga Biru di antara persaingan komoditas terigu, merek Aqua di antara persaingan air mineral dan merek Bimoli di antara komoditas minyak goreng.

Berikut beberapa faktor yang berdasarkan penelitian mampu menjaga loyalitas merek dari produk komoditas:

 Nilai Fungsional

Dilihat dari sudut pandang fungsional, setiap orang yang membeli sesuatu pasti bertujuan untuk memperoleh barang atau produk yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhannya.

Pada nilai fungsional ini konsumen lebih mempertimbangkan fungsi seperti harga, kualitas, pilihan kategori produk yang banyak sehingga dapat menemukan produk yang dibutuhkan.

Hal yang sama juga berlaku pada informasi produk, lay out atau penataan barang yang diharapkan memudahkan pencarian sehingga tidak membuang waktu.

Lokasi yang mudah dijangkau juga perlu karena biaya dan tenaga menuju lokasi akan diperhitungkan secara ekonomis.

Keamanan dan kenyamanan selama berbelanja, dan fasilitas yang tersedia seperti fasilitas parkir atau tempat istirahat dibutuhkan untuk menjamin dari risiko (O’Malley. 1998: dan Hammond, 2007:279).

Dari definisi tersebut, terlihat ada kaitan erat antara nilai fungsional suatu merek produk dengan loyalitas merek.

Pada dasarnya manusia makhluk yang rasional dan berusaha memaksimalkan utilitas atau kegunaan produk atau jasa.Pelanggan seperti itu membeli produk berdasarkan kriteria obyektif produk atau jasa (Sciffman and Kanuk, 2004:376).

Nilai fungsional dapat dilihat sebagai faktor kunci yang mempengaruhi pilihan konsumen pada suatu merek.Nilai fungsional tersusun dari dari atribut seperti reliability dan durability. Tingginya nilai fungsional akan menghasilkan loyalitas merek yang tinggi pula (Punniyamoorthy et al., 2007).

Nilai Emosional

Keputusan pembelian konsumen dapat dipengaruhi oleh factor nilai emosional seperti persahabatan, martabat, hak dan simbol status. Seringkali nilai emosional menjadi lebih penting  daripada pertimbangan rasional.

Nilai emosional adalah motivasi pembelian yang terkait dengan perasaan atau emosi individu, ungkapan rasa cinta, kebanggaan, kenyamanan, kesehatan, keamanan, dan kepraktisan (Violitta dan Hartanti, 1996; Fisardo dkk,1998).

Beberapa faktor yang termasuk dalam nilai emosi adalah keamanan, kenyamanan, ego, kebanggaan, rekreasi, persaingan, kesehatan, kepraktisan, dan lain-lain (Huey, 1991).

Schiffman & Kanuk (2004) menyatakan istilah emosional digunakan pada saat pilihan pembelian ditentukan berdasarkan kriteria selektif yang subyektif.

Loyalitas merek akan terbentuk ketika ada nilai emosional yang terbentuk pada saat konsumen membeli suatu produk. Loyalitas merek mencerminkan komitmen pelanggan dalam hubungan  jangka pangan pada suatu merek (Reichheld, 1996).

Didalamnya terkandung atribut atau nilai emosional yang terdiri dari rasa terhubung, rasa sayang, dan kegemaran pada suatu merek (Thomson et al., 2005).

Rasa suka secara emosional disokong oleh tiga kekuatan utama, yakni hubungan pribadi antara pelanggan dengan merek tersebut, merasakan kehangatan ketika menggunakan merek tersebut, dan memiliki rasa sangat suka pada merek tersebut(Thomson et al., 2005).

Apabila konsumen semakin terlekat secara emosional pada suatu merek mereka akan makin suka untuk menjaga hubungan yang dekat dengan merek tersebut.

Hal tersebut disebabkan oleh keberadaan obyek tambahan seperti rasa nyaman, kebahagian, dan keamanan (Park et al., 2010).

Konsumen dengan tambahan nilai emosional yang tinggi pada suatu merek akan bersedia membuat komitmen hubungan jangka panjang dengan suatu merek atau dengan kata lain konsumen akan semakin loyal pada suatu merek.

Kelayakan Harga

Penelitian dari Voss , G . B . , Parasuraman , A . and Grewal , D . (1998), menjelaskan bahwa persepsi konsumen terhadap harga berpengaruh besar terhadap loyalitas dan kepuasan pelanggan.

Lebih lanjut, Voss juga meneliti, ketika hendak melakukan pembelian (Pre-purchase) konsumen mempersepsikan harga suatu produk menjadi tiga jenis, yakni :

  • Harga yang wajar
  • Harga mahal
  • Senang/Puas dengan harga

Setelah melakukan pembelian (post-purchase) konsumen mempersepsikan harga suatu produk menjadi tiga jenis, yakni :

  • Harga yang wajar
  • Harga memuaskan
  • Harga terlalu mahal (Rip-off/ Overcharged)

Faktor kelayakan harga adalah kondisi dimana nilai suatu produk yang dibeli lebih tinggi dari harga yang dibayarkan (seringkali disebut value for money).

Semakin tingginya level price worthiness akan meningkatkan loyalitas merek (Punniyamoorthy &Raj, 2007:225).

Hubungan yang positif terjadi antara loyalitas merek dan perceived value sebuah merek brand (Sanyal & Datta, 2011:609).

Perceived value dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori : nilai fungsional, nilai emosional, kelayakan harga (price-worthiness), dan nilai social (Punniyamoorthy & Raj, 2007; Moolla, 2010).

Komitmen

Dalam penelitiannya, Arnold et al., (2004) menjelaskan, komitmen adalah keinginan untuk membuat sebuah hubungan yang bernilai tetap bertahan selama mungkin.

Ketika lebih banyak orang yang berdedikasi kepada sebuah kelompok dan memberi nilai pada keanggotaannya, semakin termotivasi mereka dalam mengikuti kelompok tersebut, itulah yang disebut komitmen (Solomon, 2006).

Dwyer & Oh (1987) mengartikan komitmen dalam hubungan konsumen dan produsen sebagai suatu eksistensi dari janji secara implisit atau eksplisit dari kelanjutan hubungan antar patner.

Komitmen adalah suatu ikatan psikologis yang terjadi di antara pelanggan, loyalitas, dan keprihatinan terhadap kesejahteraan di masa yang akan datang dan identifikasi dan kebanggaan memiliki asosiasi dengan organisasi (Garbarino & Johnson, 1999).

Hubungan antara komitmen konsumen dengan sebuah merek merupakan unsur yang sangat penting untuk menciptakan loyalitas merek (Amine, 1998; Knox & Walker, 2001; Jang et al., 2008; Kim et al.,2008).

Komitmen merek menjelaskan kekuatan hubungan atau sikap antara konsumen dengan merek yang mengarah kepada loyalitas merek, lebih dari sekedar membeli kembali suatu merek karena kebiasaan (Amine, 1998:309).

Komitmen dapat terbentuk dari dua alasan, yakni alasan afektif dan kognitif yang dialami oleh konsumen terhadap suatu merek (Amine,1998:309; Fullerton, 2005:99).

Komitmen afektif dapat didefinisikan sebagai derajat keinginan konsumen untuk menjaga hubungan dengan suatu merek yang disebabkan oleh hubungan afektif.

Hubungan afektif ini tidak berdasarkan pada fitur produk, namun lebih kepada afeksi (perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai) yang dimiliki konsumen terhadap suatu merek.Hal tersebut menurunkan ketertarikan konsumen untuk berpindah ke merek lain (Amine, 1998:310).

Komitmen afektif adalah pusat hubungan antara konsumen dengan merek yang terbentuk dari tingginya keterlibatan konsumen dengan suatu merek.

Komitmen afektif dapat juga dideskripsikan sebagai proses menjadi loyal pada suatu merek, dimana konsumen adalah pembeli rutin suatu merek dan memiliki sikap suka terhadap suatu merek (Louis &Lombart, 2010:118).

Sumber: Angga Teja Kusuma, Harry Soesanto, Sutopo. Jurnal Magister Manajemen Universitas Diponegoro.