Reporter: M. Luthfi  Hamdani

Lahan sawah di kota Malang semakin sempit. Hal ini sebab banyak lahan sawah dialih fungsikan menjadi area perumahan dan industri. Termasuk yang terjadi di persawahan Kelurahan Mojolangu, kecamatan Lowokwaru. Sepanjang jalan terusan Ikan Tombro berjajar kedai kopi, kafe, lapangan futsal hingga perumahan. Semua berdiri di lahan yang beberapa tahun lalu adalah area persawahan.

Salah seorang petani, Jodi Darso Utomo (42) menuturkan bahwa saat ini bertani tidak terlalu menguntungkan. Ia mengeluhkan sulitnya akses memperoleh pupuk yang mengharuskan bergabung ke kelompok tani. Jika tidak, maka pupuk bisa diperoleh dengan  harga lebih mahal atau tidak dapat sama sekali. Selain itu, pendapatan yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya menggarap sawah.

Pria yang akrab disapa Nono ini memperkirakan, keuntungan  kotor dari menggarap lahan seluas satu hektar adalah 20-an juta. Setelah dikurangi berbagai biaya produksi, kurang lebih ia mengantongi keuntungan delapan sampai sepuluh juta rupiah. “Kalau untuk biaya hidup empat bulan sampai panen berikutnya, tentu sangat kurang. Itulah kenapa banyak petani yang menjual lahan sawahnya atau dipakai usaha lain,” ujaranya.

Lebih lanjut, Nono menuturkan dengan adanya kafe dan lapangan futsal, warga sekitar bisa memperoleh keuntungan dengan menjadi juru parkir dan karyawan. Sedangkan menurutnya, produksi pangan bisa dilakukan di daerah lain selain kota Malang, yang masih memiliki lahan luas.

Dihubungi secara terpisah, Muhammad Izuddin (25), koordinator wilayah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Jawa Timur menyayangakan tren alih fungsi lahan di kota Malang. Menurut Izuddin, pemerintah kota Malang harus ikut andil mempertahankan lahan pertanian produktif.

“Pertanian bukan hanya berkaitan dengan ekonomi, tapi juga untuk menjaga keseimbangan ekologis. Pemkot perlu mempertegas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) supaya lahan pertanian tidak lagi berkurang,” ujar pria berkacamata ini.