Dalam sebuah artikel ekonomi-politik yang ditulis Erani Yustika (2015), ‘Waras dan Beras’ dianggap jadi benteng terakhir bagi masyarakat untuk tetap percaya pada pemerintah dan tetap tenang ditengah situasi (elit) politik yang gaduh dan berisik.

Waras atau sehat jasmani jadi modal utama untuk bekerja, sebab tanpa instrumen ini masyarakat gak bisa punya penghasilan. Efeknya, bisa menyebabkan terperosok pada kemiskinan. Sementara beras melambangkan kecukupan kebutuhan pokok.

Dimana sebagian besar konsumsi masyarakat kita dihabiskan untuk pangan. Kelaparan dan ketidakmampuan ekonomi (miskin) akan jadi akar dari berbagai konflik, kriminalitas dan bahkan pemberontakan.

Dalam kondisi terkini, supaya elemen ‘waras’ tetap terjaga, (sebagai contoh) pemerintah harus kerja keras menutup defisit anggaran BPJS, dengan berbagai dana talangan. Defisit bukan cuma terjadi tahun ini, tapi sejak pertama kali lembaga ini beroperasi pada Januari 2014. Besaran premi (yang rendah dibanding asuransi swasta) ditengarai jadi penyebab utama; di BPJS hanya 25-80 ribu, asuransi swasta bisa sampai ratusan ribu perbulan.

Sementara elemen beras ‘dijaga’ dengan impor beras. Sebab dirasa stok selalu menurun dan tidak mencukupi. Dari data BPS, Indonesia tidak pernah absen impor beras sejak tahun 2000-2018. Mengecualikan tahun 2016 dan 2017.

Walaupun impor beras juga akrab dikaitkan dengan perburuan rente, atau selisih harga. Guna kepentingan finansial importir sampai partai politik. Pun dengan tetap menjaga inflasi harga kebutuhan pokok supaya tetap rendah.

Jadi kalau kemarin ada elit politik mengaku tertipu pasien operasi plastik, kejadian itu cenderung cuma jadi guyonan. Selama perut kenyang dan sehat jasmani, kita bakal tenang, tidak grusa-grusu, terjebak sentimen dan serampangan menyerang segala penjuru.