Tulisan tentang wabah COVID-19 coba saya uraikan dalam tiga bagian; penyakit psikosomatis, menjaga ekonomi dan kondisi the new normal. Saya mulai masing-masing dengan cerita pendek:
Kesehatan Psikis dan Penyakit Psikosomatis
Kurang lebih dua bulan yang lalu saya terpaksa berobat tengah malam di rumah sakit Unisma. Badan saya normal, hanya saja kepala terasa agak berat dan detak jantung terasa tidak beraturan. Khawatir terkena penyakit parah, saya terpaksa ke rumah sakit. Dokter bilang tensi darah saya sangat tinggi, sambil ia berikan resep obat untuk penenang detak jantung. Tanpa memberi tahu apa yang saya alami, hanya disarankan untuk istirahat dan kalau ada gejala yang lebih parah disarankan periksa ke poli penyakit dalam.
Hari sabtu dan minggu saya istirahat total. Hari senin detak jantung sudah normal, saya bahkan kembali beraktifitas normal melakukan liputan berita di daerah Batu sampai hari jumat. Hari Jumat sore, setelah bertemu seorang teman lama di warung kopi, saya mulai kembali merasakan migraine dan detak jantung yang tidak beraturan juga keras. Singkat cerita, saya memilih pulang ke Trenggalek coba berobat ke dokter “langganan” zaman kecil dulu.
Dengan gejala sama yang saya sampaikan ke dokter di rumah sakit Unisma, bu dokter hanya mengukur tensi darah dan memberikan resep obat. Dalam hati saya bilang: “Wah, dokter ini meremehkan.”
Selanjutnya saya tanya serius, “Jantung saya normal kan dok?”
“Normal, cuma endurance atau ketahanannya lagi lemah. Sering-sering dipakai olahraga ringan, misalnya memakai treadmill atau bersepeda.” Jawabnya ringan.
Saya bilang lagi: “Beberapa hari terakhir saya sempat merasa sesak napas, apa bukan gejala sakit jantung.”
“Kalau disertai sendawa seperti yang kamu bilang tadi, itu indikasi pengaruh asam lambung. Bisa jadi sebab kecemasan yang berlebih. Sudah olahraga saja, jaga pola makan teratur, kurangi mengkonsumsi informasi yang membuat kamu cemas.”
Saya lumayan lega. Pasca melakukan anjuran dokter tadi termasuk melakukan uninstall semua akun media sosial selama kurang lebih lima hari, kondisi saya pulih. Kejadian di dua dokter tadi selalu saya tertawakan diam-diam kalau teringat. Tapi saya juga banyak belajar.
Pelajaran pertama, selain kelelahan sebab wira-wiri Semarang-Trenggalek lalu Trenggalek-Malang, yang sebagian besar saya lewati dengan naik sepeda motor matic, sejak Januari saya mengikuti betul peristiwa merebaknya wabah corona di Wuhan lewat Twitter. Sejak masih sangat awal, sampai virus ini masuk ke berbagai negara. Tanpa saya sadari, ketakutan akan penyebaran global wabah ini mengendap dalam memori saya, lalu puncaknya menimbulkan beragam gejala penyakit psikosomatis tadi.
Dalam proses penyembuhan tadi, saya membaca ulang buku Fritjof Capra berjudul “Titik Balik Peradaban”. Ini buku keren tentang beragam kemunduran yang ‘potensial’ menghantam peradaban modern. Capra mengulas mulai dari fisika, energi, ekonomi sampai kesehatan. Selama ini saya cuma fokus pada bab “Kebuntuan Ilmu Ekonomi” dan mengagumi beragam kritik Capra pada pandangan umum makro ekonomi dari berbagai tokoh, mulai Keynes sampai Marx.
Pada bab “Keutuhan dan Kesehatan” (h.372). Capra coba menawarkan ulang pendekatan holistik dalam kesehatan dan penyembuhan. Ia kurang cocok dengan gaya reduksionis ala Descartes dalam dunia kedokteran modern. .
Capra percaya bahwa tubuh adalah satu kesatuan utuh: jiwa dan fisik, jaringan otot, jaringan saraf dsb. Maka penyakit harus dipandang secara holistik pula, penyakit ialah satu ketidakseimbangan di tubuh. Maka untuk penyembuhannya musti menyeluruh. Salah satu yang coba ditawarkan ulang oleh Chapra dari pemahaman ini adalah tentang sikap mental positif. Capra sadar bahwa stres, panik berlebih, ketakutan dan perasaan tidak berdaya jadi faktor yang diketahui secara ilmiah memperlambat bahkan menghambat proses penyembuhan. Beberapa menyebutnya kondisi psikosomatik. Salah satu contoh: sering rasa sakit anda berkurang pasca mendapat saran, harapan sembuh atau kata “terkendali” dari dokter. Semacam ini disebut terapeutik.
Dalam situasi akhir-akhir ini, penting memahami dan menanamkan sikap mental yang positif. Jangan sampai stres.!! Virus terbaru itu tentu belum ada vaksinnya, tapi banyak yang sembuh sebab sistem imunitas dalam tubuh pasien baik. Dan menurut Capra, stres adalah salah satu yang memperburuk kondisi imun. Beberapa cara yang ditawarakan chapra di antaranya sering lakukan relaksasi/meditasi, berlatih dan mengatur pernapasan, perbaiki nutrisi/makanan yang dikonsumsi. Konsumsi dan percayalah pada manfaat jamu-jamu herbal/alami, menjaga pola olahraga. Terakhir: Jangan pendam sendiri masalah yang bergemuruh di pikiranmu, cari orang yang bisa jadi tempat bicara, santai, atau dalam kondisi tertentu bisa konsultasikan ke psikiater.
Pelajaran kedua. Jangan melakukan diagnosa mandiri gejala penyakitmu lewat informasi yang berserakan di internet. Perilaku ini sering memperkeruh kondisi. Begitu banyak penyakit dengan symptom atau gejala sama. Salah-salah batuk biasa dan masuk angin dikira corona. Maag dikira sakit jantung. Dalam kondisi tertentu dan diperlukan, pergi saja ke dokter dan biarkan dokter yang menganalisa.
Akankah Ekonomi Kita Roboh?
Cerita kedua tentang seorang pedagang sayur di kompleks dusun saya. Sebut saja bernama yu Sri. Ia biasa berkeliling dengan sepeda yang bagian belakangnya dipasang keranjang kotak kiri-kanan berisi beragam sayuran sampai jajanan pasar. Keranjang ini familiar dengan istilah obrok dan profesi seperti yu Sri kami sebut bakul ethek.
Beberapa hari terakhir ia musti berkeliling dua kali untuk menawarkan sayur. Dagangannya sepi. Telaah saya, daya beli warga sedang rendah. Kebanyakan warga merupakan pekerja di sektor informal juga tengah terdampak dari pelemahan ekonomi. Sawah belum juga panen, tahun ini musim tanam mundur sampai akhir Februari bahkan awal Maret dari yang seharusnya dua bulan lebih awal. Dalam situasi yang tidak pasti, banyak orang memilih berhemat. Selain juga sebab mereka tidak punya banyak tabungan, pemasukan berkurang jauh.
Saya dan yu Sri tinggal di sebuah desa di Trenggalek. Daerah yang bisa disebut relatif aman dari penyebaran corona.Tapi pasar-pasar kini sepi, beragam kegiatan sosial-keagamaan dibatalkan dan orang-orang membatasi diri melakukan kegiatan di luar rumah. Efek ekonomi dari wabah virus corona tetap terasa. Di kota-kota besar seperti Jabodetabek, Surabaya Raya, Malang Raya, Bali dan sebagainya tentu dampak ekonomi dari corona lebih terasa.
Mari bicara data. Berdasar data Kementerian Tenaga Kerja, pada 16 April sudah 1,9 juta pekerja yang di-PHK oleh 114 ribu perusahaan. Sedangkan berdasar survei dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebut bahwa 77% warga mengaku pendapatan mereka terancam sebab covid-19. 25% dari jumlah tadi atau sekitar 50 juta warga dewasa menyatakan sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan pokok jika tidak mendapat pinjaman. Riset dari SMERU Research Institute juga menyebut bahwa dampak covid bisa merobohkan kemajuan yang telah diraih Indonesia dalam menghapus kemiskinan selama satu dekade terakhir.
Tapi mengutip Eko Listoyanto, direktur eksekutif INDEF, di koran Sindo (18 April), ekonomi kita tidak akan terpuruk seburuk krisis 1998. Pertumbuhan ekonomi tengah mentok di kisaran 2 persen. Tapi sejauh ini menurut Eko kondisi masyarakat masih kondusif, jadi krisis masih bisa dihindari. Saya ingat di salah satu tulisan Ahmad Erani Yustika (2015) bahwa ‘Waras dan Beras’ dianggap jadi benteng terakhir bagi masyarakat untuk tetap percaya pada pemerintah dan tetap tenang ditengah situasi (elit) politik yang gaduh dan berisik. Juga dalam kondisi ketidakpastian sebab wabah saat ini. Waras atau sehat jasmani jadi modal utama untuk bekerja, sebab tanpa instrumen ini masyarakat tidak bisa punya penghasilan. Efeknya, bisa menyebabkan terperosok pada kemiskinan. Sementara beras melambangkan kecukupan kebutuhan pokok.
Ini kondisi yang mengarah pada bahaya parah kalau tidak ada kepastian kapan selesai penanganan covid-19. Tentu setidaknya kita berusaha dan berharap tidak ada yang sampai mati kelaparan. Faktor ‘beras’ atau kebutuhan pokok sebagaimana yang disebut profesor Erani patut jadi perhatian penuh. Sejauh ini beragam langkah pemerintah memberikan bantuan sosial kepada penduduk miskin yang terdampak secara ekonomi sudah cukup bagus. Namun kedepan dengan tren PHK dan penurunan pendapatan, akan muncul penduduk rentan miskin yang perlu mendapat bantuan serupa. Beras atau kebutuhan pokok jadi faktor penting.
Pemerintah sejauh ini sudah sering menyampaikan bahwa stok pangan/beras kita cukup untuk beberapa bulan kedepan. Selain itu, dibutuhkan upaya sukarela dari masyarakat untuk turut serta saling membantu, saling menjaga kepada kelompok yang terdampak parah secara ekonomi. Beberapa berita yang menuliskan kasus-kasus warga mulai kesusahan bahan makanan atau terpaksa keluar dari rumah kos sebab tidak lagi punya tabungan harus menjadi perhatian khusus.
Dengan asumsi bahwa kebutuhan pokok adalah garda terakhir menjaga kondisi tetap kondusif, maka kedepan sejatuh apapun pertumbuhan ekonomi maka selama tidak banyak kasus orang-orang yang terpaksa meninggal sebab kelaparan, maka kondusifitas bisa terus terjaga sampai penanganan virus ini selesai. Sebab kelaparan bisa jadi sumbu bagi beragam kriminalitas, chaos, penjarahan dan saling bunuh.
Sambil berharap wabah segera selesai, banyak pelaku usaha mengajak untuk mengoptimalkan marketplace untuk menjaga kelangsungan hidup bisnis. Bisa juga dengan melayani pesan antar atau bawa pulang untuk industri food and beverages. Intinya semua sektor ekonomi terdampak, tinggal kebutuhan pokok/beras/makanan yang musti dijaga ketersediaan dan distribusinya selama beberapa waktu ke depan.
Menuju The New Normal
Meluasnya wabah COVID-19 memberikan banyak pelajaran bagi kita umat manusia. Seorang teman saya ahli biologi sintetis lulusan UGM bilang bahwa pasca wabah ini masyarakat akan lebih tertarik pada beragam jurusan seperti biologi, kedokteran, fisika dan sejenisnya. Beberapa hari lalu juga ramai di Twitter warganet mengolok jurusan seperti sastra, filsafat, agama dan sejenisnya yang tidak terlalu ‘dibutuhkan’ saat ini. Perubahan cara pandang ini tentu normal. Pada masa depan, bisa jadi kita akan lebih sering menghadapi wabah. Semua negara mulai berbenah diri dan faktor penting untuk lepas dari wabah ini adalah seberapa bagus sistem kesehatan, laboratorium dan sejenisnya.
Mengapa menuju the new normal? Ya, bisa jadi kehidupan tidak akan kembali sebegaimana semula, kita mau tidak mau akan masuk era ‘kenormalan baru’. Beberapa bulan yang akan datang walaupun sudah sedikit bebas, kita masih diharuskan menjaga jarak fisik dan sosial. Kita juga akan memiliki pandangan baru tentang kesehatan, konsumsi makanan dan ekonomi (misal Jepang yang mulai mengurangi ketergantungan pada produksi dari negara China atau banyak negara mulai berpikir memperbaiki sistem pertanian dan pangan masing-masing). Pembelajaran, belanja dan konferensi online mungkin akan lebih jamak dijumpai walaupun wabah ini telah selesai kemudian hari.
Beragam adaptasi di atas menurut Yuah Noval Harari penulis buku ‘Sapiens’ dan ‘Homo Deus’, akan menentukan sejauh mana kita sebagai manusia bertahan di masa-masa yang akan datang.
Sementara itu, seorang pakar pemasaran bernama Yuswohady menuliskan berbagai kondisi ‘the new normal’ dalam perilaku pelaku bisnis dan konsumen pasca wabah covid-19 ini. Ada tigapuluh kenormalan baru yang ditulis Yuswohady, di antaranya:
- The Fall of Mobility, the rise of stay at home
- Widening and deepening online shopping; dari keinginan menuju kebutuhan
- Peningkatan tren food delivery
- Masyarakat kembali memilih memasak di rumah (home cooking)
- Nonton TV akan jadi aktifitas yang kembali digemari
- Mencari keseimbangan kerja-hidup-bermain (work-live-play balance)
- Low Trust Society
- Masyarakat yang meminimalisir kontak (Contact free society)
- Dll
Beragam kenormalan baru yang akan menghiasi corak kehidupan masyarakat pada masa-masa yang akan datang perlu jadi perhatian pelaku bisnis guna tetap bisa melakukan improvisasi pada usaha mereka. Selain itu, beragam perilaku baru pasca wabah perlu diperhatikan oleh pemangku kebijakan atau pemerintah dan politisi guna tetap berjalan seiring dengan masyarakat dalam beragam upaya mewujudkan kesejahteraan dan melaksanakan proses recovery pasca wabah.