Fenomena bencana alam akibat perubahan cuaca, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir terus mengalami kenaikan. Banjir, longsor, kekeringan seakan-akan telah menjadi kejadian langganan yang harus diterima oleh manusia dan makhluk hidup saat ini.

Bencana-bencana akibat perubahan iklim terus meningkat dari tahun ke tahun akibat terus meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer yang mengakibatkan pemanasan global dan memicu perubahan iklim.

Tercatat, banjir bandang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia pada tahun beberapa tahun terakhir. Sebut saja Garut, Bandung, dan Gorontalo. Beberapa bencana iklim lainnya pun sering terjadi dan berdampak yang tidak kecil, seperti tanah longsor, hujan lebat disertai angin kencang, dan gelombang tinggi yang memicu storm tide di Pantai Barat Sumatra, Selatan Jawa hingga Lombok.

Di beberapa wilayah, seperti Semarang dan Jakarta; rob menjadi bencana yang sering dan akan mengancam kehidupan masyarakat di pesisir. Resiko lain yang juga akan dirasakan oleh Indonesia adalah keanekaragaman hayati.

Dampak yang cukup parah juga akan sering dialami, seperti produktivitas pertanian, perikanan, dan kehutanan yang akan mengancam ketahanan pangan serta kelangsungan hidup. (PEACE. Indonesia and Climate Change: Current Status and Policies, 2007).

Dikutip dari blog LSM Bintari, menurut catatan dalam Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan Indonesia (2016), kejadian banjir naik menjadi 2,3 kali lipat; tanah longsor naik hingga 4,8 kali lipat. Banjir berdampak lebih banyak dan mengakibatkan kerugian yang lebih banyak dibanding dengan bencana klimatologi lainnya. Dampak yang paling parah dirasakan di Pulau Jawa.

Frekuensi kejadian banjir di Pulau Jawa naik hingga 2,8 kali lipat. Sedangkan kejadian tanah longsor di Pulau Jawa mengalami kenaikan 5 kali lipat.

Naiknya curah hujan mengakibatkan hujan lebat yang itu memperbesar resiko kejadian banjir dan longsor. Kerugian dan kerusakan lebih besar dirasakan oleh masyarakat karena rusaknya jaringan transportasi, gagal panen karena tanaman pangan rusak, serta ancaman penghidupan yang rentan.

Dampak yang paling parah dari bencana tersebut terhentinya aktivitas ekonomi produktif. Akan tetapi, hal itu sepertinya belum menjadi perhatian kita ketika bencana terjadi.

Kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim menjadi fokus yang serius sejak Conference On Parties (COP) di Warsawa. Negara-negara terdampak diharamkan mampu menghitung seluruh kerugian dan kerusakan akibat bencana “slow onset” perubahan iklim seperti kenaikan suhu, kenaikan muka air laut.

Akan tetapi, mekanisme kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim sepertinya akan tersendat dengan mundurnya Amerika dari Paris Agreement. Target penurunan emisi karbon Amerika 26-28% yang telah ditetapkan oleh Obama telah dibatalkan oleh Trump di pertemuan G7, awal Mei 2017.

Merawat Alam, Demi Masa Depan

Perilaku rakus manusia telah mengakibatkan kerusakan sumber daya alam di bumi. Perilaku konsumtif yang menjadikan orang berupaya memenuhi kebutuhan. Salah satunya dengan melakukan ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran.

Kerusakan lingkungan dan perilaku yang konsumtif inilah yang memicu kenaikan konsentrasi GRK dan mengakibatkan perubahan iklim. Ekstraksi hutan untuk mengambil minyak dan kemudian dipergunakan untuk aktivitas manusia dan industri memicu kenaikan emisi karbon. Di satu sisi, hutan sebagai penyerap karbon tidak mampu melakukan fungsinya.

Pola pikir dan perilaku yang cenderung destruktif tersebut merupakan hasil pendidikan karakter yang kurang kuat dan memperhatikan kelangsungan masa depan. Semenjak revolusi industri Prancis, isu dan ideologi materialisme seakan-akan menjadi tujuan utama pendidikan.

Pendidikan dipergunakan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya dengan melakukan ekstraksi sumber daya alam. Anak-anak diajari untuk bisa mendapatkan materi tanpa diberikan pemahaman mengenai konsep pembangunan yang berkelanjutan.

Kurangnya kesadaran kritis di kalangan terpelajar mengenai pentingnya membangun dengan memperhatikan daya dukung alam mengakibatkan pembangunan hanya bertumpu pada manfaat ekonomis. Pendidikan saat ini belum memberikan kemampuan untuk berfikir sebab – akibat.

Hasilnya, kita belum mampu mengambil keputusan yang lebih bijak dalam mengelola lingkungan dan sumber daya yang ada. Mengambil keputusan yang memberikan manfaat kepada semua di masa sekarang dan masa yang akan datang, bukan manfaat untuk kita saat ini saja. Tidak saja materialistis, tapi juga egosentris. Prinsip Not In My Backyard (NIMB) sepertinya juga menjadi keluaran pola pikir pendidikan saat ini.

Di satu sisi, anak-anak tidak memiliki ruang dan waktu yang cukup untuk mengenali apa yang terjadi di lingkungan sekitar mereka, sumber daya alam apa yang ada di sekitar kita. Tak ada kesempatan bagi mereka dan kita untuk terhubung dengan alam.

Pendidikan keluarga modern saat ini telah berubah sangat dramatis dalam dua dekade saat ini. Keluarga terutama anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk menonton televisi dan bermain dengan komputer dan gawai.

Ada sebuah harapan untuk mengembalikan khittah pendidikan kepada usaha menciptakan manusia yang bertanggung jawab terhadap alam semesta.

Pendidikan yang memberikan ruang dan waktu kepada anak untuk terhubung langsung dengan alam, mengapresiasi keindahan dan kemanfaatannya, serta mengajak untuk menjaga dan merawat bumi. Pendidikan bisa saja pendidikan formal, non formal, maupun informal.

Pendidikan di seluruh sektor terutama pendidikan formal dan informal (keluarga) harus selalu mengedepankan anak untuk bisa mengenali secara langsung lingkungan mereka. Jangan sampai mereka hanya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Ujian Kenaikan Kelas tanpa melihat kenyataannya.

Memperbanyak observasi di alam akan memberikan kemampuan kritis kepada anak. Biarkan anak secara bebas mengeksplorasi alam serta biarkan anak bertanya sebanyak-banyaknya untuk memberi ruang berfikir. Kita adalah bagian dari alam, bukan makhluk hidup yang terpisah dari alam. Dengan demikian, anak akan memiliki satu kesatuan dan rasa tanggung jawab terhadap alam.

Dengan kembali ke alam, perilaku destruktif terhadap alam diharapkan tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Bencana perubahan iklim dapat dikurangi dengan merubah sistem pendidikan yang mengedepankan pada kesatuan alam.

Optimalisasi Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup

Pendidikan lingkungan hidup (PLH) adalah suatu program pendidikan untuk membina anak atau peserta didik agar memiliki pengertian, kesadaran, sikap dan prilaku yang rasional, serta bertanggung jawab tentang pengaruh timbal balik antara penduduk dengan lingkungan hidup dalam berbagai aspek kehidupan (Pratomo, 2009:8).

PLH sebenarnya telah lama diimplementasikan di setiap lembaga pendidikan, namun bisa dikatakan belum mampu mencapai hasil yang optimal.

Di beberapa sekolah dasar misalnya, menerapkan PLH secara independen lengkap dengan buku pegangan siswa, namun pada dasarnya PLH harus diintegrasikan dengan mata pelajaran lain, misalnya pendidikan olahraga, IPS atau bahkan bahasa.

Penerapan PLH saat ini masih terlihat teoritis, peserta didik hanya mampu menyentuh pengetahuannya dengan sedikit praktik, misalnya masih membuang sampah sembarangan, mencabut tanaman hias, membuang sampah di sungai, mandi dan buang air besar di sungai, mencorat-coret gedung sekolah dan sebagainya.

Melihat kondisi tersebut, penting bagi kita sebagai pendidik tidak hanya mampu mengajar PLH, tetapi juga mendidik, mengajak dan mengarahkan siswa untuk sadar lingkungan, karena pengetahuan tanpa kesadaran hanya bersifat teoritis, tidak sampai pada sisi substansinya.


Penerapan PLH secara aplikatif harus diterapkan oleh setiap guru mata pelajaran, tidak hanya terfokus pada satu mata pelajaran, sehingga peserta didik terbiasa untuk mencintai lingkungannya.

Penerapan PLH bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti kerja bakti setiap weekend atau Jumat pagi sebelum pelajaran dimulai, melakukan reboisasi di lingkungan sekolah sehingga tercipta sekolah yang hijau, mengadakan lomba kebersihan kelas, taman, serta miniatur lingkungan dan lomba membuat tempat sampah dari anyaman.

Kebiasaan menjaga lingkungan di sekolah pastinya akan berpengaruh pada kebiasaan peserta didik di rumah, apalagi jika sampai mereka dilatih untuk mengembangkan kreativitas terkait isu lingkungan hidup. Pada dasarnya isu lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada keberlanjutan bumi, udara, tanah dan sebagainya, namun juga aspek ekonomi, hubungan sosial, budaya, pendidikan dan politik.

Dengan demikian peserta didik harus dilatih untuk mencintai lingkungan sebagai setting dan lingkungan sebagai interaksi social. Setiap peserta didik harus dilatih untuk berani mengkampanyekan isu-isu lingkungan, seperti mengajak masyarakat luas agar memiliki kesadaran akan isu lingkungan yang dimulai dari lingkungan keluarga.


PLH adalah salah satu solusi untuk memperbaiki masalah lingkungan, terlebih saat ini masalah banjir sedang melanda Indonesia. Dalam hal ini, setiap pendidik harus memberikan teladan yang baik untuk mengatasi banjir serta upaya pencegahannya, seperti memberikan pendidikan mitigasi atau bagaimana caranya menjadi relawan korban banjir. 

Peran pemerintah tentunya juga sangat dibutuhkan, artinya harus ada perhatian lebih terhadap PLH. Misalnya, memberikan pelatihan khusus kepada pendidik dan pemberian dana operasional khusus PLH.

Dengan demikian dalam penerapan PLH harus ada sinegitas antara pendidik, peserta didik, masyarakat dan pemerintah, sehingga PLH tidak sebatas hitam di atas putih.