Penulis: Ghofiruddin (Pegiat sastra dan literasi Trenggalek)


Di dalam sebuah diskusi[1] tentang kesusasteraan, seorang peserta[2] mengajukan sebuah pertanyaan. Pertanyaan itu begitu singkat dan padat, seperti pertanyaan anak-anak yang mengajukan pertanyaan kepada orang tuanya.

Namun di balik itu, pertanyaan tersebut bisa menjadi awal dari sebuah pencarian untuk memahami intisari tentang manusia dan kemanusiaan. Dan, bila melangkah lebih jauh dan disertai dengan ketekunan dan kehati-hatian akan mengantarkan kita kepada sebuah hakikat tentang kehidupan.

Pertanyaan itu adalah; kenapa harus mencintai sastra?

Ya, kenapa harus mencintai sastra? Ada apa di balik sastra atau karya sastra sehingga ia layak untuk dicintai? Apakah karya-karya itu memiliki manfaat atau kegunaan bagi kita manusia untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam hidup?

Apakah sastra dan karya sastra bisa membuat manusia menjadi lebih bahagia? Masih banyak lagi yang tersirat dari sebuah pertanyaan yang cukup sederhana tersebut. Tapi, tiga pertanyaan perluasan tersebut bisa dijadikan panduan untuk menemukan jawabannya.

Sejatinya, sastra memang layak untuk dicintai. Salah seorang narasumber pada forum diskusi tersebut menjawab,”Ya, karena sastra cinta kamu…”[3]. Atau dengan kata lain di balik sastra atau karya sastra itu ada cinta, terutama kepada penikmatnya.

Cinta itu dibuktikan dengan sebuah sumbangsih pencerahan terhadap pikiran dan perasaan manusia. Pencerahan terhadap pikiran dapat digali dengan salah satunya adalah mencermati alur dalam sebuah cerita.

Syarat dari sebuah alur cerita adalah sebuah hubungan logis antara bagian-bagian yang membangun sebuah cerita. Dengan mencermati pola hubungan tersebut secara tidak langsung, pembaca atau penikmat karya sastra juga diajak untuk berpikir secara logis dan rasional.

Pencerahan terhadap pikiran ini juga bisa didapatkan dengan mencoba menggali makna sedalam-dalamnya dari sebuah karya sastra. Misalnya saja sebuah puisi. Untuk memahami makna terdalam dari sebuah puisi, seseorang tidak cukup hanya bertumpu pada pemahaman secara literal.

Seorang penggali makna dituntut untuk mencari apa yang tersirat di balik sebuah tanda yang tersurat. Untuk itu diperlukan sebuah metode ilmiah, selain juga intuisi yang berguna untuk pemahaman awal. Pencarian dengan metode ilmiah inilah yang akan mampu mencerahkan pikiran manusia karena dengan sebuah metode ilmiah seseorang tidak akan sembarangan dalam memahami sesuatu.

Dia terikat dengan kaidah-kaidah yang tidak bisa diganggu gugat lagi keabsahannya. Meskipun begitu akan lebih baik jika setiap orang mampu menemukan metode ilmiahnya sendiri sehingga akan lebih percaya diri dalam memberikan kontribusi terhadap perkembangan kemanusiaan.
Pikiran yang tercerahkan akan terasa hambar tanpa disertai adanya pencerahan perasaan.

Betapa banyak sekarang ini orang-orang cerdik cendekia, dalam arti, mereka sudah tercerahkan pikirannya malah justru memberikan kontribusi destruktif kepada kehidupan, kepada kemanusiaan.

Memang, seperti itulah pikiran, dia cenderung untuk berbuat licik dengan memainkan berbagai macam peran demi insting naluriah semata jika tidak diimbangi dengan kepekaan perasaan. Dan, kepekaan perasaan tersebut dapat diasah salah satunya dengan bersastra, baik itu dengan menikmati karya-karya sastra yang bermutu maupun mencoba memproduksi karya sendiri.

Tentu akan menjadi poin positif jika setiap orang mau menciptakan karya-karya yang mencerahkan.

Kontribusi sastra dalam pencerahan perasaan dapat dicermati dalam penggunaan gaya bahasa yang memiliki kandungan nilai estetik. Mungkin apa yang dinamakan estetika ini akan berbeda dalam pandangan masing-masing individu.

Ada sebagian orang yang berpandangan bahwa estetika atau keindahan itu terletak pada gaya bahasa yang dipenuhi dengan majas-majas yang untuk memahami maksud dari majas tersebut diperlukan sebuah kajian yang mendalam. Semakin sulit dimengerti bahasa dari sebuah karya sastra maka akan semakin indah.

Namun di pihak lain ada juga pihak yang lebih sederhana dalam menggapai keindahan tersebut. Keindahan dalam karya sastra adalah kesederhanaannya. Sebuah kesederhanaan, atau lebih tepatnya kelugasan bahasa yang tanpa tedeng aling-aling mengungkapkan kebobrokan-kebobrokan realitas.

Tentu tidak ada yang salah dari keduanya. Setiap orang bebas menggali makna keindahan dari setiap karya yang dia jumpai. Keindahan di mata seseorang memang tidak harus selalu indah di mata orang lain.

Perbedaan-perbedaan seperti itulah yang merupakan letak sesungguhnya dari keindahan di mana setiap orang mampu menghargai setiap perbedaan pendapat. Penghargaan terhadap perbedaan akan membuat manusia lebih mampu memahami manusia-manusia lainnya sehingga tidak akan tumbuh kebencian dan diskriminasi yang merendahkan pihak-pihak yang berseberangan.

Akhirnya yang tercipta adalah kedamaian. Ya, apalagi puncak kebahagiaan dalam kehidupan, selain apa yang disebut, kedamaian.

Kemudian adalah pertanyaan apakah sastra memiliki manfaat atau kegunaan dalam mengatasi kesulitan atau permasalahan hidup.

Jawabannya tentu saja iya. Selama pikiran dan perasaan telah terbuka apapun yang masuk ke dalam diri kita, termasuk karya sastra akan bermanfaat dalam mengatasi kesulitan atau permasalahan.

Dalam konteks karya sastra yang paling kentara tentu adalah efeknya untuk memberikan inspirasi bagi manusia untuk memperjuangkan hidup. Dengan kata lain, karya sastra dapat menginspirasi seseorang untuk berbuat sesuatu dalam mengatasi permasalahan hidupnya, baik permasalahan yang bersifat individual maupun permasalahan yang bersifat kolektif.

Permasalahan individual, misalnya, adalah kegalauan karena sedang putus cinta atau seseorang yang tengah dililit hutang. Bagi orang-orang yang tengah galau, sastra dapat dijadikan sebagai penghibur yang sangat mengasyikkan dan mungkin saja memabukkan.

Ia bisa saja terhibur sehingga kegalauan tersebut bisa lepas dari dalam benaknya atau sebaliknya, sebuah karya justru semakin menenggelamkannya ke dalam ekstasis. Tentu, semua ini bergantung kepada individu masing-masing dan genre sastra yang dipilih.

Untuk orang-orang seperti ini sangat disarankan untuk memilih genre sastra bernafaskan perjuangan hidup. Dengan begitu, ia akan tahu bahwa masalah yang membuat dia galau sebenarnya bukanlah apa-apa bila dibandingkan misalnya dengan masalah yang dialami oleh tokoh dalam sebuah cerita.

Sedangkan dalam mengatasi permasalahan kolektif atau permasalahan sosial dapat kita lihat dari perjuangan para aktifis reformasi dalam menegakkan keadilan sosial lepas dari kungkungan tirani rezim otoriter orde baru.

Karya-karya realisme sosialis, seperti novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer selalu menjadi santapan bagi mereka untuk tetap teguh dan bersabar dalam menghadapi represi atau tekanan pihak-pihak yang berkuasa.
Begitu juga dengan puisi-puisi Wiji Thukul, seorang aktifis buruh asal Solo.

Puisi-puisinya yang terang-terangan menantang penguasa pada saat itu selalu menjadi penghias serta pemantik api di kala para aktifis itu berorasi.
Tidak bisa tidak, dengan lantang ia menuliskan, lawan! Dan, perjuangan tidak mengenal lelah tersebut akhirnya membuahkan hasil dengan tumbangnya orde baru setelah berkuasa selama tiga dekade lebih.[4]

Terakhir adalah pertanyaan apakah sastra dapat membuat manusia bahagia?

Jawabannya adalah tidak diragukan lagi. Ini adalah sebuah kesimpulan dari seluruh uraian tadi. Apalagi selain kebahagiaan. Orang yang telah tercerahkan pikirannya akan memiliki langkah yang mantap dalam mengarungi sengkarut kehidupan.

Mantapnya langkah tersebut membawakan ketenangan dalam batin sehingga perasaan pun juga tercerahkan. Akhirnya pencerahan tersebut juga mendatangkan manfaat praktis-pragmatis material yang melengkapi segalanya.

Singkatnya, sastra memang layak untuk dicintai karena ia bisa membuat hidup manusia lebih bahagia.

Artikel ini semula di terbitkan pada laman https://sastratepian.blogspot.com/2018/11/kenapa-harus-mencintai-sastra.html?m=1


[1] Diskusi tersebut adalah sebuah acara bedah buku tiga karya dari penulis-penulis asal Trenggalek. Acara yang diadakan pada Jum’at malam 7 Oktober 2016 di aula kecamatan Pogalan tersebut diprakarsai oleh Quantum Litera Center (QLC), salah satu wadah kegiatan literasi di Trenggalek yang bekerjasama dengan IPNU/IPPNU ranting Pogalan.

[2] Peserta tersebut adalah seorang mahasiswi Prodi PKn STKIP PGRI Trenggalek bernama Chusnul. Ia terlibat cukup aktif dalam kegiatan literasi maupun kesusasteraan yang ada di Trenggalek, di antaranya dengan bergabung dengan UKM Kompas (Komunitas Pecinta Sastra) STKIP-PGRI Trenggalek.

[3] Ia adalah Nurani Soyomukti, seorang aktifis-perintis pergerakan literasi di kabupaten Trenggalek. Ia juga telah menulis dan menerbitkan beberapa buku, terutama yang menyoroti tentang permasalahan-permasalahan sosial kontemporer.

[4] Tentang hal ini, silahkan merujuk pada sebuah buku memoar karya Budiman Sudjatmiko yang berjudul Anak-Anak Revolusi.