Penulis: Ghofiruddin (Pegiat sastra dan literasi Trenggalek)
‘Arus Bawah’ merupakan novel-esai karya Emha Ainun Nadjib yang pernah terbit bersambung di harian Berita Buana pada 28 Januari sampai 31 Maret 1991 dan menjadi buku pada 1994.
Novel ini mengisahkan tentang hilangnya pemimpin punakawan, Semar dari lingkungan daerah atau dusun yang bernama Karang Kedempel. Hilangnya Semar tersebut membuat ketiga punakawan yang lain merasa khawatir dan bingung.
Gareng bahkan merasa bahwa hilangnya Semar adalah tanda akan hilangnya rasa kemanusiaan di hati masyarakat Karang Kedempel. Keberadaan Semar selalu menjadi penyejuk terhadap problema-problema yang dihadapi masyarakat Karang Kedempel.
Gareng menjadi panik sehingga berusaha dengan seluruh kekuatan tenaga pikiran, jiwa dan raga untuk mencari Semar. Berbeda dengan Gareng, Petruk dan Bagong menanggapi hilangnya Semar dengan santai.
Bagi mereka berdua, keberadaan atau ketidakberadaan Semar tidak berpengaruh apapun terhadap keadaan masyarakat. Walaupun demikian, mereka juga masih menyimpan tanda tanya akan hilangnya Semar tersebut meski sebatas dalam hati dan pikiran.
****
Seperti telah disebutkan sebelumnya, cerita dalam novel ini mengambil latar tempat disebuah desa fiktif bernama Karang Kedempel. Desa ini digambarkan sebagai desa yang dikuasai oleh seorang kepala desa yang otoriter.
Sistem kekuasaan otoriter yang digunakan oleh kepala desa diterapkan dengan sangat efektif dan efisien oleh para pamong yang bekerja di bawahnya. Hal ini dibuktikan dengan tertindasnya rakyat jelata tanpa mampu lagi merasakan penindasan tersebut. Banyak rakyat di Karang Kedempel tersebut menganggap penindasan tersebut sah-sah saja dilakukan oleh penguasa.
Doktrin‘raja adalah dewa yang harus selalu di sembah dan ditaati’ begitu menyusup dan mengakar di dalam jiwa dan pikiran masyarakat Karang Kedempel. Oleh karena itu Semar yang juga seorang dewa, bahkan dia adalah dewanya para dewa turun ke Karang Kedempel untuk membebaskan ketertindasan rakyat.
Dalam misinya di Karang Kedempel dia berperan sebagai rakyat jelata yang memiliki kebebasan dalam berpikir. Semar yang seorang dewa tidak pernah menyembah kepada raja. Walaupun demikian, dia tetap menghormati raja tersebut dengan bersikap sopan, terutama setiap berbicara dengannya.
Didalam novel ini, Emha Ainun Nadjib mengutarakan pandangannya tentang rakyat sebagai seorang dewa. Di dalam dunia pewayangan, raja mendapatkan ilham dari para dewa. Karena dewanya adalah rakyat, maka ilham tersebut seharusnya dari rakyat atau dengan kata lain, ilham yang diterima oleh seorang raja adalah bersumber dariaspirasi rakyat.
Lebih jauh, dia ingin mengungkapkan bahwa seharusnya raja atau penguasa suatu wilayah mengabdi untuk kepentingan rakyat, bukan untuk menindas dan memerah tenaga rakyat untuk kepentingan pribadi ataupun golongan. Filosofi pengarang inilah yang akan menjadi fokus pembahasan makalah ini.
Filosofi ‘Rakyat Adalah Dewa dan Dewa Adalah Rakyat”
Rakyat dapat diartikan sebagai warga masyarakat; segenap penduduk yang menempati wilayah tertentu (dalam suatu negara); khalayak, orang biasa.[1] Rakyat dikatakan sebagai orang biasa karena terikat pada sebuah sistem kekuasaan yang berlaku di sebuah wilayah.
Rakyat sering menjadi objek kekuasaan yang di beberapa negara masih banyak yang diperlakukan oleh pemegang kekuasaan secara semena-mena. Rakyat masih dianggap sebagai pengisi kasta terbawah yang boleh ditindas dan bahkan dalam keadaan tertindas tersebut masih harus menyembah dan tunduk patuh kepada keinginan penguasa.
Karena itulah, Emha berusaha mengetengahkan pandangannya tentang ‘Rakyat sebagai dewa dan dewa adalah rakyat’ dalam novelnya tersebut. Pandangan ini dikemukakan dengan tujuan untuk membangkitkan moral pembaca yang juga termasuk rakyat agar jeli dalam memahami seluk-beluk kekuasaan yang disalah gunakan.
Berikut ini, beberapa kutipan tentang pandangan atau filosofi Emha tersebut.
“…Kiai Semar adalah kamu, adalah kalian-kalian, adalah orang-orang Karang Kedempel, adalah inkarnasi hati nurani kalian…” (hal. 55)
“Kiai Semar itu rakyat kecil dan dewa sekaligus. Bahkan, Semar adalah Dewa segala Dewa. Ia sesepuh semua Dewa. Batara Guru pengurus alam semesta pun patuh dan segan kepadanya. Kiai Semar atau Hyang Ismoyo itu Dewa Tertinggi, di atasnya hanya ada satu: yakni Sang Hyang Wenang itu sendiri.
Dan, kamu tahu, Dewa Tertinggi itu rakyat biasa. Karena memang rakyatlah Dewa Tertinggi. Batara Guru atau Hyang Manikmoyo, serta apalagi para Pamong dari Karang Kedempel, tak lebih dari petugas-petugas sejarah seperti juga Kiai Semar juga mengambil perannya untuk bertakhta di hati nurani rakyat…” (hal. 59)
Dalam pandangan Emha, rakyat sebagai dewa memiliki tugas yang tidak mudah. Rakyat sebagai dewa bukan sekedar untuk menuntut kepada para pamong atau pihak yang berkuasa atau lebih tepatnya pihak-pihak yang diberikan amanah untuk mengemban kekuasaaan.
Rakyat harus bersikap kritis terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak penguasa. Tentang hal ini dapat dicermati dari kutipan berikut ini.
“…Kiai Semar itu kakaknya Batara Guru, manajer utama alam semesta ini. Jadi, Kiai Semar itu sesepuhnya Dewa Eksekutif jagat raya. Tapi, tugasnya bukan di Kerajaan Kosmos Jonggring Saloka,melainkan di Karang Kedempel, menjadi Punakawan-nya Raja.
Ia berperan mewakili kearifan, kebenaran, keadilan, pokoknya apa saja yang baik. Ia harus menjadi kritikus utama atas segala perilaku Raja karena kewajibannya adalah menemani dan membimbing Raja menuju perbuatan-perbuatan yang terbaik bagi seluruh penduduk Karang Kedempel…”
Tugas rakyat sebagai kritikus utama kekuasaan ini membutuhkan tingkat intelegensi yang mumpuni. Tidak cukup rakyat hanya sekedar berbicara sesuka hatinya, menilai kinerja pihak yang berkuasa dengan penilaian yang subyektif.
Untuk mewujudkan hal ini rakyat harus belajar. Di sini terjadi lagi tarik ulur didalam kepentingan kekuasaan. Pihak yang berkuasa sebagai penyelenggara pendidikan formal cenderung menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaan.
Karena itu, pendidikan yang diberikan kepada rakyat bersifat pembodohan. Dalam pendidikan seperti ini, orang yang dianggap pandai adalah orang yang bisa memenuhi selera atau keinginan pihak berkuasa. Lefort dalam Thompson (2014:53) mengatakan hal yang demikian itu sebagai penipuan untuk menciptakan dominasi dengan adanya pembagian sosial atau sistem kasta.
Di dalam novel ‘Arus Bawah’ hal pembagian sosial atau kedudukan sosial tersebut di kritisi secara mendalam karena pola tersebut melahirkan penindasan yang korbannya tentu saja adalah rakyat jelata. Kritik tersebut diungkapkan panjang lebar dalam ‘bualan’ seorang Bagong yang terkenal hanya suka makan dan tertawa ngakak pada halaman 17-23.
Beberapa bagian dari ‘bualan’ Bagong adalah sebagai berikut.
“Lihatlah bagaimana kehidupan penduduk Karang Kedempel ini! Orangtua minta dijunjung, bahkan memerintahkan orang untuk menjunjungnya, dalam suatu pola hubungan yang curang.
Dan, yang dimaksud orang tua tidak sekedar orangtua darah, tapi adalah juga siapa saja yang lebih berkuasa, lebih kaya, lebih pintar, lebih berumur, serta segala macam kedudukan yang dianggap meletakkan seseorang atau suatu kelompok terletak lebih tinggi derajatnya dibanding yang lain…” (hal.18)
“Lihatlah bagaimana kehidupan di Karang Kedempel ini, betapa salahnya tata hubungan urusan-urusannya! Para pamong mengajari penduduk agar mereka mengabdi kepada raja-raja kecil, raja pemerintahan dan kekuasaan, raja ekonomi, raja penguasa air irigasi, raja parapenjilat yang berbisik-bisik seperti setan mengitari telinga-telinga.
Atau, raja kaum tua yang segala kata-katanya harus dipatuhi, yang tak bersedia dibantah, yang kalau wejangannya tak dilaksanakan maka parang berkilat-kilat segera keluar dari selongsongnya. Semua yang menentukan adalah kaum tua. Kaum tua dalam segala arti. Arti darah, arti budaya, arti politik dan ekonomi”. (hal.19)
Pembodohan atau penipuan tersebut juga dibungkus dalam kerangka konsep spiritual atau dengan kata lain mengatasnamakan dewa-dewa, mengatasnamakan Tuhan. Pembodohan dan penipuan tersebut di labeli dengan surga dan neraka.
“Dalam tatanan ke-Mahabharata-an asli di Karang Kedempel Kuno, yang sah untuk punya kehendak hanyalah Dewa dan para Pamong. Seseorang boleh dibunuh atau sepetak sawah boleh direbut oleh Pamong atas nama Dewa. Tata otoriterisme politik itu tidaklah dibubuhkan terutama dalam aturan-aturan, tapi dihidupkan dalam kerangka konsep spiritual penduduk Karang Kedempel…” (hal.59)
Yang jelas dalam novel tersebut, Emha berusaha menempatkan rakyat dan pihak berkuasa dalam hirarki yang tidak bersifat subordinatif. Rakyat dan kekuasaan ditempatkan dalam sebuah siklus yang saling berkesinambungan. Rakyat tidak selalu berada pada tingkatan terbawah sehingga bisa seenaknya ditindas oleh penguasa yang selalu menempati hirarki tertinggi.
Bahkan lebih lanjut, Emha menyebutkan bahwa rakyat adalah segalanya. Kekuasaan selalu membutuhkan rakyat, sedangkan rakyat tidak membutuhkan kekuasaan.
“Rakyat itu lebih besar daripada segala desa. Rakyat lebih perkasa dibanding semua peran sejarah yang lain. Rakyat lebih agung dan arif dibanding segala tingkat peroleh ilmu kaum cendekia. Rakyat sanggup hidup tanpa penguasa, tapi tak sebiji penguasa pun yang pernah sanggup hidup tanpa rakyat” (hal. 29)
Kesimpulan
Filosofi ‘Rakyat sebagai Dewa dan Dewa adalah Rakyat’ bukan berarti rakyat sebagai manusia itu bersifat transendental seperti halnya Tuhan. Filosofi ini berusaha untuk membebaskan rakyat sebagai manusia dari ketertindasan yang disebabkan oleh manusia lain yang memiliki apa yang disebut dengan kekuasaan.
Filosofi ini mengajarkan kesetaraan dan persamaan. Filosofi ini sama dengan ajaran Samin. Mengenai ajaran Samin, Koh Young Hun (2012:130-131) mengatakan,
”…semua manusia ini mempunyai persamaan dalam kelahiran, keperluan, dan tujuan. Oleh karena itu, tidak ada sebab yang mengharuskan manusia berbeda antara satu dengan yang lain.”
Berbeda yang dimaksud di atas adalah berkaitan dengan masalah kekuasaan. Antara manusia yang satu dengan yang lain tidak ada yang lebih berkuasa sehingga tidak ada manusia yang lebih tinggi yang bisa seenaknya berbuat aniaya atau menindas manusia yang lain.
Manusia yang diserahi tugas atau amanah untuk memimpin bukan berarti dia lebih tinggi atau lebih berkuasa dari yang dipimpin. Antara yang memimpin dan yang dipimpin tersebut memiliki derajat yang sama atau setara. Semuanya saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
Yang memimpin berkewajiban untuk membuat dan melaksanakan kebijakan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Sedangkan yang dipimpin harus bersikap aktif dan kritis dalam mengawal setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pemimpin.
Hubungan ideal antara pemimpin dengan yang dipimpin adalah seperti yang di ibaratkan Emha dalam novelnya tersebut, yaitu sebuah siklus atau perputaran. Di dalam perputaran, pemimpin dan yang dipimpin semua berada di atas dan di lain waktu semua berada di bawah.
Berbedahalnya dengan subordinasi di mana yang di atas menekan yang di bawah. Hanya saja, karena manusia itu memiliki jiwa dan emosi, yang di bawah akan berusaha untuk keluar dari tekanan. Mereka akan berusaha untuk naik. Mungkin mereka akan jatuh dan dijatuhkan atau mungkin mereka akan menjatuhkan.
Disini, akhirnya yang ada hanyalah sebuah hasrat untuk saling menjatuhkan. Keseimbangan atau keharmonisan akan hilang dan diganti dengan huru-hara berkepanjangan.
Referensi
Hun, Koh Young. 2011. Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia. Jakarta:PT Gramedia.
Nadjib, Emha Ainun. 2015. Arus Bawah, cet. II. Yogyakarta: Bentang.
Thompson, John B. 2014. Analisis Ideologi Dunia. Terjemahan Haqqul Yaqin.Jogjakarta: Ircisod.
[1] KamusBesar Bahasa Indonesia terbitan Gitamedia Press.
Terbit pertama kali di laman:
https://sastratepian.blogspot.com/2018/12/arus-bawah-filosofi-rakyat-adalah-dewa.html , diterbitkan ulang dengan persetujuan penulis.