Penulis: Luthfi Hamdani

Menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, BBM, Line, Whatsapp, Instagram, seolah sudah menjadi kebutuhan sosial masyarakat Indonesia. Banyak penelitian tentang Instagram menemukan indikasi bahwa aplikasi tersebut bisa meningkatkan rasa cemas dan marah, juga lebih rawan menggerogoti harga diri bagi sebagian besar penggunanya.

Berdasarkan data hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2016, pengguna Instagram (19,9 juta atau 15%) menempati peringkat kedua sebagai media sosial yang paling sering dikunjungi setelah Facebook (71,6 juta atau 54%). Kedua media sosial ini paling banyak digunakan oleh masyarakat kita guna menampilkan diri mereka secara online.

Instagram misalnya, sebagai aplikasi media sosial yang berbasis foto-visual, menawarkan beragam layanan, mulai berbagi foto aktivitas sehari-hari, video, InstaStory, Instagram Live, komentar, sampai chatting menggunakan fitur direct message. Ada pula fasilitas editing foto yang diunggah. Bisa juga untuk mencari teman.

Penelitian Frensen Salim,dkk (2018) berjudul: Are Self-Presentation of Instagram Users Influenced by Friendship-Contingent Self-Esteem and Fear of Missing Out?, mencoba menelaah tiga hal yang saling berkait pada pengguna Instagram:

1. Harga diri yang bergantung pada persahabatan (friendship-contingent self-esteem)
2. Kecemasan ketinggalan informasi di media sosial (fear of missing out atau FoMO)
3. Bagaimana dua hal di atas berpengaruh pada presentasi diri (self-presentation).

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa yang berpengaruh pada variabel presentasi diri hanya FoMO. Sedangkan variabel harga diri yang bergantung pada persahabatan tidak berpengaruh terhadap presentasi diri.

Presentasi diri secara sederhana bisa dipahami sebagai berbagai cara yang dilakukan oleh para pengguna untuk meningkatkan penampilan dalam setiap unggahan mereka. Mulai dari menambahkan filter pada foto, angle serta gaya yang menarik merupakan beberapa hal yang dapat meningkatkan penampilan seseorang pada unggahan foto Instagram mereka.

Target presentasi diri yang dilakukan oleh individu kebanyakan adalah orang yang dikenal dan mengenali dirinya. Individu mengharapkan respons yang positif sehingga dapat meningkatkan harga dirinya.

 

FoMO; Gejala Takut Ketinggalan Informasi

FOMO adalah singkatan dari Fear of Missing Out. Takut ketinggalan berita di sosial media, takut nggak update. FOMO adalah “penyakit” para penggila media sosial. Mereka akan risau karena belum buka Twitter, Facebook, Snapchat, Path, BBM, Line, Email dan sebagainya.

Sementara menurut Department of Psychology, School of Social Sciences, Nottingham Trent University, di Inggris, FoMO adalah suatu kondisi yang bisa menyebabkan orang berlaku di luar batas kewajaran di media sosial.

Selain takut ketinggalan berita di media sosial, mereka juga kadang sengaja memasang gambar, tulisan, atau bahkan mempromosikan diri yang belum tentu jujur hanya demi terlihat update. Ironisnya, hal ini bisa dianggap sebagai cari sensasi dan kebahagiaan mereka di media sosial palsu.

Ciri-ciri social media freak adalah sangat panik kalau handphone ketinggalan di rumah. Selalu online di semua media sosial. Bahagia kalau ada yang mengomentari status atau foto-fotonya. Masalahnya, saking kecanduannya, orang yang terserang FOMO akan menomorduakan kehidupan nyatanya.

Media sosial menjadi wadah yang menjembatani relasi pertemanan beda waktu dan lokasi geografis, dan menyediakan dukungan sosial kepada individu. Kondisi seperti ini mendorong individu untuk mengalami kecemasan ketinggalan informasi di media sosial karena besarnya ketergantungan mereka dengan individu lain yang dianggap penting di dalam media sosial.

Fenomena kecemasan ketinggalan informasi di media sosial dapat dipahami sebagai situasi yang timbul akibat kurang atau buruknya regulasi diri (self-regulatory) dan buruknya kepuasan psikologis seseorang.

Selain itu, fenomena ini diduga dapat membantu menjelaskan penggunaan media sosial yang bersifat berlebihan oleh masyarakat.

FoMO mempengaruhi penggunaan media sosial dari sisi relasi sosial. Ini artinya pengalaman yang berharga terkait hubungan dengan orang lain, atau persepsi bahwa relasi sosial yang dibangun bersifat menguntungkan dan memuaskan akan dipertahankan oleh individu tersebut.

Individu yang bermasalah dalam relasi dengan orang lain, cenderung memiliki tingkatan FoMO yang tinggi sehingga menjadi agak berlebihan saat menggunakan media sosial untuk berinteraksi dengan orang lain.

Individu memiliki kecenderungan untuk menjadi lebih cemas, mudah marah, merasa lebih memadai dan memiliki perasaan rendah diri yang bersifat sementara setelah melihat media sosial.

Dengan terjalinnya hubungan secara terus-menerus ke teman-teman mereka yang update media sosial, hampir tidak mungkin mereka tidak mengetahui apa yang orang lain lakukan dan katakan setiap saat. Karena itu, FoMO mampu menjelaskan keterlibatan yang mendalam dan berlebihan dari seorang individu dalam semua aktivitas yang melibatkan media sosial.

Beberapa cara yang bisa dilakukan guna mengurangi dampak buruk gejala FoMO, di antaranya:

  • Atur waktu untuk online. Dalam sehari, misalnya batasi waktu menggunakan media sosial tidak lebih dari 2 jam.
  • Matikan notifikasi pada handphone.
  • Uninstall aplikasi media sosial di handphone. Satu per satu dulu. Mulailah dari yang paling jarang kamu kunjungi, dan akhirilah dengan tetap menyimpan 2-3 aplikasi yang paling penting menurut kamu.
  • Bersosialisasi dengan orang-orang dalam kehidupan nyata dan di sekitarmu. Jangan sampai dunia maya merenggut kualitas kehidupan dunia nyatamu