Ditengah hiruk pikuk kehidupan beragama kita, istilah islam liberal atau liberalisme islam seolah tidak bisa lepas menjadi bahan pembicaraan. Sebagian besar kalangan menganggap salah apabila kata islam disandingkan dengan kata liberal. Dalam banyak atikel dan pernyataan tokoh, gerakan islam liberal sering mendapatkan stigma negatif.

Berdasarkan fenomena tersebut, artikel ini mencoba menelaah, apa dan bagaimana islam liberal di Indonesia.

Konteks dan Sejarah Liberalisme Keagamaan

Menurut Grant Wacker dari National Humanities Center. Duke University Divinity School, liberalisme keagamaan bisa dilihat setidaknya dalam tiga konteks.

Pertama, ia berfungsi sebagai jalan yang berhubungan dengan legitimasi ideal bagi kultur kemenangan (kebebasan berpikir) kesederhanaan, ketenangan jiwa, ketepatan waktu, kerja keras, supremasi laki-laki di sektor publik, supremasi perempuan di sektor domestik, penghargaan kepada seseorang, dan superioritas kultur Amerika.

Kedua, ia hadir sebagai reaksi terhadap para pengabar Injil (evangelist) yang banyak menekankan karakter supranatural ajaran Kristen, juga melihat Bibel sebagai satu-satunya transkrip kehendak Tuhan dan penyelamat umat manusia melalui keyakinan kepada Kristus.

Ketiga, liberalisme keagamaan berusaha menafsir ulang esensi ajaran Kristen sebagai tantangan intelektual yang diarahkan ke dalam komunitas terdidik sejak Abad Pertengaham.

Berdasarkan konsep liberalisme keagamaan itulah sebagian penulis Barat kemudian mengidentifukasi dan membuat beberapa batasan dan ciri-ciri yang bisa dimasukkan ke dalam kategori liberal.

Nicholas P. Gier (dalam Halid Alkaf, 2011)  seorang profesor emeritus dari Departement of Philosophy, Moskwa, Idaho, dalam tulisannya berjudul “Religious liberalism and the Founding fathers”, menjelaskan empat karakter utama liberalisme keagamaan:

  1. kaum liberal tetap percaya kepada Tuhan, tetapi kepercayaan mereka tidak sama dengan konsepsi Tuhan seperti yang dipahami kaum Kristen berhaluan ortodoks. Mereka juga menolak beberapa pandangan seperti Tuhan melaknat kebebasan berkehendak umat manusia, atau Tuhan mengurusi hal-hal yang bersifat detail pada manusia.
  2. Kaum liberal lebih menekankan ”prinsip etika Kristen” daripada ”prinsip doktrin Kristen”.
  3. Kaum liberal mendukung upaya pemisahan antara gereja dan negara. Keduanya tidak boleh dicampuraduk dalam satu lembaga.
  4. Kaum liberal mendukung kebebasan dan toleransi keberagamaan.“

Paham liberalisme keagamaan tidak lepas dari paham “unitarianisme” yang pertama kali dipopulerkan oleh William Ellery Charming (1780-1842), seorang pendeta dari Newport, Rhode island Amerika, yang berhaluan liberal dan menganut paham unitarianisme agama.

Channing termasuk penggagas awal lahirnya paham unitarianisme agama yang berkembang di Amerika. Salah satu penegasannya, “God’s sovereignty is limitless; still man has rights. If these are antagonistic ideas, yet both are true. “The worst error in religion” arises from neglect of one or the other”

(Kekuasaan Tuhan tidak terbatas, tetapi manusia memiliki hak-haknya sendlrl. lika terdapat ide-lde yang saling bertentangan [antara agama/Tuhan dan manusia], sebenarnya keduanya sama-sama benar. Kesalahan terburuk dalam agama justru lahir dari sikap tidak peduli kepada sesama.

Liberalisme Islam Indonesia

Menurut Zuhairi Misrawi dalam artikelnya di media Republika (2001) Wacana Islam liberal merupakan perangkat penting dalam usaha menggerakkan pemikiran keislaman di tanah air. Islam liberal telah mempertegas kebutuhan primer untuk merambah jalan baru Islam yang damai, elegan, dan membangun.

Islam liberal konsisten terhadap rasionalitas dan pembaharuan. Konsep Islam liberal secara esensial mennjanjikan banyak hal, terutama gagasan liberasi dan pembaruan.

Sebagaimana gerakan liberalisme secara umum, gerakan liberalisme islam yang tidak lahir begitu saja, melainkan selalu hadir sebagai respon terhadap tuntutan dan tantangan zaman.

Secara umum, gerakan liberasi dan pembaruan muncul di tengah era ketika munculnya ilmu pengetahuan, para ilmuwan merasa kurang leluasa dengan kebenaran yang disodorkan oleh agama, sehingga terjadi semacam “pemerontakan” dan pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama, dan pada giliranya memunculkan apa  yang disebut sekularisme dan humanisme di dunia Barat.

Dengan kata lain, pemikiran liberal lahir dari sebuah pemberontakan atas nama kebebasan berfikir.

Lebih lanjut menurut Misrawi (2001) dalam konteks politik, gerakan pemikiran liberal lahir sebagai protes terhadap terhadap kekuasaan raja yang berkolaborasi dengan kekuasaan agama.

Halid Alkaf dalam bukunya berjudul Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia (2011) menyatakan bahwa liberalisme keagamaan dalam konteks Islam memiliki banyak kemungkinan makna, di antaranya:

  1. Pengembangan pemikiran dan sikap rasional dalam memaknai ajaran agama.
  2. Kebebasan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan tanpa terikat pada satu mazhab tertentu dalam agama.
  3. Keyakinan bahwa semua agama pada dasarnya sama, yakni menganjurkan kebajikan dan mendukung nilai-nilai universal kemanusiaan.
  4. Memperkuat upaya sekularisasi agama dalam arti memisahkan hal-hal yang profan (keduniawian) dari yang sakral (keagamaan).

Dalam konteks Islam, khususnya ketika mengacu pada sumber doktrin keagamaan, liberalisme Islam tidak memiliki perbedaan dengan ideologi atau gerakan Islam lainnya (misalnya fundamentalisme Islam), karena keduanya sama-sama meyakini adanya Tuhan dan para rasulNya; juga meyakini Al Quran dan sunah Rasulullah SAW sebagai sumber doktrin keagamaan.

Pada tataran ini, tidak ada karakteristik atau ciri khusus di antam beragam paham keagamaan di dunia Islam. Perbedaan justru terletak pada unsur-unsur di luar keagamaan, seperti interpretasi teks-teks keagamaan yang dilakukan kalangan agamawan atau kelompok tertentu, teologi-keagamaan, ideologi politik-keagamaan, dan sebagainya.

Liberalisme Islam; Aspek Interpretasi Teks Keagamaan

Pada aspek interpretasi teks keagamaan, liberalisme Islam memiliki setidaknya tiga karakteristik:

Pertama, bercorak substantif, yaitu memahami ajaran agama tidak sebatas pada nalar skriptif (catatan teks), tetapi lebih pada pencarian makna yang lebih substansial di balik teks.

Kedua, bercorak kontekstual, yaitu memaknai teks-teks keagamaan berdasarkan beragam konteks yang melatarinya.

Ketiga, bercorak rasional, yakni memaknai ajaran agama berdasarkan nalar yang sehat dan objektif.

Liberalisme Islam; Aspek Sosial-Budaya

Dalam perspektif sosial-budaya, liberalisme Islam Indonesia juga memberi apresiasi yang sangat tinggi bagi pembentukan “Islam lokal”, seperti konsep ”Islam keindonesiaan” (dipopulerkan Nurcholish Madjid) dan ”pribumisasi Islam” (dipopulerkan Abdurrahman Wahid).

Pada batas-batas tertentu, liberalisme Islam juga menarik agama pada wilayah yang privat, individual, dan personal, sehingga sistem keberagamaan tidak perlu diatur oleh negara atau pemerintah. Dalam konteks ini, pemberlakuan syariat Islam –dalam arti dimasukkan dan diserahkan pelaksanannya kepada pemerintah– tentu saja harus ditolak secara tegas.

Liberalisme Islam; Aspek Sosial-Politik

Dalam perspektif sosial-politik, liberalisme Islam memandang bahwa Islam tidak menyediakan sistem pemerintahan yang absolut dan tetap. Yang ada hanyalah nilai-nilai substantif bagi pembentukan negara-bangsa (nation-state).

Dalam mainstrem liberal, referensi historis yang dijadikan rujukan adalah bahwa nabi Muhammad SAW diutus di tengah-tengah masyarakat Arab bukan dimaksudkan untuk mendlrikan negara Islam. tetapi hanya untuk menegakkan nilai-nilai moralitas keagamaan universal (rahmatan Iil ’alamiin).

Liberalisme Islam; Pandangan terhadap Peradaban Dunia

Dalam kaitannya dengan peradaban dunia, Liberalisme Islam cenderung memiliki sikap terbuka. Para tokoh dan pernikir Islam Liberal di Indonesia juga mengapresiasi pemikiran dan peradaban yang lahir dari induk peradaban nonlslam, baik dari. Kristen, Yahudi, maupun tradisi intelektualisme Yunani.

Menurut Halid Alkaf (2011), beberapa tokoh seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahid, dan lainnya adalah contoh dari sederetan tokoh Islam Liberal yang memberi apresiasi terhadap tradisi lntelektualisme Islam dan non-lslam secara bersamaan.

Titik temu antara Islam dan peradaban dunia menjadi rujukan utama mereka, seperti nilai-nilai kemanusiaan. keadilan, toleransl, pluralitas, dan laninnya.

Di samping itu, liberalisme islam juga berkaitan dengan pandangan dasar bahwa inti ajaran Islam adalah aI-hanifiyyah aI-samhah (condong pada kebenaran dan toleran) yang mendukung cita-cita kemanusiaan universal berdasarkan sumber moral masing-masing agama.

 

REFERENSI

Halid Alkaf (2011) Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Zuhairi Misrawi (2001). ‘Menuju Post Tradisioalisme Islam’. Harian Republika.