Kita memasuki era dimana demokrasi dengan kebebasan berpendapatnya dipadukan dengan perkembangan teknologi internet, menghadirkan wajah baru bagi masyarakat. Kemudahan berkomunikasi, akses aktualisasi diri melalui media sosial dan kemampuan menyebarkan berbagai macam hal, mulai berita, foto diri sampai iklan.

Semua mudah di akses selama memiliki perangkat telepon pintar, atau laptop.

Hegemoni surat kabar cetak sebagai distributor berita dan opini, mulai tergerus oleh akses masyarakat dalam menyebarkan berita atau kejadian yang mereka temui. Juga media cetak mulai ditinggalkan sebab tidak mampu secepat media berita digital dalam menjangkau masyarakat.

Disisi lain, masyarakat mulai gandrung pada media berita digital, ataupun informasi yang disebarkan melalui platform media sosial, sebab bisa melakukan komunikasi dua arah.

Ya, masyarakat pembaca berita bisa memberikan tanda ‘suka’ atau ‘tidak suka’, serta yang lebih menyenangkan, mereka bisa memberikan komnetar; pada topik apapun. Baik yang mereka menguasai secara keilmuan atau tidak sama sekali. Media sosial dengan kolom komentarnya tidak bisa memberikan filter.

Masyarakat Penggemar ‘Keributan’

Beberapa tahun terakhir, jika kita amati, maka ada kecenderungan peningkatan keriuhan dalam dunia internet kita, terutama media sosial. Terutama pada topik seputar politik dan agama.

Pada dasarnya, perdebatan, adu argumentasi dan kritik merupakan hal yang lumrah. Demokrasi memberi ruang bagi ‘setiap kepala’ untuk menyatakan pendapat. Namun, situasi jadi runyam apabila ratusan juta penduduk pengguna internet, menyampaikan argumentasi maupun sekedar komentar pada bidang yang mereka tidak memiliki pengetahuan yang baik.

Sering netizen tiba-tiba memberikan stempel ‘goblok, dungu, kafir, sesat’ pada perilaku orang lain sekedar ikut-ikutan. Tanpa klairifikasi, tanpa telaah, tanpa wewenang.

Ada pula yang terlalu aktif menyebarkan setiap broadcast message di grup-grup Whatsapp, sekedar dengan tujuan supaya terlihat paling cepat dapat informasi, paling menguasai tentang berita yang dibagikan, sebab dorongan perasaan untuk selalu terkoneksi dan yang perlu di garisbawahi: tanpa di baca, tanpa telaah, tanpa memikirkan manfaat atau bencana bagi orang lain.

Akses informasi yang bebas dan mudah, membuat kita cenderung terlalu tinggi menilai pengetahuan, wawasan dan intelektualitas kita.

Sering ditemukan ketika seseorang beranggapan sebagai intelektual dengan gaya menulisnya, menuangkan pendapatnya dengan runut dan bahasa yang juga baik, tetapi kemudian ketika fakta dikemukakan atau argumentasi yang didasari fakta, maka orang tersebut ternyata salah?

Fenomena seperti ini biasa terjadi, dan disebut sebagai Dunning-Kruger effect. Orang dengan kemampuan atau pengetahuan yang sebenarnya tidak kompeten tetapi menilai dirinya lebih superior atau di atas rata-rata orang lain.

Mengenal Efek Dunning-Kruger

Mari sekilas membahas efek Dunning-Kruger.

Teori Dunning-Kruger Effect dikembangkan oleh David Dunning dan Justin Kruger pada tahun 1999, dua profesor psikologi dari Cornell University.

David dan Justin awalnya terinspirasi kasus McArthur Wheeler, seorang pria yang merampok 2 bank yang menutupi wajahnya dengan perasan air jeruk dan yakin bahwa wajahnya akan tidak terlihat dan tidak terekam oleh kamera pengawas, sama seperti menulis dengan tinta perasan air jeruk maka tulisannya akan tidak terlihat.

Dunning dan Kruger menyatakan bahwa untuk kemampuan (skill) tertentu, orang-orang yang inkompeten memiliki ciri-ciri:

  • cenderung menilai tingkat kemampuannya secara berlebihan;
  • tidak bisa mengetahui kemampuan sejati orang lain;
  • tidak bisa mengetahui ekstremnya ketidakmampuan sendiri;
  • mau mengenali dan mengakui ketidakmampuan mereka sebelumnya jika mereka diharuskan berlatih untuk mendapatkan kemampuan tersebut.

Mereka tidak tahu kalau mereka tidak tahu. Sehingga judgement terhadap suatu persoalan, diungkapkan dengan begitu meyakinkan tetapi pada dasarnya lemah dan juga bukan sesuatu yang benar.

Menurut blogger Rudi Kurniawan (Kompasiana, 2018) Ketidaktahuan seseorang kalau dirinya tidak tahu, itu bisa dikarenakan lemahnya metakognisi seseorang, sehingga nalar tidak mampu untuk membangun logika yang benar.

Ketidaksadaran akan sejauh mana pengetahuan yang dipunyai inilah yang kemudian memberikan efek berisik, noise pada dunia sosial media, media cetak atau elektronik lainnya.

Dalam artikel yang ditulis Kendra Cherry pada laman VerywellMind.com (2018), dijelaskan bahwa semua orang bisa terserang efek Dunning-Kurger. Gangguan ini tidak tepat apabila disangkutkan sekedar sebab ber-IQ rendah atau bodoh secara standar umum.

Namun secara lebih spesifik, Kendra menuliskan bahwa semua orang mungkin bisa menjadi ahli dalam beberapa bidang, nemun tidak mungkin ada orang yang menguasai semua bidang pengetahuan serta keahlian.

Kendra menuliskan:

“Dunning and Kruger found that those at the high end of the competence spectrum did hold more realistic views of their own knowledge and capabilities. However, these experts actually tended to underestimate their own abilities relative to how others did.”

Lebih lanjut, Dunning dan Kruger menemukan bahwa seseorang yang sangat ahli dalam bidang tertentu, akan merasa lebih realistis pada kemampuannya. Mereka juga cenderung menilai rendah kapabilitas mereka ketika dibandingkan dengan orang lain.

Ilustrasi Efek Dunning-Kruger

Jalan Keluar

Dunning dan Kruger beranggapan bahwa ketika pengalaman (kerja, mengkaji suatu bidang) semakin meningkat, maka rasa percaya diri seseorang akan menurun pada taraf yang lebih realistis. Ketika seseorang mengkaji lebih jauh suatu topik, mereka akan mulai mengetahui ketidak-paham-an dan ketidak-ahli-an mereka.

Dalam posisi inilah, sesorang akan mengumpulkan lebih banyak informasi, mempelajari lebih banyak hal, lebih banyak berlatih sehingga bisa pelan-pelan menjadi ahli.

Ada beberapa metode yang bisa dilakukan supaya ‘sembuh’ dari gejala Dunning-Kruger, di antaranya:

  • Terus belajar (mencoba membaca lebih bayak referensi, melakukan talaah dan verifikasi pada setiap informasi-pengetahuan) dan berlatih
  • Bertanya (meminta kritik) dari orang lain tentang diri kita (subjek)
  • Terus pertanyakan mengenai kompetensi dan pengetahuanmu