Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan ‘Keterbelakangan Islam’

Memasuki abad kedua puluh, kondisi dunia ditandai oleh kamajuan yang dicapai oleh dunia Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan segala implikasinya, termasuk penjajahan pada dunia Islam.

Negam-negam yang dahulu masuk ke dalam hegemoni Islam seperti Spanyol, India, Sisilia, dan sebagainya sudah mulai melepaskan diri dari Islam dan berdiri sendiri sebagai negara yang sepenuhnya berada di Iuar ideologi Islam.

Demikian pula negara-negara yang secara ideologis sepenuhnya dikuasai Islam juga sudah banyak yang menjadi jaiahan bangsa-bangsa lain, antara lain Mesir, Turki, Malaysia, dan Indonesia

Menurut Nata (2004), menghadapi keadaan yang demikian itu, umat Islam mencari sebab-sebabnya. Sebab-sebab tersebut yang utama di antaranya karena umat Islam tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya perpecahan.

Di kalangan umat Islam paling kurang timbul tiga sikap menghadapi keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan tersebut sebagai berikut:

Pertama, sikap yang didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat sebagai ilmu pengetahuan yang sekular. Karena itu ilmu tersebut harus ditolak. Untuk membawa kemajuan Islam adalah dengan kembali pada Alquran dan Al-Sunnah serta warisan Islam di zaman klasik.

Kedua, sikap yang didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat sebagai ilmu yang bersifat netral. Karenanya ilmu tersebut harus diterima apa adanya tanpa disertai rasa curiga dan sebagainya.

Ketiga, sikap yang didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat sebagai ilmu yang bersikap sekular dan materialisme. Namun dapat diterima oleh umat Islam dengan terlebih dahulu dilakukan proses Islamisasi.

Ketiga sikap tersebut satu dan lainnya memiliki pengaruh sendiri-sendiri di masyarakat dengan segala implikasinya.

Dapatkah ilmu pengetahuan itu diislamkan?

Mengingat antara ilmu pengetahuan dengan Islam sebagai agama memiliki paradigma yang berbeda. Kita misalnya mengetahui bahwa ilmu pengetahuan bersifat objektif, spekulatif, relatif, empiris, terbatas, rasional, apa adanya, serba mungkin, sedangkan agama bersifat subiektif, mutlak, pasti, wahyu, tidak terbatas, keyakinan, normatif dan serba pasti.

Apakah lslamisasi berarti mempertemukan kedua paradigma yang berbeda-beda itu?

Pro Kontra Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan mendapatkan respon yang beragam dari para ahli. Salah satu yang kontra adalah Muhammad Arkoun, doktor Islamic Studies dari Univeristas Sorbon, Prancis. Arkoun mengatakan bahwa gagasan islamisasi ilmu dan teknologi adalah kesalahan, sebab dapat menjebak pada pendekatan yang menganggap islam hanya semata-mata sebagai ideologi.

Senada dengan Arkoun, Usep Fathuddin (2000) termasuk yang menganggap bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan itu tidak perlu. Ia mengatakan: hemat saya, Islamisasi ilmu, bukanlah kerja ilmiah, apalagi kerja kreatif. Sebab yang dibutuhkan umat dan lebih-lebih lagi bagi para cendekiawannya adalah menguasai dan mengembangkan ilmu. lslamisasi ilmu hanyalah “kerja kreatif” atas karya orang saja.

Pendapat yang mendukung di antaranya Mulyanto dalam Muflih hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (2000), mengatatan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan sering dipandang sebagai proses penerapan etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kriteria pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkannya. Dengan kata lain, Islam hanya berlaku sebagai kriteria etis di luar struktur ilmu pengetahuan.

Menyikapi pandangan tersebut, Mulyanto mengatakan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan, tak lain adalah proses pengembalian atau pemurnian ilmu pcngetahuan pada prinsip-prinsip yang hakiki, yakni: tauhid, kesatuan makna kebenaran, dan kesatuan ilmu pengetahuan.

Pendekatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Menurut Nata (2004), ada dua pendekatan yang sering digunakan dalam proses islamisasi ilmu pengetahuan:

#Pertama

Menggunakan pendekatan formalistik, verbalistik, dan simbolistik. Yaitu pendekatan yang menginginkan agar agama secara resmi menjadi dasar negara, dinyatakan secara eksplisit dalam kata, dan diaplikasikan dalam bentuk simbol yang menjadi logo setiap bidang kehidupan.

Praktik Islamisasi yang demikian itu dalam satu segi lebih memperlihatkan sosok yang tegas, lugas dan transparan dan sekaligus membedakan antara yang Islami dan yang bukan Islami.

Namun, pendekatan yang demikian dapat berakibat timbulnya kecurigaan dan ketakutan bagi kelompok lain yang secara pluralistik berada di sekitarnya. Pendekatan yang demikian dapat efektif manakala kondisi sosial keagamaan dan lainnya dalam keadaan kondusif seperti pada kasus yang dijumpai di Propinsi Aceh Darussalam.

#Kedua

Menggunakan pendekatan kultural, substansial, dan aktual. Dengan pendekatan ini, agama Islam diupayakan beradaptasi dan mengakomodasi dengan berbagai kebudayaan yang ada di masyarakat; Islam sebagai rahmat bagi kehidupan manusia dapat dimsakan dengan nyata.

Islam benar-benar terlibat dalam memecahkan masalah kehidupan masyamkat dalam bidang ekonomi, kesehatan, pemukiman, pendidikan, dan kesejahteraan pada umumnya.

Islam benar-benar tampak dalam kenyataan sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyejukkan umat manusia. Pendekatan yang kedua ini tampak kurang tampak sosoknya secara lahiriah sehingga terkadang sulit untuk melakukan klaim Islam terhadapnya.

Namun secara batiniah dan substantif dapat dirasakan. Pendekatan yang kedua ini tampak lebih disukai kelompok lain yang secara empiris memperlihatkan keragaman kultural.

Praktik Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Untuk itu menurut Nata (2004),  agenda Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi harus pula dilakukan dengan mensinergikan pendekatan agama dan umum dengan cara sebagai berikut.

#Pertama, dikatakan bahwa kebenaran ilmu itu relatif sedangkan agama bersifat absolut. Kedua masalah ini tidak perlu dipertentangkan melainkan dapat disatukan. Pertama, ilmu itu relatif karena berasal dari manusia yang basifat relatif. Sedangkan agama dari Tuhan yang bersifat absolut.

Kehadiran agama yang absolut sama sekali tidak menghalangi pemikiran manusia yang relatif. Agama sangat menghargai pemikiran manusia yang relatif itu. Agama menganggap bahwa orang yang berpikir sebagai ibadah dan berjihad di jalan Allah. Kebaenaran agama yang bersifat absolut memerlukan penjabaran pemikiran manusia yang bersifat relatif.

Agama misalnya mengatakan bahwa Tuhan itu ada. Keberadaan Tuhan adalah absolut, namun pemahaman manusia tentang Tuhan adalah relatif. Karena berada dalam kerelatifan inilah manusia sadar pemikiraannya tidak dapat melampaui pengetahuan Tuhan.

#Kedua, bahwa ilmu pengetahuan bersifat immanent dan spekulatif sedangkan agama bersifat transendental dan pasti juga adalah benar dan tidak perlu dipertentangkan. llmu pengetahuan yang berasal dari manusia tentunya bertolak pada hasil pengamatannya yang tampak atau immanent di jagat raya ini.

Namun yang tampak ini adalah wujud dan bukti dari adanya Tuhan yang transendental. Yang transendental ini tidak akan dapat dicapai kecuali melalui yang immanent.

Di dalam agama dinyatakan bahwa Tuhan itu dzahir (immanent) dan juga batin (transendental). Yang dzahir adalah yang tampak di jagat raya, sedangkan yang batin hanya ada dalam kekuasaan Allah. Untuk mencapai yang batin manusia melalui jalan yang lahir.

#Ketiga, bahwa ilmu pengetahuan bersifat tidak pasti, sedangkan agama adalah pasti adalah menunjukkan bahwa manusia terbatas kemampuannya. Agar ia selamat dalam keterbatasannya itu, maka ia perlu bimbingan dad Tuhan.

#Keempat, bahwa ilmu pengetahuan melihat segala sesuatu secara objektif (bagaimana adanya) sedangkan agama melihat sesuatu secam normatif (bagaimana seharusnya) juga bukan hal yang perlu dipertentangkan, Agama dan ilmu mumbutuhkan kedua-duanya.

Agar yang objektif memiliki nilai dan tidak salah arah maka ia harus diarahkan oleh yang bersifat normatif. Dan agar yang normatif juga tampak dalam realitas, maka ia butuh terhadap yang objektif. Kedua-duanya berasal dari Tuhan.

#Kelima, bahwa ilmu pengetahuan melihat problematika dan solusinya berdasarkan rasio manusia, sedangkan agama melihatnya melalui petunjuk Tuhan juga bukan hal yang perlu dipertentangkan.

Rasio manusia amat dihargai dalam agama, dan ia berasal dari Tuhan. Demikian pula petunjuk Tuhan adalah jalan pintas yang dapat mengatasi kebutuan pikiran manusia memecahkan masalah. Bagi orang yang tidak hanya menggunakan rasio, tetapi juga menggunakan akal senantiasa menemukan jalan keluar dari setiap permasalahan.